BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pidana didefinisikan sebagai suatu
penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau diberikan oleh negara pada seseorang
atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perubahan yang
melanggar larangan hukum pidana. Pidana dalam hukum pidana merupakan suatu alat
dan bukan tujuan dari hukum pidana yang apabila dilaksanakan tiada lain berupa
penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana[1].
Peraturan yang mengatur tentang
penegakan hukum dan perlindungan hukum terhadap keseluruhan harkat martabat manusia
di dalam proses pidana pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang
Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Suatu putusan
hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus secepat mungkin
dijalankan oleh Jaksa (putusan dari Mahkamah Agung tanggal 13 Maret 1958 Nomor 16K/Kr/1958).
KUHP Pasal 14 Huruf j menyatakan bahwa jaksa berwenang melaksanakan penetapan
hakim. Sejalan dengan itu ketentuan Pasal 270 KUHAP jaksa melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan tetap dan untuk melaksanakan dengan segera (Pasal 197
Ayat (3)) KUHAP[2].
Ketidakpuasan masyarakat luas terhadap
putusan-putusan pengadilan selama ini, hakikatnya bertitik tolak dari ketidaksesuaian
antara keadilan yang tumbuh dalam persamaan hukum masyarakat dengan keadilan
berdasarkan yang telah digariskan dalam undang-undang[3].
Berdasarkan beberapa jenis putusan yang mengandung pemidanaan salah satunya
merupakan putusan pidana bersyarat yaitu pidana dengan syarat-syarat tertentu
yang dalam praktik hukum disebut dengan pidana atau hukuman percobaan pidana bersyarat
dalam menjalani masa hukumannya dengan syarat dan ketentuan yang telah
ditetapkan oleh jaksa masih mempunyai wewenang pengawasan yang salah satunya
merupakan pelepasan bersyarat.
Penetapan Pelepasan Bersyarat dapat
diberikan (oleh Menteri Kehakiman, Pasal 15 Ayat (1)) KUHP apabila terpidana
telah menjalani pidana sepertiga atau sekurang-kurangnya 9 bulan sebagaimana
diatur dalam Pasal 15 Ayat (1) KUHP.
Lamanya menjalani pidana yang dimaksud
ini tidak termasuk lamanya masa penahanan sementara (jika belum divonis bersalah
ia ditahan sementara) artinya masa lamanya penahanan sementara tidak dihitung
dalam menentukan dua pertiga atau 9 bulan itu, walaupun dalam putusan hakim
selalu ditetapkan bahwa pidana yang dijatuhkan itu dipotong dengan masa tahanan
sementara. Pihak Lembaga Pemasyarakatan yang mengusulkan pada Menteri Kehakiman
bagi seseorang selain karena dinilai telah berkelakuan baik selama pembinaan
dan telah memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 Ayat (1) KUHP untuk
mendapatkan keputusan pemberian pembebasan bersyarat[4].
Setiap orang memiliki hak asasi yang
sama tidak terkecuali orang yang menjalani hukuman. Salah satu bentuk hak
asasiyang diberikan negara adalah hak pembinaan bagi narapidana. Maksud
pelepasan bersyarat sama dengan pidana bersyarat, ialah mengembalikan terpidana
ke dalam masyarakat untuk menjadi warga yang baik dan berguna. Oleh karena
itulah, sebelum diberikan pelepasan bersyarat kepada terpidana, harus
dipertimbangkan masak-masak kepentingan masyarakat yang menerima bekas terpidana.
Harus dipersiapkan lapangan kerja yang sesuai dengan bakat dan keterampilan
yang telah diperolehnya selama dalam Lembaga Pemasyarkatan.
Berdasarkan uraian di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prosedur bagaimana seorang
narapidana memperoleh hak pelepasan bersyarat baik itu persyaratan subtantif
maupun persyaratan administratif dan tujuan dari pelepasan bersyarat.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana prosedur dan persyaratan narapidana
memperoleh hak pelepasan bersyarat baik itu persyaratan subtantif maupun
persyaratan administratif?
2.
Bagaimanakah penerapan pelepasan bersyarat di
Indonesia oleh jaksa?
3.
Apakah tujuan dengan adanya hak pelepasan bersyarat
bagi narapidana dan hubungannya dengan sosial kemasyarakatan?
