Friday, January 20, 2017

Makalah hukum pidana tentang pelepasan bersyarat



BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
Pidana didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perubahan yang melanggar larangan hukum pidana. Pidana dalam hukum pidana merupakan suatu alat dan bukan tujuan dari hukum pidana yang apabila dilaksanakan tiada lain berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana[1].
Peraturan yang mengatur tentang penegakan hukum dan perlindungan hukum terhadap keseluruhan harkat martabat manusia di dalam proses pidana pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus secepat mungkin dijalankan oleh Jaksa (putusan dari Mahkamah Agung tanggal 13 Maret 1958 Nomor 16K/Kr/1958). KUHP Pasal 14 Huruf j menyatakan bahwa jaksa berwenang melaksanakan penetapan hakim. Sejalan dengan itu ketentuan Pasal 270 KUHAP  jaksa melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap dan untuk melaksanakan dengan segera (Pasal 197 Ayat (3)) KUHAP[2].
Ketidakpuasan masyarakat luas terhadap putusan-putusan pengadilan selama ini, hakikatnya bertitik tolak dari ketidaksesuaian antara keadilan yang tumbuh dalam persamaan hukum masyarakat dengan keadilan berdasarkan yang telah digariskan dalam undang-undang[3]. Berdasarkan beberapa jenis putusan yang mengandung pemidanaan salah satunya merupakan putusan pidana bersyarat yaitu pidana dengan syarat-syarat tertentu yang dalam praktik hukum disebut dengan pidana atau hukuman percobaan pidana bersyarat dalam menjalani masa hukumannya dengan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh jaksa masih mempunyai wewenang pengawasan yang salah satunya merupakan pelepasan bersyarat.
Penetapan Pelepasan Bersyarat dapat diberikan (oleh Menteri Kehakiman, Pasal 15 Ayat (1)) KUHP apabila terpidana telah menjalani pidana sepertiga atau sekurang-kurangnya 9 bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Ayat (1) KUHP. 
Lamanya menjalani pidana yang dimaksud ini tidak termasuk lamanya masa penahanan sementara (jika belum divonis bersalah ia ditahan sementara) artinya masa lamanya penahanan sementara tidak dihitung dalam menentukan dua pertiga atau 9 bulan itu, walaupun dalam putusan hakim selalu ditetapkan bahwa pidana yang dijatuhkan itu dipotong dengan masa tahanan sementara. Pihak Lembaga Pemasyarakatan yang mengusulkan pada Menteri Kehakiman bagi seseorang selain karena dinilai telah berkelakuan baik selama pembinaan dan telah memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 Ayat (1) KUHP untuk mendapatkan keputusan pemberian pembebasan bersyarat[4].
Setiap orang memiliki hak asasi yang sama tidak terkecuali orang yang menjalani hukuman. Salah satu bentuk hak asasiyang diberikan negara adalah hak pembinaan bagi narapidana. Maksud pelepasan bersyarat sama dengan pidana bersyarat, ialah mengembalikan terpidana ke dalam masyarakat untuk menjadi warga yang baik dan berguna. Oleh karena itulah, sebelum diberikan pelepasan bersyarat kepada terpidana, harus dipertimbangkan masak-masak kepentingan masyarakat yang menerima bekas terpidana. Harus dipersiapkan lapangan kerja yang sesuai dengan bakat dan keterampilan yang telah diperolehnya selama dalam Lembaga Pemasyarkatan.
Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prosedur bagaimana seorang narapidana memperoleh hak pelepasan bersyarat baik itu persyaratan subtantif maupun persyaratan administratif dan tujuan dari pelepasan bersyarat.




B.         RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana prosedur dan persyaratan narapidana memperoleh hak pelepasan bersyarat baik itu persyaratan subtantif maupun persyaratan administratif?
2.      Bagaimanakah penerapan pelepasan bersyarat di Indonesia oleh jaksa?
3.      Apakah tujuan dengan adanya hak pelepasan bersyarat bagi narapidana dan hubungannya dengan sosial kemasyarakatan?
4.      Dasar hukum apa sajakah yang menjadi landasan berlakunnya pelepasan bersyarat bagi narapidana?

