Tuesday, April 18, 2017

Makalah tentang Status seorang istri akibat dari perkawinan campuran di indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
 Dalam Undang-undang Perkawinan no. 1 tahun 1974 pasal 1 dijelaskan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan juga wadah untuk mrneruskan keturunan, yang mana dengan adanya perkawinan ini akan dapat membawa dampak positif bagi kedua belah pihak laki-laki dan perempuan.
Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUHPerdata, tidak memberikan pengertian perkawinan itu. Oleh karena itu untuk memahami arti perkawinan dapat dilihat pada ilmu pengetahuan atau pendapat para sarjana. Ali Afandi mengatakan bahwa “perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan” Dan menurut Scholten perkawinan adalah ”hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara”
Jadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Hal ini berarti bahwa undang-undang hanya mengakui perkawinan perdata sebagai perkawinan yang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Dalam KUHPerdata syarat-syarat serta peraturan agama tidak diperhatikan atau dikesampingkan. Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Jadi perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga yang kekal. Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Perkawinan adalah hukum yang mengatur mengenai syarat-syarat dan caranya melangsungkan perkawinan, beserta akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut. Perkawinan merupakan hal yang sakral, dan sarat akan makna di dalamnya, oleh karena itu tidak bisa hanya sekedar nafsu, harta atau keduanykedudukan saja. Perlu ada ikatan batiniyah anatara keduanya.
B. Identifikasi Masalah
1. Apakah perkawinan campuran itu?
2. Bagaimana status hukum istri terhadap perkawinan campuran itu?
3. Apa akibat hukum perkawinan campuran?
C. Tujuan Penulisan
1. untuk mengetahui perkawinan campuran.
2. untuk mengetahui status hukum istri terhadap perkawinan campuran.
3. untuk mengetahui akibat hukum perkawinan campuran.








BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Perkawinan campuran
Menurut Pasal 57 UU No. I/1974 pengertian perkawinan campuran adalah:Perkawinan antara dua orang yang ada di Indonesia tunduk pada hokum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Apabila melihat isi pasal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan campuran yang sekarang berlaku di Indonesia unsurnya adalah sebagai berikut:
1.      Perkawinan itu dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita
2.      Dilakukan di Indonesia yang tunduk pada hokum yang berlainan
3.      Di antara keduanya berbeda kewarganegaraan
4.      Salah satu pihaknya berkewarganegaraan Indonesia.
B.    Syarat-syarat Perkawinan Campuran
  Sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak harus memenuhi syarat-syarat yang berlaku menurut hokum masing-masing pihak (pasal 60 ayat 1 UU No. 1/1974)
Sahnya perkawinan harus berdasarkan Pasal 2 UU No. I/1974 yang menyebutkan:
1.      Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.
2.      Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan campuran yang dilakukan oleh para pihak yang kedua-duanya beragama islam dicatat di Kantor Urusan Agama sedangkan yang berbeda di kantor Catatan sipil.
Sesuai dengan UU yang berlaku, Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan dan harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat Perkawinan diantaranya: ada persetujuan kedua calon mempelai, izin dari kedua orangtua/wali bagi yang belum berumur 21 tahun, dan sebagaimana (lihat pasal 6 UU Perkawinan).
BAB II
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Pasal 6
(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Bila semua syarat telah terpenuhi, anda dapat meminta pegawai pencatat perkawinan untuk memberikan Surat Keterangan dari pegawai pencatat perkawinan masing-masing pihak, --anda dan calon suami anda,-- (pasal 60 ayat 1 UU Perkawinan). Surat Keterangan ini berisi keterangan bahwa benar syarat telah terpenuhi dan tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan. Bila petugas pencatat perkawinan menolak memberikan surat keterangan, maka anda dapat meminta Pengadilan memberikan Surat Keputusan, yang menyatakan bahwa penolakannya tidak beralasan (pasal 60 ayat 3 UU Perkawinan).
Surat Keterangan atau Surat Keputusan Pengganti Keterangan ini berlaku selama enam bulan. Jika selama waktu tersebut, perkawinan belum dilaksanakan, maka Surat Keterangan atau Surat Keputusan tidak mempunyai kekuatan lagi (pasal 60 ayat 5 UU Perkawinan).
Pasal 60
(1) Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.
(2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
(3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.
(4) Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3).
(5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.