4.
Dasar hukum apa sajakah yang menjadi landasan
berlakunnya pelepasan bersyarat bagi narapidana?
C.
TUJUAN Penulisan
1.
Mengetahui dan memahami bagaimana prosedur dan
persyaratan narapidana memperoleh hak pelepasan bersyarat baik itu persyaratan
subtantif maupun persyaratan administratif.
2.
Mengetahui penerapan pelepasan bersyarat di Indonesia
oleh jaksa
3.
Mengetahui tujuan dengan adanya hak pelepasan
bersyarat bagi narapidana dan hubungannya dengan sosial kemasyarakatan dalam
penerapannya di Indonesia.
4.
Mengetahui dan memahami dasar hukum apa sajakah yang
menjadi landasan berlakunnya pelepasan bersyarat bagi narapidana.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. BAGAIMANA
PROSEDUR DAN PERSYARATAN NARAPIDANA MEMPEROLEH HAK PELEPASAN BERSYARAT
Pelepasan bersyarat ialah
mengembalikan terpidana ke dalam masyarakat untuk menjadi warga yang baik dan
berguna. Selain itu, pelepasan bersyarat (PB) adalah proses pembinaan
Narapidana di luar LAPAS setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)
masa pidananya minimal 9 (sembilan) bulan(Pasal 1 PP Nomor 32 Th.1999 tentang
Syarat dan Tata Cara pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan).
Disamping pidana bersyarat, di
Indonesia juga dikenal pula pelepasan bersyarat. Perbedaannya ialah pada pidana
bersyarat terpidana tidak pernah menjalani pidananya kecuali jika ia melanggar
syarat umum atau syarat khusus yang ditentukan oleh hakim, sedangkan pada
pelepasan bersyarat terpidana harus menjalani pidananya paling kurang dua per
tiga-nya. Pelepasan bersyarat ini tidak imperatif dan otomatis, dikatakan
“dapat” diberikan pelepasan bersyarat. Keputusan untuk memberikan pelepasan
bersyarat dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman setelah mendengar pendapat
penuntut umum dan tentu pejabat Lembaga Pemasyarakatan, yang lebih mengetahui
tingkah laku terpidana selama menjalani pidana penjaranya.
Izin pelepasan bersyarat (PB) dapat
diberikan kepada narapidana apabila yang bersangkutan :
1.
Dipidana untuk masa satu tahun atau lebih, baik dalam
satu atau beberapa putusan;
2.
Telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal
7, Pasal 8 huruf a, b, c, d, e dan f angka 2 dan Pasal 9 Permenkeh RI No.
M.01-PK.04.10 Th.1989 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti
Menjelang Bebas dan bagi narapidana tertentu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 Permenkeh RI No. M.01-PK.04.10 Th.1991 tentang Penyempurnaan Permenkeh RI No.
M.01-PK.04.10 Th.1989 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti
Menjelang Bebas, telah pula memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf a dan b Permenkeh RI No. M.01-PK.04.10 Th.1991;
3.
Tidak termasuk narapidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 Permenkeh RI No.M.01-PK.04.10 Th.1991 tentang Penyempurnaan Permenkeh
Ri No.M.01-PK.04.10 Th.1989 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti
Menjelang Bebas;
4.
Telah memenuhi persyaratan administrasi lainnya.
Pemberian izin pelepasan bersyarat adalah wewenang Menteri Kehakiman dan HAM
yang dalam pelaksanaannya didelegasikan kepada Direktur Jenderal
Pemasyarakatan.
Narapidana
yang memperoleh PB harus memenuhi syarat-syarat:
1.
Telah menjalani 2/3 dari masa pidana yang sebenarnya,
minimal 9 bulan.
2.
Tanggal 2/3 dari masa pidana yang sekarang dihitung
sejak tanggal eksekusi jaksa.
3.
Tidak sedang menjalani Hukuman Disiplin.
Persyaratan
dalam pembebasan Bersyarat
a.