C.         TUJUAN Penulisan
1.      Mengetahui dan memahami bagaimana prosedur dan persyaratan narapidana memperoleh hak pelepasan bersyarat baik itu persyaratan subtantif maupun persyaratan administratif.
2.      Mengetahui penerapan pelepasan bersyarat di Indonesia oleh jaksa
3.      Mengetahui tujuan dengan adanya hak pelepasan bersyarat bagi narapidana dan hubungannya dengan sosial kemasyarakatan dalam penerapannya di Indonesia.
4.      Mengetahui dan memahami dasar hukum apa sajakah yang menjadi landasan berlakunnya pelepasan bersyarat bagi narapidana.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    BAGAIMANA PROSEDUR DAN PERSYARATAN NARAPIDANA MEMPEROLEH HAK PELEPASAN BERSYARAT
Pelepasan bersyarat ialah mengembalikan terpidana ke dalam masyarakat untuk menjadi warga yang baik dan berguna. Selain itu, pelepasan bersyarat (PB) adalah proses pembinaan Narapidana di luar LAPAS setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya minimal 9 (sembilan) bulan(Pasal 1 PP Nomor 32 Th.1999 tentang Syarat dan Tata Cara pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan).
Disamping pidana bersyarat, di Indonesia juga dikenal pula pelepasan bersyarat. Perbedaannya ialah pada pidana bersyarat terpidana tidak pernah menjalani pidananya kecuali jika ia melanggar syarat umum atau syarat khusus yang ditentukan oleh hakim, sedangkan pada pelepasan bersyarat terpidana harus menjalani pidananya paling kurang dua per tiga-nya. Pelepasan bersyarat ini tidak imperatif dan otomatis, dikatakan “dapat” diberikan pelepasan bersyarat. Keputusan untuk memberikan pelepasan bersyarat dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman setelah mendengar pendapat penuntut umum dan tentu pejabat Lembaga Pemasyarakatan, yang lebih mengetahui tingkah laku terpidana selama menjalani pidana penjaranya.

Izin pelepasan bersyarat (PB) dapat diberikan kepada narapidana apabila yang bersangkutan :
1.      Dipidana untuk masa satu tahun atau lebih, baik dalam satu atau beberapa putusan;
2.      Telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 7, Pasal 8 huruf a, b, c, d, e dan f angka 2 dan Pasal 9 Permenkeh RI No. M.01-PK.04.10 Th.1989 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas dan bagi narapidana tertentu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Permenkeh RI No. M.01-PK.04.10 Th.1991 tentang Penyempurnaan Permenkeh RI No. M.01-PK.04.10 Th.1989 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, telah pula memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan b Permenkeh RI No. M.01-PK.04.10 Th.1991;
3.      Tidak termasuk narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Permenkeh RI No.M.01-PK.04.10 Th.1991 tentang Penyempurnaan Permenkeh Ri No.M.01-PK.04.10 Th.1989 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas;
4.      Telah memenuhi persyaratan administrasi lainnya. Pemberian izin pelepasan bersyarat adalah wewenang Menteri Kehakiman dan HAM yang dalam pelaksanaannya didelegasikan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
Narapidana yang memperoleh PB harus memenuhi syarat-syarat:
1.      Telah menjalani 2/3 dari masa pidana yang sebenarnya, minimal 9 bulan.
2.      Tanggal 2/3 dari masa pidana yang sekarang dihitung sejak tanggal eksekusi jaksa.
3.      Tidak sedang menjalani Hukuman Disiplin.
Persyaratan dalam pembebasan Bersyarat
a.       Persyaratan substantif :
·         telah menunjukan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana;
·         telah menunjukan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif;
·         berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat;
·         masyarakat telah dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana yang bersangkutan;
·         selama menjalankan pidana, Narapidana atau Anak Pidana tidak pernahmendapat hukuman disiplin sekurang kurangnya dalam waktu 9 (sembilan) bulan terakhir.
·         masa pidana yang telah dijalani:
untuk pembebasan bersyarat, narapidana telah.menjalani 2/3 (duapertiga) dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanandan remisi dihitung sejak tanggal putusan pengadilan memperolehkekuatan hukum tetap dengan ketentuan 2/3 (duapertiga) tersebuttidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.
b.      Persyaratan administratif
·         salinan putusan pengadilan (ekstrak vania);
·         surat keterangan asli dari Kejaksaan bahwa narapidana yang bersangkutan tidak mempunyai perkara atau tersangkut dengan tindak pidana lainnya;
·         laporan penelitian kemasyarakatan (Litmas) dari BAPAS tentang pihak keluargayang akan menerima narapidana, keadaan masyarakat sekitarnya dan pihak lainyang ada hubungannya dengan narapidana;
·         salinan (Daftar Huruf F) daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yangdilakukan narapidana selama menjalankan masa pidana dari Kepala LembagaPemasyarakatan (Kepala LAPAS);
·         salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana, seperti grasi, remisi dan lain-lain, dari Kepala LAPAS;
·         Surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima narapidana,seperti pihak keluarga, sekolah, instansi Pemerintah atau Swasta, dengandiketahui oleh Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya lurah ataukepala desa;
·         Surat keterangan kesehatan dari psikolog, atau dari dokter bahwa narapidanasehat baik jasmani maupun jiwanya, dan apabila di LAPAS tidak ada psikologdan dokter, maka surat keterangan dapat dimintakan kepada dokter Puskesmasatau Rumah Sakit Umum.
·         bagi Narapidana atau Anak Pidana Warga Negara Asing diperlukan syarat tambahan :
o   surat keterangan sanggup menjamin Kedutaan Besar/Konsulat Negara orang asing yang bersangkutan;
o   Surat rekomendasi dari Kepala Kantor Imigrasi setempat