Surat-surat yang harus dipersiapkan
Ada beberapa surat lain yang juga harus disiapkan, yakni:
1. Untuk calon suami
Anda harus meminta calon suami anda untuk melengkapi surat-surat dari daerah atau negara asalnya. Untuk dapat menikah di Indonesia, ia juga harus menyerahkan "Surat Keterangan" yang menyatakan bahwa ia dapat kawin dan akan kawin dengan WNI. SK ini dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di negaranya. Selain itu harus pula dilampirkan:
Fotokopi Identitas Diri (KTP/pasport)
Fotokopi Akte Kelahiran
Surat Keterangan bahwa ia tidak sedang dalam status kawin;atau
Akte Cerai bila sudah pernah kawin; atau
Akte Kematian istri bila istri meninggal
Surat-surat tersebut lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penterjemah yang disumpah dan kemudian harus dilegalisir oleh Kedutaan Negara WNA tersebut yang ada di Indonesia.
2. Untuk  calon istri
Anda harus melengkapi diri anda dengan:
Fotokopi KTP
Fotokopi Akte Kelahiran
Data orang tua calon mempelai
Surat pengantar dari RT/RW yang menyatakan bahwa anda tidak ada halangan bagi anda untuk melangsungkan perkawinan
Pencatatan Perkawinan (pasal 61 ayat 1 UU Perkawinan)
Pencatatan perkawinan ini dimaksudkan untuk memperoleh kutipan Akta Perkawinan (kutipan buku nikah) oleh pegawai yang berwenang. Bagi yang beragama Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai Rujuk. Sedang bagi yang Non Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Kantor Catatan Sipil.