Persyaratan substantif :
·
telah menunjukan kesadaran dan penyesalan atas
kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana;
·
telah menunjukan perkembangan budi pekerti dan moral
yang positif;
·
berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan
tekun dan bersemangat;
·
masyarakat telah dapat menerima program kegiatan pembinaan
narapidana yang bersangkutan;
·
selama menjalankan pidana, Narapidana atau Anak Pidana
tidak pernahmendapat hukuman disiplin sekurang kurangnya dalam waktu 9 (sembilan)
bulan terakhir.
·
masa pidana yang telah dijalani:
untuk pembebasan bersyarat, narapidana telah.menjalani
2/3 (duapertiga) dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanandan remisi
dihitung sejak tanggal putusan pengadilan memperolehkekuatan hukum tetap dengan
ketentuan 2/3 (duapertiga) tersebuttidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.
b.
Persyaratan administratif
·
salinan putusan pengadilan (ekstrak vania);
·
surat keterangan asli dari Kejaksaan bahwa narapidana
yang bersangkutan tidak mempunyai perkara atau tersangkut dengan tindak pidana
lainnya;
·
laporan penelitian kemasyarakatan (Litmas) dari BAPAS
tentang pihak keluargayang akan menerima narapidana, keadaan masyarakat
sekitarnya dan pihak lainyang ada hubungannya dengan narapidana;
·
salinan (Daftar Huruf F) daftar yang memuat tentang
pelanggaran tata tertib yangdilakukan narapidana selama menjalankan masa pidana
dari Kepala LembagaPemasyarakatan (Kepala LAPAS);
·
salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana,
seperti grasi, remisi dan lain-lain, dari Kepala LAPAS;
·
Surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan
menerima narapidana,seperti pihak keluarga, sekolah, instansi Pemerintah atau
Swasta, dengandiketahui oleh Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya
lurah ataukepala desa;
·
Surat keterangan kesehatan dari psikolog, atau dari
dokter bahwa narapidanasehat baik jasmani maupun jiwanya, dan apabila di LAPAS
tidak ada psikologdan dokter, maka surat keterangan dapat dimintakan kepada
dokter Puskesmasatau Rumah Sakit Umum.
·
bagi Narapidana atau Anak Pidana Warga Negara Asing
diperlukan syarat tambahan :
o surat
keterangan sanggup menjamin Kedutaan Besar/Konsulat Negara orang asing yang
bersangkutan;
o Surat
rekomendasi dari Kepala Kantor Imigrasi setempat
B. Penerapan
Pelepasan Bersyarat di Indonesia oleh Jaksa
Mengenai pelepasan bersyarat itu
dapat diberikan kepada semua jenis tindak pidana kecuali pidana mati selebihnya
dapat diberikan kepada semua narapidana. Yang dapat diberikan pelepasan
bersyarat juga harus memenuhi semua yang telah ditetapkan dari Lapas mengenai
syarat-syarat mengenai pelepasan bersyarat. Putusan bersyarat ini hanya dapat
dikeluarkan oleh hakim dalam hal seperti dijatuhkan pidana penjara yang setinggi-tingginya
1 tahun. Para narapidana yang akan mendapatkan Pelepasan Bersyarat juga harus
menjalankan duapertiga dari masa hukumanya.
Menurut penulis, terpidana yang
diberikan Pelepasan Bersyarat memang harus memenuhi semua syarat-syarat yang
telah ditentukan, adanya Pelepasan Bersyarat juga setidaknya memberikan
pengaruh bagi narapidana yang sedang menjalankan hukuman agar terus berkelakuan
baik dan tidak melakukan tindak pidana atau perbuatan yang dilarang oleh
undang-undang dan Pelepasan Bersyarat juga dapat meringankan beban hukuman yang
diberikan oleh narapidana selama masa hukumannya.
Mengenai mekanisme Pelepasan
Bersyarat selengkapnya diatur dalam Pasal 49 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara
Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat,
Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.
Pembebasan Bersyarat ini juga
merupakan hak bagi setiap narapidana atau anak pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yang di dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan disebut sebagai Lepas
Bersyarat. Pelaksanaan pengawasan terhadap orang yang dilepas bersyarat itu
dilakukan oleh Jaksa di tempat terpidana tinggal dengan paraf buku pelepasan
bersyarat yang ditunjukkan oleh terpidana pada waktu ditentukan secara berkala.