B.       Penerapan Pelepasan Bersyarat di Indonesia oleh Jaksa
Mengenai pelepasan bersyarat itu dapat diberikan kepada semua jenis tindak pidana kecuali pidana mati selebihnya dapat diberikan kepada semua narapidana. Yang dapat diberikan pelepasan bersyarat juga harus memenuhi semua yang telah ditetapkan dari Lapas mengenai syarat-syarat mengenai pelepasan bersyarat. Putusan bersyarat ini hanya dapat dikeluarkan oleh hakim dalam hal seperti dijatuhkan pidana penjara yang setinggi-tingginya 1 tahun. Para narapidana yang akan mendapatkan Pelepasan Bersyarat juga harus menjalankan duapertiga dari masa hukumanya.
Menurut penulis, terpidana yang diberikan Pelepasan Bersyarat memang harus memenuhi semua syarat-syarat yang telah ditentukan, adanya Pelepasan Bersyarat juga setidaknya memberikan pengaruh bagi narapidana yang sedang menjalankan hukuman agar terus berkelakuan baik dan tidak melakukan tindak pidana atau perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan Pelepasan Bersyarat juga dapat meringankan beban hukuman yang diberikan oleh narapidana selama masa hukumannya.
Mengenai mekanisme Pelepasan Bersyarat selengkapnya diatur dalam Pasal 49 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat. 
Pembebasan Bersyarat ini juga merupakan hak bagi setiap narapidana atau anak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yang di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan disebut sebagai Lepas Bersyarat. Pelaksanaan pengawasan terhadap orang yang dilepas bersyarat itu dilakukan oleh Jaksa di tempat terpidana tinggal dengan paraf buku pelepasan bersyarat yang ditunjukkan oleh terpidana pada waktu ditentukan secara berkala.
Jika dalam hal tersebut terpidana melakukan pelanggaran dalam perjanjian dan syarat-syarat yang ditentukan dalam surat pelepasan, maka terpidana dapat dipanggil untuk menjalani sisa pidanannya, Pelepasan Bersyarat dapat dicabut kembali atas usul Jaksa tempat terpidana berdiam dengan pertimbangan Dewan Pusat Reklasering. Mengenai hal pengawasan terhadap narapidana bebas bersyarat pendekatan yang secara efektif dapat mencegah dan menanggulangi terjadinya perbuatan yang melanggar hukum oleh terpidana atau bertindak bertentangan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Pelaksanaan pengawasan terhadap orang yang dilepas bersyarat itu dilakukan oleh Jaksa ditempat terpidana tinggal dengan paraf buku Pelepasan Bersyarat yang ditunjukkan oleh terpidana pada waktu ditentukan secara berkala.
Dari berbagai penelitian, pembebasan bersyarat merupakan metode  yang paling baik dalam membebaskan narapidana. Pembebasan bersyarat merupakan pembinaan narapidana yang berbasiskan masyarakat. Selain itu pembebasan bersyarat juga merupakan cara yang paling efektif untuk mengurangi kepadatan narapidana (overcrowded) didalam Lapas. Tetapi tujuan utama dari pembebasan bersyarat adalah merupakan pembinaan narapidana adalah agar bisa kembali hidup dimasyarakat dengan prilaku yang baik.
Di beberapa, negara cara tersebut telah lama digunakan, bahkan akhir-akhir ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, telah menetapkan optimalisasi pembinaan melalui percepatan reintegrasi sosial bagi narapidana yang didalamnya termasuk pembebasan bersyarat. Pada kenyataanya, pembebasan bersyarat yang sering kali mengalami kegagalan. Kegagalan yang dimaksud adalah narapidana yang mendapatkan kebebasan bersyarat masuk ke Lapas lagi karena mengulangi atau malakukan kejahatan lagi. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, tingkat kegagalan di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 57 orang narapidana atau 0,34 % dari 16.728 narapidana yang mendapat pembebasan bersyarat.  