Legalisir Kutipan Akta Perkawinan

Kutipan Akta Perkawinan yang telah anda dapatkan, masih harus dilegalisir di Departemen Hukum dan HAM dan Departemen Luar Negeri, serta didaftarkan di Kedutaan negara asal suami.
Dengan adanya legalisasi itu, maka perkawinan anda sudah sah dan diterima secara internasional, baik bagi hukum di negara asal suami, maupun menurut hukum di Indonesia
C. Macam-macam Perkawinan Campuran dan Permasalahannya
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan yang lama, ada dua bentuk perkawinan campuran beserta permasalahannya, yaitu:
a. Pria Warga Negara Asing (WNA) menikah dengan Wanita Warga Negara Indonesia (WNI)
Berdasarkan pasal 8 UU Nomor 62 tahun 1958, seorang perempuan warga negara Indonesia yang menikah dengan seorang pria asing bisa kehilangan kewarganegaraannya apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi WNA biasa (Pasal 5 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958). Karena sulitnya mendapat ijin tinggal di Indonesia bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan Indonesia karena satu dan lain hal ( faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan pendidikan,dan lain-lain) maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup dalam keterpisahan
b. Wanita Warga Negara Asing (WNA) yang menikah dengan Pria Warga Negara Indonesia (WNI)
Indonesia menganut azas kewarganegaraan tunggal sehingga berdasarkan pasal 7 UU Nomor 62 Tahun 1958 apabila seorang perempuan WNA menikah dengan pria WNI, ia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia tapi pada saat yang sama ia juga harus kehilangan kewarganegaraan asalnya. Permohonan untuk menjadi WNI pun harus dilakukan maksimal dalam waktu satu tahun setelah pernikahan, bila masa itu terlewati, maka pemohonan untuk menjadi WNI harus mengikuti persyaratan yang berlaku bagi WNA biasa untuk dapat tinggal di Indonesia. Perempuan WNA ini mendapat sponsor suami dan dapat memperoleh izin tinggal yang harus diperpanjang setiap tahun dan memerlukan biaya serta waktu untuk pengurusannya. Bila suami meninggal maka ia akan kehilangan sponsor dan otomatis keberadaannya di Indonesia menjadi tidak jelas sehingga setiap kali melakukan perjalanan keluar negeri memerlukan reentry permit yang permohonannya harus disetujui suami sebagai sponsor(pasal 15 ayat (2) UU Nomor 62 Tahun 1958. Bila suami meninggal tanah hak milik yang diwariskan suami harus segera dialihkan dalam waktu satu tahun (Pasal 21 UU Pokok Agraria No.5 Tahun 1960), serta permasalahan lainnya seorang wanita WNA tidak dapat bekerja kecuali dengan sponsor perusahaan. Bila dengan sponsor suami hanya dapat bekerja sebagai tenaga sukarela. Artinya sebagai istri/ibu dari WNI, perempuan ini kehilangan hak berkontribusi pada pendapatan rumah tangga.
Dari permasalahan mengenai Undang-Undang Kewarnageraan lama di atas, pada prinsipnya Undang-Undang Kewarganegaraan baru telah menyempurnakan Undang-Undang Kewarganegaraan lama tersebut, seperti yang tertuang dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa Warga Negara Asing (WNA) yang kawin secara sah dengan Warga Negara Indonesia (WNI) dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat yang berwenang. Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut dapat dilakukan apabila yang bersangkutan (WNI dan WNA yang menikah) sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat sepuluh tahun tidak berturut-turut, kecuali dengan perolehan kewarganegaraan tersebut mengakibatkan berkewarganegaraan ganda (Pasal 19 ayat (2)).
Berdasarkan penjelasan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila seorang WNA yang menikah dengan WNI ingin mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, maka WNA tersebut dapat menjadi WNI sepenuhnya apabila menyampaikan pernyataan di hadapan pejabat yang berwenang. WNA yang telah disahkan menjadi WNI berdasarkan ketentuan yang berlaku, maka status hukum WNA yang menjadi WNI tersebut sama dengan WNI pada umumnya, artinya hak-hak dan kewajiban WNA yang menjadi WNI tersebut harus dipenuhi sebagaimana hak-hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum nasional Indonesia bagi warganegaranya. Ketentuan baru yang berlaku ini telah menjawab permasalahan yang selama ini sering terjadi mengenai sistem hukum dari tempat suami-isteri bersama-sama menjadi warganegara setelah perkawinan campuran dilangsungkan (gameenschapelijke nationaliteit/joint nationality).
Dalam hal penggunaan sistem hukum dari tempat suami-isteri berkediaman tetap bersama setelah perkawinan (gamenschapelijkewoonplaats/joint residence) atau tempat suami-isteri berdomisili di Indonesia, Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan baru menjelaskan bahwa laki-laki atau perempuan Warga Negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan laki-laki atau perempuan Warga Negara Asing (WNA) akan kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suami atau isterinya, mengikuti kewarganegaraan suami atau isteri sebagai akibat perkawinan tersebut. Jika laki-laki atau perempuan yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) tersebut ingin tetap menjadi berkewarganegaraan Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan ke pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal laki-laki atau perempuan tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengabaikan kewarganegaraan ganda (Pasal 26 ayat (3). Surat pernyataan tersebut dapat diajukan setelah tiga tahun sejak tanggal perkawinan campuran dilangsungkan (Pasal 26 ayat (4).
C.Akibat perkawinan Campuran
Menurut Pasal 58 UU No. I/1974 akibat dari perkawinan campuran yang berlainan kewarganegaraan dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
• Pasal 59 ayat (1) UU No. I/1974 menyebutkan:” Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku baik mengenai hukum public maupun mengenai hukum perdata
Kedudukan anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin akan mengikuti kewarganegaraan ayah dan ibunya dengan siapa ia mempunyai hubungan hokum keluarga”
Dengan berlakunya UU Kewarganegaraan No 12 tahun 2006 anak hasil dari perkawinan campuran adalah warga Negara Indonesia,apabila
1. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu WNA (Pasal 4 sub c).
2. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNA dan ibu WNI (Pasal 4 sub d)
3. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hokum senaga asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak-anak tersebut (Pasal 4 sub e).
4. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya WNI (Pasal 4 sub 9)
5. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI (Pasal 4 sub g)
6. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin (Pasal 4 sub h)
7. Anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya (Pasal 4 sub i)
8. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui (Pasal 4 sub j)
9. Anak yang baru lahir di wilayah Negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui kewarganegaraan (Pasal 4 sub k)
10.Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia (Pasal 4 sub m)
• Pasal 5 UU No. 22 Tahun 2006 menyatakan:
1. Anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui WNI
2. Anak WNI yang belum berusia 5 tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan pengadilan tetap diakui sebagai WNI
• Pasal 6 ayat 1 menyatakan: “Dalam hal status kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagai dimaksud dalam Pasal 4 sub c, sub d, sub h, sub I dan pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin, anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
Seperti telah disebutkan sebelumnya akibat dari perkawinan campuran terhadap suami/istri akan kehilangan atau mendapat kewarganegaraan.
1. Perempuan WNI yang kawin dengan laki-laki WNA kehilangan kewarganegaraan republic Indonesia jika menurut hokum Negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.
2. Laki-laki WNI yang kawin dengan perempuan WNA kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hokum Negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut.
3. Perempuan (dalam ayat 1) atau laki-laki (dalam ayat 2) di atas jika ingin tetap menjadi WNI dapat mengajukan kepada Pejabat yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut.
•  Pasal 19 antara lain menyatakan sebagai berikut:
1. WNA yang kawin secara sah dengan WNI dapat memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga Negara dihadapanPejabat.
2. Pernyataan tersebut (ayat 1) dilakukan apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia paling singkat 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut, kecuali dengan perolehan kewarganegaraan tersebut mengakibatkan berkewarganegaraan ganda.





BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Menurut Pasal 57 UU No. I/1974 pengertian perkawinan campuran adalah:Perkawinan antara dua orang yang ada di Indonesia tunduk pada hokum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Berdasarkan pasal 8 UU Nomor 62 tahun 1958, seorang perempuan warga negara Indonesia yang menikah dengan seorang pria asing bisa kehilangan kewarganegaraannya apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi WNA biasa (Pasal 5 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958). Karena sulitnya mendapat ijin tinggal di Indonesia bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan Indonesia karena satu dan lain hal ( faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan pendidikan,dan lain-lain) maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup dalam keterpisahan.
Menurut Pasal 58 UU No. I/1974 akibat dari perkawinan campuran yang berlainan kewarganegaraan dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
B. Saran
1. untuk seorang perempuan yang menikah dengan WNA di harapkan untuk tetap tinggal di indonesia karena wujud kecintaan kita terhadap indonesia.
2. Untuk kepentingan anak, maka status kewarganegaraan yang seharusnya di pilih adalah status kewarganegaraan yang menguntungkan anak.
3. Perkawinan hakikatnya untuk membangun keluarga, maka meskipun berbeda negara akan tercipta keluarga yang harmonis





















DAFTAR PUSTAKA

Suhardana, F.X., SH. Hukum Perdata I. Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Prof.R. Subekti, SH. dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta, PT    Pradnya Paramita,1999.
Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-undang No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
http://munimm.blogspot.co.id/2014/04/v-behaviorurldefaultvmlo.html minggu, 10 januari 12:30

No comments:

Post a Comment

Makalah Perjanjian Jual beli dalam Hukum Perdata

BAB I PENDAHULUAN A.    Latar Belakang Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan yang bersifat fisik dan non fisik. Kebutuhan itu ti...