Jika dalam hal tersebut terpidana melakukan
pelanggaran dalam perjanjian dan syarat-syarat yang ditentukan dalam surat
pelepasan, maka terpidana dapat dipanggil untuk menjalani sisa pidanannya,
Pelepasan Bersyarat dapat dicabut kembali atas usul Jaksa tempat terpidana berdiam
dengan pertimbangan Dewan Pusat Reklasering. Mengenai hal pengawasan terhadap
narapidana bebas bersyarat pendekatan yang secara efektif dapat mencegah dan
menanggulangi terjadinya perbuatan yang melanggar hukum oleh terpidana atau
bertindak bertentangan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Pelaksanaan
pengawasan terhadap orang yang dilepas bersyarat itu dilakukan oleh Jaksa
ditempat terpidana tinggal dengan paraf buku Pelepasan Bersyarat yang ditunjukkan
oleh terpidana pada waktu ditentukan secara berkala.
Dari berbagai penelitian, pembebasan
bersyarat merupakan metode yang paling baik dalam membebaskan narapidana.
Pembebasan bersyarat merupakan pembinaan narapidana yang berbasiskan
masyarakat. Selain itu pembebasan bersyarat juga merupakan cara yang paling
efektif untuk mengurangi kepadatan narapidana (overcrowded) didalam Lapas.
Tetapi tujuan utama dari pembebasan bersyarat adalah merupakan pembinaan
narapidana adalah agar bisa kembali hidup dimasyarakat dengan prilaku yang
baik.
Di beberapa, negara cara tersebut telah
lama digunakan, bahkan akhir-akhir ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, telah menetapkan optimalisasi
pembinaan melalui percepatan reintegrasi sosial bagi narapidana yang didalamnya
termasuk pembebasan bersyarat. Pada kenyataanya, pembebasan bersyarat yang sering
kali mengalami kegagalan. Kegagalan yang dimaksud adalah narapidana yang
mendapatkan kebebasan bersyarat masuk ke Lapas lagi karena mengulangi atau
malakukan kejahatan lagi. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, tingkat kegagalan di
Indonesia pada tahun 2008 mencapai 57 orang narapidana atau 0,34 % dari 16.728
narapidana yang mendapat pembebasan bersyarat.
C.
Tujuan Pelepasan Bersyarat
Roeslan Saleh mengemukakan, bahwa
dimulainya pidana bersyarat dalam sejarahnya diadakan tahun 1927 (S 1926 – 251
jo 486, mulai berlaku 1 Januari 1927). Jadi lembaga ini adalah jauh lebih baru
jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga kepidanaan lainnya. Dan memang adanya
ini didorong oleh pikiran-pikiran baru tentang pencegahan kejahatan. Mengadakan
lembaga ini dulunya pun menimbulkan suatu perubahan yang dalam stelsel pidana.
Melihat kepada hasilnya di Nederlands rupanya di sana kelihatan banyak faedah
daripada lembaga ini. Hakim pun semakin sering menggunakan pidana bersyarat.
Salah satu dari kebaikan-kebaikan pokok pidana bersyarat ini adalah justru
bahwa pengurungan mereka di dalam rumah penjara, dengan pengaruhnya yang
merusak atas kehidupan kekeluargaan dan kemasyarakatan mereka itu, dapat
dihindarkan. Dan tidaklah akan merupakan politik yang baik untuk pada mulanya
merusak kehidupan seseorang dan kemudian lalu memerintahkan pula membangun
orang itu sendiri dan hidup kemasyarakatannya.
Secara umum tujuan dari
diberlakukannya pelepasan pidana bersyarat di Indonesia ini khususnya antara
lain karena :
a.
untuk mengurangi overcrowding (kapadatan)
didalam Lapas atau rutan
b.
untuk menghemat anggaran Negara dalam pos pemeliharaan
narapidana
c.
untuk pembinaan agar para narapidana dapat hidup
kembali di masyarakat dan tidak melakukan kejahatan lagi
Pembebasan bersyarat dapat berjalan
bersamaan dengan sistem pidana penjara dalam sel, dan terpidana mendapatkan hak
bebas bersyarat setelah menjalani dua pertiga dari pelaksanaan di penjara.