C.    Tujuan Pelepasan Bersyarat
Roeslan Saleh mengemukakan, bahwa dimulainya pidana bersyarat dalam sejarahnya diadakan tahun 1927 (S 1926 – 251 jo 486, mulai berlaku 1 Januari 1927). Jadi lembaga ini adalah jauh lebih baru jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga kepidanaan lainnya. Dan memang adanya ini didorong oleh pikiran-pikiran baru tentang pencegahan kejahatan. Mengadakan lembaga ini dulunya pun menimbulkan suatu perubahan yang dalam stelsel pidana. Melihat kepada hasilnya di Nederlands rupanya di sana kelihatan banyak faedah daripada lembaga ini. Hakim pun semakin sering menggunakan pidana bersyarat. Salah satu dari kebaikan-kebaikan pokok pidana bersyarat ini adalah justru bahwa pengurungan mereka di dalam rumah penjara, dengan pengaruhnya yang merusak atas kehidupan kekeluargaan dan kemasyarakatan mereka itu, dapat dihindarkan. Dan tidaklah akan merupakan politik yang baik untuk pada mulanya merusak kehidupan seseorang dan kemudian lalu memerintahkan pula membangun orang itu sendiri dan hidup kemasyarakatannya.
Secara umum tujuan dari diberlakukannya pelepasan pidana bersyarat di Indonesia ini khususnya antara lain karena :
a.         untuk mengurangi overcrowding (kapadatan) didalam Lapas atau rutan
b.        untuk menghemat anggaran Negara dalam pos pemeliharaan narapidana
c.         untuk pembinaan agar para narapidana dapat hidup kembali di masyarakat dan tidak melakukan kejahatan lagi
Pembebasan bersyarat dapat berjalan bersamaan dengan sistem pidana penjara dalam sel, dan terpidana mendapatkan hak bebas bersyarat setelah menjalani dua pertiga dari pelaksanaan di penjara. Apabila menteri memberikan pembebasan bersyarat, maka menurut pasal 15 a, dipersyaratkan syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan suatu tindak pidana, ataupun perbuatan jahat lainnya, selama waktu percobaan. Pembebasan bersyarat itu dapat ditarik kembali setiap waktu, apabila terpidana melakukan perbuatan jahat atau bertindak bertentangan dengan syarat yang ditentukan. Menteri dapat menentukan syarat khusus, tetapi tidak boleh membatasi kebebasan agama dan kenegaraan lainnya. Penarikan pelepasan bersyarat kembali terjadi, apabila terpidana pada waktu percobaan melakukan tindakan yang bertentangan dengan syarat yang ditentukan. Jika terpidana melanggar perjanjian dan syarat-syarat yang ditentukan dalam surat pelepasan (verlofpas), maka terpidana dapat dipanggil kembali untuk menjalani sisa pidananya, pelepasan pidana dapat dicabut kembali atas usul jaksa ditempat terpidana berdiam dengan pertimbangan dewan pusat reklasering. Menteri kehakiman, jaksa dapat melakukan penahanan terhadapnya, selama 60 hari, jika waktu itu telah lewat dan belum keluar keputusan keputusan itu, maka terpidana harus dikeluarkan dari tahanan. Dalam praktek, pengawasan terhadap orang yang dilepas bersyarat itu dilakukan oleh jaksa ditempat terpidan berdiam, dengan paraf buku pelepasan bersyarat yang ditunjukan oleh terpidana pada waktu yang ditentukan secara berkala. Di Nederland untuk pidana seumur hidup, dapat diberikan pelepasan bersyarat, jika pidana penjara telah dijalani selama tiga belas tahun. Di Perancis pelepasan bersyarat dapat diberikan, jika setengah pidananya telah dijalani, untuk pidana seumur hidup dapat diberikan pelepasan bersyarat, jika pidana penjara telah dijalani selama lima belas tahun.