Apabila menteri memberikan pembebasan bersyarat, maka menurut pasal 15 a,
dipersyaratkan syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan suatu tindak
pidana, ataupun perbuatan jahat lainnya, selama waktu percobaan. Pembebasan bersyarat
itu dapat ditarik kembali setiap waktu, apabila terpidana melakukan perbuatan
jahat atau bertindak bertentangan dengan syarat yang ditentukan. Menteri dapat
menentukan syarat khusus, tetapi tidak boleh membatasi kebebasan agama dan
kenegaraan lainnya. Penarikan pelepasan bersyarat kembali terjadi, apabila
terpidana pada waktu percobaan melakukan tindakan yang bertentangan dengan
syarat yang ditentukan. Jika terpidana melanggar perjanjian dan syarat-syarat
yang ditentukan dalam surat pelepasan (verlofpas), maka terpidana dapat
dipanggil kembali untuk menjalani sisa pidananya, pelepasan pidana dapat
dicabut kembali atas usul jaksa ditempat terpidana berdiam dengan pertimbangan
dewan pusat reklasering. Menteri kehakiman, jaksa dapat melakukan penahanan terhadapnya,
selama 60 hari, jika waktu itu telah lewat dan belum keluar keputusan keputusan
itu, maka terpidana harus dikeluarkan dari tahanan. Dalam praktek, pengawasan
terhadap orang yang dilepas bersyarat itu dilakukan oleh jaksa ditempat
terpidan berdiam, dengan paraf buku pelepasan bersyarat yang ditunjukan oleh
terpidana pada waktu yang ditentukan secara berkala. Di Nederland untuk pidana
seumur hidup, dapat diberikan pelepasan bersyarat, jika pidana penjara telah
dijalani selama tiga belas tahun. Di Perancis pelepasan bersyarat dapat
diberikan, jika setengah pidananya telah dijalani, untuk pidana seumur hidup
dapat diberikan pelepasan bersyarat, jika pidana penjara telah dijalani selama
lima belas tahun.
D. LANDASAN
BERLAKUNNYA PELEPASAN BERSYARAT BAGI NARAPIDANA
Ketentuan tentang pelepasan
bersyarat diatur dalam pasal 15. a,b,16,17 KUHP dan
Sbld.1917.No.749.Sbld.1926.No.151 jo.486 (KB 4 mei 1926) dan sbld 1939 No. 77.
Ketentuan tentang pelepasan bersyarat sejak tanggal 1 Januari 1918, sedangkan
pidana bersyarat, sejak 1 Januari 1927.
Pasal-Pasal Yang Mengatur Masalah
Pelepasan Pidana Bersyarat : ORDONANSI PELEPASAN BERSYARAT (VOORWAARDELIJKE
INVRIJHEIDSTELLING) S. 1917-749.
Pasal 1
(s. d. u.
dg. S. 1939-77.) Usul kepala penjara untuk mengambil keputusan
tentang pelepasan bersyarat seperti dimaksud dalam pasal 16 Kitab Undangundang
Hukum Pidana ditujukan kepada Menteri Kehakiman dan berisi:
1.
Penunjukan dengan secermat mungkin terpidana yang
bersangkutan;
2.
Penyebutan putusan hakim yang pidananya harus dijalankan
oleh terpidana tersebut, hari mulai dijalankannya pidana itu dan kapan akan
berakhir;
3.
Segala hal yang diketahui oleh kepala penjara tentang
riwayat hidup terpidana tersebut yang sekiranya perlu dicantumkan, pekerjaan
atau usaha apa yang telah pemah dijalankan sebelum dijatuhi pidana, apa yang
telah dipelajarinya, kemungkinan cara mencari nafkah sesudah dilepaskan dan
berhubungan dengan itu usul untuk diberikan bekal uang atau tidak kepada orang
yang akan dilepaskan dengan bersyarat itu dari kas pesangonnya;
4.
Syarat-syarat khusus yang dihubungkan dengan pelepasan
bersyarat itu yang antara lain dapat mengenai tempat tinggalnya di dalam atau
di luar suatu daerah;
5.
tempat yang ingin dituju terpidana itu setelah
dilepaskan dengan bersyarat itu.
Pasal 2
Usul tersebut
dalam pasal 1 dilampiri dengan:
1.
Kutipan surat keputusan hakim yang menjadi dasar
terpidana tersebut menjalani pidananya disertai daftar mutasinya;
2.
Daftar yang disahkan tentang pidana tata tertib yang
telah dijatuhkan kepadanya selama tiga tahun sebelum usul itu diajukan;
3.
Segala pemberitaan dan keterangan yang diperoleh
berdasarkan pasal 3 atau turunannya.
Pasal 3 (s,d. u. dg.
S. 1939-77.)
Atas
permintaan rekan kepala penjara, begitu pula oleh semua pejabat pemerintahan,
pejabat-pejabat kehakiman dan polisi diberikan keterangan-keterangan yang
diperlukan demi pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2.
Pasal 4 (s.d.u.
dg. S. 1925-435.)
1)
(s.d.t. dg. S. 1939-77.) Menteri
Kehakiman setelah menerima usul, pemberitaan dan keteranganketerangan serta tambahan
tambahannya, bila perlu kemudian mengirimkannya kepada Dewan Reklasering Pusat
untuk mendapat pertimbangan.
2)
(s.d.t. dg. S. 1939-77.) Atas
permintaan Dewan Reklasering Pusat, maka dikirimkan kepadanya oleh
pejabat-pejabat tersebut di atas dan pejabat-pejabat reklasering sendiri segala
keterangan yang diperlukan oleh Dewan Reklasering tersebut.
3)
Jika dipandang ada cukup alasan untuk memberikan
pelepasan bersyarat, maka Menteri Kehakiman mengeluarkan ketetapan untuk itu.
4)
Jika terpidana yang diusulkan untuk mendapatkan
pelepasan bersyarat dengan menggunakan pasal 52 ayat (2) Reglemen Penjara
diturunkan dari kelas3 ke kelas 2, maka kepala penjara memberitahukan hal itu
kepada Menteri Kehakiman.
5)
(s.d.u. dg. S. 1926-488.) Penetapan
pemberian pelepasan bersyarat diberitahukan oleh Menteri Kehakiman kepada
pejabat tersebut dalam pasal 14 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang kemudian
mengusahakan pelaksanaannya.
6)
Penetapan ini juga diberitahukan kepada asisten
residen yang wilayahnya meliputi tempat termaksud dalam pasal 1 no. 5' dan jika
kepada orang yang dilepaskan dengan bersyarat itu ditunjuk suatu tempat, maka
hal itu diberitahukan kepada Kepala Pemerintahan Daerah setempat yang
wilayahnya meliputi tempat yang ditunjuk itu.
7)
Asisten residen seperti yang dimaksud dalam ayat (6)
memberitahukan tentang keputusan itu kepada bupati yang bersangkutan.
Pasal 5
1)
Pada waktu pemberian pelepasan bersyarat, diberikan
surat tanda izin (Pas) kepada terpidana itu menurut model yang dilampirkan pada
ordonansi ini. (Karena tidak cukup tempat, lampiran tersebut tidak dimuat di
sini. Lihat S. 1926-488 jo. S. 1931-168, 423.)
2)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa
pidananya belum selesai dicantumkan di bagian belakang surat izin itu.
3)
Duplikat surat izin yang dibubuhi sidik jari terpidana
itu disampaikan kepada Kantor Besar Penjara (kini: Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan).
Pasal 6
Kepada
terpidana yang dilepaskan dengan bersyarat itu, pada waktu dilepaskan dapat
diberi kemudahan atau uang jalan untuk sampai ke tempat yang ditunjuk atau
tempat seperti tersebut dalam pasal 1 no. 5' atas dasar ketentuan yang berlaku
bagi para terpidana yang telah selesai menjalankan pidananya.
Pasal 7
1)
Dalam tiap-tiap penetapan bersyarat sekaligus
ditetapkan pula diberikan atau tidaknya uang bekal, jika diberikan, berapa
jumlah yang diambilkan dari kas pesangonnya dalam penjara.
2)
Untuk kepentingan kembalinya ke masyarakat, maka kas
pesangonnya seluruhnya atau sebagian menurut ketentuan Menteri Kehakiman dapat
diberikan kepada suatu badan atau seseorang, agar oleh badan atau orang itu
dapat diberikan sekaligus atau dengan angsuran kepada terpidana yang dilepaskan
dengan bersyarat itu.