D.    LANDASAN BERLAKUNNYA PELEPASAN BERSYARAT BAGI NARAPIDANA
Ketentuan tentang pelepasan bersyarat diatur dalam pasal 15. a,b,16,17 KUHP dan Sbld.1917.No.749.Sbld.1926.No.151 jo.486 (KB 4 mei 1926) dan sbld 1939 No. 77. Ketentuan tentang pelepasan bersyarat sejak tanggal 1 Januari 1918, sedangkan pidana bersyarat, sejak 1 Januari 1927.
Pasal-Pasal Yang Mengatur Masalah Pelepasan Pidana Bersyarat : ORDONANSI PELEPASAN BERSYARAT (VOORWAARDELIJKE INVRIJHEIDSTELLING) S. 1917-749.
Pasal 1
(s. d. u. dg. S. 1939-77.) Usul kepala penjara untuk mengambil keputusan tentang pelepasan bersyarat seperti dimaksud dalam pasal 16 Kitab Undangundang Hukum Pidana ditujukan kepada Menteri Kehakiman dan berisi:
1.      Penunjukan dengan secermat mungkin terpidana yang bersangkutan;
2.      Penyebutan putusan hakim yang pidananya harus dijalankan oleh terpidana tersebut, hari mulai dijalankannya pidana itu dan kapan akan berakhir;
3.      Segala hal yang diketahui oleh kepala penjara tentang riwayat hidup terpidana tersebut yang sekiranya perlu dicantumkan, pekerjaan atau usaha apa yang telah pemah dijalankan sebelum dijatuhi pidana, apa yang telah dipelajarinya, kemungkinan cara mencari nafkah sesudah dilepaskan dan berhubungan dengan itu usul untuk diberikan bekal uang atau tidak kepada orang yang akan dilepaskan dengan bersyarat itu dari kas pesangonnya;
4.      Syarat-syarat khusus yang dihubungkan dengan pelepasan bersyarat itu yang antara lain dapat mengenai tempat tinggalnya di dalam atau di luar suatu daerah;
5.      tempat yang ingin dituju terpidana itu setelah dilepaskan dengan bersyarat itu.
Pasal 2
Usul tersebut dalam pasal 1 dilampiri dengan:
1.      Kutipan surat keputusan hakim yang menjadi dasar terpidana tersebut menjalani pidananya disertai daftar mutasinya;
2.      Daftar yang disahkan tentang pidana tata tertib yang telah dijatuhkan kepadanya selama tiga tahun sebelum usul itu diajukan;
3.      Segala pemberitaan dan keterangan yang diperoleh berdasarkan pasal 3 atau turunannya.
Pasal 3 (s,d. u. dg. S. 1939-77.)
Atas permintaan rekan kepala penjara, begitu pula oleh semua pejabat pemerintahan, pejabat-pejabat kehakiman dan polisi diberikan keterangan-keterangan yang diperlukan demi pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2.
Pasal 4 (s.d.u. dg. S. 1925-435.)
1)      (s.d.t. dg. S. 1939-77.) Menteri Kehakiman setelah menerima usul, pemberitaan dan keteranganketerangan serta tambahan tambahannya, bila perlu kemudian mengirimkannya kepada Dewan Reklasering Pusat untuk mendapat pertimbangan.
2)      (s.d.t. dg. S. 1939-77.) Atas permintaan Dewan Reklasering Pusat, maka dikirimkan kepadanya oleh pejabat-pejabat tersebut di atas dan pejabat-pejabat reklasering sendiri segala keterangan yang diperlukan oleh Dewan Reklasering tersebut.
3)      Jika dipandang ada cukup alasan untuk memberikan pelepasan bersyarat, maka Menteri Kehakiman mengeluarkan ketetapan untuk itu.
4)      Jika terpidana yang diusulkan untuk mendapatkan pelepasan bersyarat dengan menggunakan pasal 52 ayat (2) Reglemen Penjara diturunkan dari kelas3 ke kelas 2, maka kepala penjara memberitahukan hal itu kepada Menteri Kehakiman.
5)      (s.d.u. dg. S. 1926-488.) Penetapan pemberian pelepasan bersyarat diberitahukan oleh Menteri Kehakiman kepada pejabat tersebut dalam pasal 14 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang kemudian mengusahakan pelaksanaannya.
6)      Penetapan ini juga diberitahukan kepada asisten residen yang wilayahnya meliputi tempat termaksud dalam pasal 1 no. 5' dan jika kepada orang yang dilepaskan dengan bersyarat itu ditunjuk suatu tempat, maka hal itu diberitahukan kepada Kepala Pemerintahan Daerah setempat yang wilayahnya meliputi tempat yang ditunjuk itu.
7)      Asisten residen seperti yang dimaksud dalam ayat (6) memberitahukan tentang keputusan itu kepada bupati yang bersangkutan.
Pasal 5
1)      Pada waktu pemberian pelepasan bersyarat, diberikan surat tanda izin (Pas) kepada terpidana itu menurut model yang dilampirkan pada ordonansi ini. (Karena tidak cukup tempat, lampiran tersebut tidak dimuat di sini. Lihat S. 1926-488 jo. S. 1931-168, 423.)
2)      Syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa pidananya belum selesai dicantumkan di bagian belakang surat izin itu.
3)      Duplikat surat izin yang dibubuhi sidik jari terpidana itu disampaikan kepada Kantor Besar Penjara (kini: Direktorat Jenderal Pemasyarakatan).
Pasal 6
Kepada terpidana yang dilepaskan dengan bersyarat itu, pada waktu dilepaskan dapat diberi kemudahan atau uang jalan untuk sampai ke tempat yang ditunjuk atau tempat seperti tersebut dalam pasal 1 no. 5' atas dasar ketentuan yang berlaku bagi para terpidana yang telah selesai menjalankan pidananya.
Pasal 7
1)        Dalam tiap-tiap penetapan bersyarat sekaligus ditetapkan pula diberikan atau tidaknya uang bekal, jika diberikan, berapa jumlah yang diambilkan dari kas pesangonnya dalam penjara.
2)        Untuk kepentingan kembalinya ke masyarakat, maka kas pesangonnya seluruhnya atau sebagian menurut ketentuan Menteri Kehakiman dapat diberikan kepada suatu badan atau seseorang, agar oleh badan atau orang itu dapat diberikan sekaligus atau dengan angsuran kepada terpidana yang dilepaskan dengan bersyarat itu.
3)        Jika masih ada sisa, maka kas pesangonnya disimpan sampai pada saat terpidana itu resmi telah selesai menjalankan Pidananya atau jika pelepasannya dicabut kembali, diserahkan kembalikepada penjara.
Pasal 8 (s-d.u. dg. S. 1926-488, S. 1939-77.)
1)        Selama masa pidananya belum habis, maka terpidana yang dilepaskan dengan bersyarat itu berada di bawah pengawasan pejabat tersebut dalam pasal 14d Kitab Undang Hukum Pidana, kecuali jika ia menempati jabatan seperti disebut di bawah ini, dimana pengawasan dilakukan dengan perantaraan asisten residen yang wilayah kekuasaannya meliputi tempat kediaman orang yang akan dilepaskan dengan bersyarat itu; yang terakhir ini harus menaati dengan cermat segala peraturan yang dikeluarkan oleh asisten residen atau oleh orang yang ditunjuk olehnya yang wilayah jabatannya mehputi tempat tinggal orang yang akan dilepaskan dengan bersyarat itu.