3)
Jika masih ada sisa, maka kas pesangonnya disimpan
sampai pada saat terpidana itu resmi telah selesai menjalankan Pidananya atau
jika pelepasannya dicabut kembali, diserahkan kembalikepada penjara.
Pasal 8 (s-d.u.
dg. S. 1926-488, S. 1939-77.)
1)
Selama masa pidananya belum habis, maka terpidana yang
dilepaskan dengan bersyarat itu berada di bawah pengawasan pejabat tersebut
dalam pasal 14d Kitab Undang Hukum Pidana, kecuali jika ia menempati jabatan
seperti disebut di bawah ini, dimana pengawasan dilakukan dengan perantaraan
asisten residen yang wilayah kekuasaannya meliputi tempat kediaman orang yang
akan dilepaskan dengan bersyarat itu; yang terakhir ini harus menaati dengan
cermat segala peraturan yang dikeluarkan oleh asisten residen atau oleh orang
yang ditunjuk olehnya yang wilayah jabatannya mehputi tempat tinggal orang yang
akan dilepaskan dengan bersyarat itu.
2)
Ia wajib selama jangka waktu yang ditentukan dalam
surat izin pelepasan bersyarat (Pas) dan selanjutnya setiap bulan untuk
memperlihatkannya kepada asisten residen tersebut dalam ayat (1) atau kepada
pejabat yang ditunjuknya; asisten residen berhak pula untuk menunjuk lingkungan
atau kampung yang boleh didiami oleh orang yang dilepaskan dengan bersyarat itu
lebih lanjut dan membuat aturan-aturan yang dianggapnya berfaedah demi
pengawasannya. Kepada orang yang akan dilepaskan dengan bersyarat, yang
dianggap patut, dapat diizinkan untuk memberitahukan kehadirannya setiap bulan
secara tertulis. Dalam hal itu tidak perlu diperlihatkan surat izinnya.
3)
Jika orang yang dilepaskan dengan bersyarat ingin
mengubah tempat tinggal yang dipilihnya dengan sukarela, maka ia wajib
menunjukkan Pasnya dan memberitahukannya kepada asisten residen yang, jika
tempat tinggal yang dipilihnya terletak di luar wilayah kekuasaannya,
menentukan jangka waktu ia harus menunjukkan Pasnya kepada asisten residen yang
berkuasa di tempat di mana ia akan berdiam serta memberitahukan secepatnya
tentang maksud kepindahannya. Ketentuan dalam ayat (2) di atas setelah
kepindahan itu berlaku bagi asisten residen tersebut.
4)
Baik penunjukan pas maupun aturan-aturan yang akan
dikeluarkan seperti tersebut di atas dicatat oleh asisten residen atau pejabat
yang ditunjuk dalam surat pas.
5)
Dalam hal yang dilepaskan dengan bersyarat ingkar
terhadap kewajiban kewajiban yang harus ditaatinya menurut pasal ini, maka oleh
asisten residen yang bersangkutan hal itu segera diberitahukan kepada
Departemen Kehakiman dan olehnya disiapkan langkah-langkah untuk mencari orang
yang lalai itu.
6)
Terpidana yang dilepaskan dengan bersyarat selama
pidananya belum habis dijalaninya, selanjutnya berkewajiban setiap saat jika
diminta, untuk memperlihatkan pasnya kepada asisten residen atau orang yang
ditunjuknya, sehingga ia harus selalu membawa pasnya kapan saja ia mau
meninggalkan tempat ke diamannya.
7)
Pengawasan yang diatur dalam pasal ini dilakukan
dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak terlalu mengganggu orang yang
dilepaskan dengan bersyarat. Tidak ada pembatasan-pembatasan lain terhadapnya
kecuali untuk kepentingannya dan demi pengawasan yang baik.
8)
Khususnya dihindarkan pemberitaan tentang keadaannya
sebagai seorang terpidana yang dilepaskan dengan bersyarat.
Pasal 8 bis (s.d. u. t. dg. S. 1926-488, S.
1939-77.)