2)        Ia wajib selama jangka waktu yang ditentukan dalam surat izin pelepasan bersyarat (Pas) dan selanjutnya setiap bulan untuk memperlihatkannya kepada asisten residen tersebut dalam ayat (1) atau kepada pejabat yang ditunjuknya; asisten residen berhak pula untuk menunjuk lingkungan atau kampung yang boleh didiami oleh orang yang dilepaskan dengan bersyarat itu lebih lanjut dan membuat aturan-aturan yang dianggapnya berfaedah demi pengawasannya. Kepada orang yang akan dilepaskan dengan bersyarat, yang dianggap patut, dapat diizinkan untuk memberitahukan kehadirannya setiap bulan secara tertulis. Dalam hal itu tidak perlu diperlihatkan surat izinnya.
3)        Jika orang yang dilepaskan dengan bersyarat ingin mengubah tempat tinggal yang dipilihnya dengan sukarela, maka ia wajib menunjukkan Pasnya dan memberitahukannya kepada asisten residen yang, jika tempat tinggal yang dipilihnya terletak di luar wilayah kekuasaannya, menentukan jangka waktu ia harus menunjukkan Pasnya kepada asisten residen yang berkuasa di tempat di mana ia akan berdiam serta memberitahukan secepatnya tentang maksud kepindahannya. Ketentuan dalam ayat (2) di atas setelah kepindahan itu berlaku bagi asisten residen tersebut.
4)        Baik penunjukan pas maupun aturan-aturan yang akan dikeluarkan seperti tersebut di atas dicatat oleh asisten residen atau pejabat yang ditunjuk dalam surat pas.
5)        Dalam hal yang dilepaskan dengan bersyarat ingkar terhadap kewajiban kewajiban yang harus ditaatinya menurut pasal ini, maka oleh asisten residen yang bersangkutan hal itu segera diberitahukan kepada Departemen Kehakiman dan olehnya disiapkan langkah-langkah untuk mencari orang yang lalai itu.
6)        Terpidana yang dilepaskan dengan bersyarat selama pidananya belum habis dijalaninya, selanjutnya berkewajiban setiap saat jika diminta, untuk memperlihatkan pasnya kepada asisten residen atau orang yang ditunjuknya, sehingga ia harus selalu membawa pasnya kapan saja ia mau meninggalkan tempat ke diamannya.
7)        Pengawasan yang diatur dalam pasal ini dilakukan dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak terlalu mengganggu orang yang dilepaskan dengan bersyarat. Tidak ada pembatasan-pembatasan lain terhadapnya kecuali untuk kepentingannya dan demi pengawasan yang baik.
8)        Khususnya dihindarkan pemberitaan tentang keadaannya sebagai seorang terpidana yang dilepaskan dengan bersyarat.
Pasal 8 bis (s.d. u. t. dg. S. 1926-488, S. 1939-77.)
1)      Badan-badan hukum di Indonesia yang di dalam anggaran dasamya, surat pendiriannya atau aturan-aturan rumah tangganya, menentukan usaha-usaha memasyarakatkan kembali terpidana yang mendapat pelepasan bersyarat atau memperkenalkannya, begitu pula para pemilik lembaga-lembaga di Indonesia yang mempunyai tujuan semacam itu, dapat mengajukan pernyataan tertulis kepada Menteri Kehakiman tentang kesediaannya untuk menerima perintah memberi bantuan dan sokongan kepada terpidana yang mendapat pelepasan bersyarat dan untuk menjalankan perintah itu sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ini.
2)      Apa yang ditentukan dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), (5) dan (6), pasal-pasal 7, 8, 9, 10, 15, 16, dan 17 Ordonansi Pelaksanaan Hukuman Bersyarat berlaku juga dalam hal ini.
Pasal 9 (s.d.a. dg. S. 1926-488.)
 Terpidana yang dilepaskan dengan bersyarat dianggap berlaku bertentangan dengan syarat-syarat umum yang dimaksud dalam pasal 15a Kitab Undang-undang Hukum Pidana bila :
a.       ia hidup secara malas dan tidak terkendalikan.
b.      ia bergaul dengan orang-orang yang terkenal jahat.
Pasal 10. (s.d.t. dg. S. 1926-488.)
 Dalam hal terpidana yang dilepaskan dengan bersyarat dengan putusan Presiden mendapat pengurangan hukuman, maka hal itu dicatat dalam surat pasnya oleh atau atas nama asisten residen yang menguasai wilayah tempat tinggal orang itu dan hal itu diberitahukan kepadanya. Ketetapan itu juga diberitahukan kepada pejabat tersebut dalam pasal 14 d Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kecuali bila ia sendiri juga menjabat kepala daerah itu.
Pasal 11.
1.    Dalam hal pas yang bersangkutan hilang atau tertinggal, maka orang yang dilepaskan dengan bersyarat itu segera memberitahukannya kepada asisten residen yang wilayah kekuasaannya meliputi tempat tinggalnya, dengan menerangkan tentang terjadinya hal itu.
2.    Kepada yang kehilangan itu diberikan surat keterangan oleh pejabat itu yang juga dengan segera melaporkannya kepada Menteri Kehakiman dengan disertai penjelasan-penjelasan seperlunya.
3.    Menteri Kehakiman dapat memerintahkan dikeluarkannya surat pas yang baru.
4.    Selama hal itu belum terlaksana, maka berlaku pasal 8 mengenai kewajiban memperlihatkan pas itu yang dalam hal ini diganti dengan surat keterangan tersebut di atas.
Pasal 12 (s.d.t. dg. S. 1939-77.)
1.    Jika Menteri Kehakiman beranggapan bahwa dalam syarat-syarat khusus yang telah ditentukan perlu diadakan perubahan, syarat-syarat itu perlu dihapuskan, perlu ditambah dengan syarat-syarat khusus baru, perlu diadakan pengawasan khusus, pengawasan khusus yang ada perlu diserahkan kepada orang lain dari yang semula ditunjuk, atau pelepasan bersyarat itu perlu dicabut, maka ia mengirimkan surat-surat itu kepada Dewan Reklasering Pusat untuk diberikan saran.
2.    Usul asisten residen agar keputusan tentang pelepasan bersyarat dicabut memuat :
a.    keterangan yang terinci mengenai orang yang dilepaskan dengan bersyarat itu, sedapat mungkin dengan dilampirkan juga pasnya.
b.    alasan-alasan yang menyebabkan diajukan usul itu.

Pasal 13 (s. d. t. dg. S. 1926-488.)
 Pemberitahuan tentang penahanan orang yang dilepaskan dengan bersyarat seperti tersebut dalam pasal 16 Kitab Undang-undang Hukum Pidana ayat (3), dilakukan dengan suatu berita acara atau dengan melampirkan berita acara yang memuat alasan-alasan yang menyebabkan ia ditahan disertai berita acara pemeriksaan orang yang ditahan itu, sedapat mungkin disertai pasnya.
Turunan-turunan pemberitahuan dan lampiran-lampirannya sekaligus disampaikan kepada pejabat tersebut dalam pasal 14d Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kecuali jika ia sendiri juga menjabat sebagai asisten residen yang wilayah jabatannya meliputi tempat beradanya orang yang dilepaskan dengan bersyarat itu.
Pasal 14 (s.d.u. dg. S. 1926-488.)
1.         Bila Menteri Kehakiman menetapkan akan mencabut kembali pelepasan bersyarat itu, maka hal itu dilakukan dengan sekaligus menunjuk penjara mana yang akan menampung orang itu dan dengan mengirimkan kutipan putusan hakim dan daftar mutasi yang dimaksud dalam butir 1 Pasal 2 kepada pejabat tersebut dalam pasal 14d Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
2.         Pejabat yang berwenang itu mengusahakan pelaksanaan pencabutan pelepasan bersyarat dengan mengindahkan ketentuan tersebut dalam pasal 15b ayat (2) dan ayat terakhir pasal 16 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, juga pengurangan pidana yang mungkin diberikan kepada terpidana tersebut dan mencatat pencabutan kembali itu di surat kutipan putusan hakim tersebut.
3.         Bila pejabat tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak menjabat asisten residen yang wilayah jabatannya meliputi tempat kediaman terpidana itu, maka bersamaan dengan itu juga dilakukan pemberitahuan kepadanya.
4.         Bila dalam hal seperti tersebut dalam pasal 13 tidak terdapat alasan-alasan untuk menarik kembali pelepasan bersyarat, maka hal itu bersama-sama dengan pasnya, jika ada, diberitahukan kepada asisten residen yang telah memerintahkan penahanan itu dan ia yang melepaskannya kembali serta menerimakan pasnya kembali atau pas yang baru menurut ketentuan ayat (3) pasal 11 atas nama Departemen Kehakiman.
5.         Tentang penahanannya serta pelepasannya kembali diberikan catatan oleh pejabat itu di surat pasnya.
6.         Setelah lampau waktu percobaan tanpa adanya pencabutan, maka surat Pas itu oleh asisten residen yang wilayah jabatannya meliputi tempat kediaman terpidana itu, ditarik kembali dan dikirimkan kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman.
Pasal 15 (s.d.u. dg. S. 1928-445.)
a.    Surat-surat yang dibuat untuk memenuhi ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ini bebas meterai, bebas biaya administrasi, biaya pengesahan dan biaya-biaya tersebut dalam aturan-aturan mengenai Catatan Sipil atau register-register kependudukan.
b.    Ordonansi ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918.
c.    Ordonansi ini dapat disebut "Ordonansi Pelepasan Bersyarat".

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pelepasan bersyarat ialah mengembalikan terpidana ke dalam masyarakat untuk menjadi warga yang baik dan berguna. Selain itu, pelepasan bersyarat (PB) adalah proses pembinaan Narapidana di luar LAPAS setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya minimal 9 (sembilan) bulan(Pasal 1 PP Nomor 32 Th.1999 tentang Syarat dan Tata Cara pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan).
Pelaksanaan pengawasan terhadap orang yang dilepas bersyarat itu dilakukan oleh Jaksa ditempat terpidana tinggal dengan paraf buku Pelepasan Bersyarat yang ditunjukkan oleh terpidana pada waktu ditentukan secara berkala.
Tujuan pelepasan bersyarat adalah:
a.    Untuk mengurangi overcrowding (kapadatan) didalam Lapas atau rutan
b.    Untuk menghemat anggaran Negara dalam pos pemeliharaan narapidana
c.    Untuk pembinaan agar para narapidana dapat hidup kembali di masyarakat dan tidak melakukan kejahatan lagi.
Ketentuan tentang pelepasan bersyarat diatur dalam pasal 15. a,b,16,17 KUHP dan Sbld.1917.No.749.Sbld.1926.No.151 jo.486 (KB 4 mei 1926) dan sbld 1939 No. 77. Ketentuan tentang pelepasan bersyarat sejak tanggal 1 Januari 1918, sedangkan pidana bersyarat, sejak 1 Januari 1927.
B.     Saran

1.      Bahwa apabila dilihat dari Hak Azasi Manusia pelepasan bersyarat itu sangat diperlukan untuk lebih mendidik narapidana tetapi di lakukan dalam masyarakat.
2.      Untuk masyarakat jangan menolak narapidana yang sudah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, dan di mohon untuk membantu mendidik mantan narapidana tersebut.
3.      Untuk jaksa harus bisa mengawasi narapidana yang dilepas secara bersyarat tersebut, agar tidak melakukan tindak pidana lagi.













DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta ,2002.
Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia, UII Press, Yogyakarta , 2010.
Djoko Prakoso, Tugas dan Peran Jaksa dalam Pembangunan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.






[1] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta ,2002 hlm. 24.
[2] Djoko Prakoso, Tugas dan Peran Jaksa dalam Pembangunan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 5
[3] Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia, UII Press, Yogyakarta , 2010, hal.vii.
[4] Op.Cit Hlm. 63

Makalah Perjanjian Jual beli dalam Hukum Perdata

BAB I PENDAHULUAN A.    Latar Belakang Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan yang bersifat fisik dan non fisik. Kebutuhan itu ti...