1)
Badan-badan hukum di Indonesia yang di dalam anggaran
dasamya, surat pendiriannya atau aturan-aturan rumah tangganya, menentukan
usaha-usaha memasyarakatkan kembali terpidana yang mendapat pelepasan bersyarat
atau memperkenalkannya, begitu pula para pemilik lembaga-lembaga di Indonesia
yang mempunyai tujuan semacam itu, dapat mengajukan pernyataan tertulis kepada
Menteri Kehakiman tentang kesediaannya untuk menerima perintah memberi bantuan
dan sokongan kepada terpidana yang mendapat pelepasan bersyarat dan untuk
menjalankan perintah itu sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ini.
2)
Apa yang ditentukan dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4),
(5) dan (6), pasal-pasal 7, 8, 9, 10, 15, 16, dan 17 Ordonansi Pelaksanaan
Hukuman Bersyarat berlaku juga dalam hal ini.
Pasal 9 (s.d.a. dg.
S. 1926-488.)
Terpidana
yang dilepaskan dengan bersyarat dianggap berlaku bertentangan dengan
syarat-syarat umum yang dimaksud dalam pasal 15a Kitab Undang-undang Hukum
Pidana bila :
a.
ia hidup secara malas dan tidak terkendalikan.
b.
ia bergaul dengan orang-orang yang terkenal jahat.
Pasal 10. (s.d.t.
dg. S. 1926-488.)
Dalam hal
terpidana yang dilepaskan dengan bersyarat dengan putusan Presiden mendapat
pengurangan hukuman, maka hal itu dicatat dalam surat pasnya oleh atau atas
nama asisten residen yang menguasai wilayah tempat tinggal orang itu dan hal
itu diberitahukan kepadanya. Ketetapan itu juga diberitahukan kepada pejabat
tersebut dalam pasal 14 d Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kecuali bila ia
sendiri juga menjabat kepala daerah itu.
Pasal 11.
1.
Dalam hal pas yang bersangkutan hilang atau
tertinggal, maka orang yang dilepaskan dengan bersyarat itu segera
memberitahukannya kepada asisten residen yang wilayah kekuasaannya meliputi
tempat tinggalnya, dengan menerangkan tentang terjadinya hal itu.
2.
Kepada yang kehilangan itu diberikan surat keterangan
oleh pejabat itu yang juga dengan segera melaporkannya kepada Menteri Kehakiman
dengan disertai penjelasan-penjelasan seperlunya.
3.
Menteri Kehakiman dapat memerintahkan dikeluarkannya
surat pas yang baru.
4.
Selama hal itu belum terlaksana, maka berlaku pasal 8
mengenai kewajiban memperlihatkan pas itu yang dalam hal ini diganti dengan
surat keterangan tersebut di atas.
Pasal 12 (s.d.t. dg.
S. 1939-77.)
1.
Jika Menteri Kehakiman beranggapan bahwa dalam
syarat-syarat khusus yang telah ditentukan perlu diadakan perubahan,
syarat-syarat itu perlu dihapuskan, perlu ditambah dengan syarat-syarat khusus
baru, perlu diadakan pengawasan khusus, pengawasan khusus yang ada perlu
diserahkan kepada orang lain dari yang semula ditunjuk, atau pelepasan
bersyarat itu perlu dicabut, maka ia mengirimkan surat-surat itu kepada Dewan
Reklasering Pusat untuk diberikan saran.
2.
Usul asisten residen agar keputusan tentang pelepasan
bersyarat dicabut memuat :
a.
keterangan yang terinci mengenai orang yang dilepaskan
dengan bersyarat itu, sedapat mungkin dengan dilampirkan juga pasnya.
b.
alasan-alasan yang menyebabkan diajukan usul itu.
Pasal 13 (s. d.
t. dg. S. 1926-488.)
Pemberitahuan
tentang penahanan orang yang dilepaskan dengan bersyarat seperti tersebut dalam
pasal 16 Kitab Undang-undang Hukum Pidana ayat (3), dilakukan dengan suatu
berita acara atau dengan melampirkan berita acara yang memuat alasan-alasan
yang menyebabkan ia ditahan disertai berita acara pemeriksaan orang yang
ditahan itu, sedapat mungkin disertai pasnya.
Turunan-turunan
pemberitahuan dan lampiran-lampirannya sekaligus disampaikan kepada pejabat
tersebut dalam pasal 14d Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kecuali jika ia
sendiri juga menjabat sebagai asisten residen yang wilayah jabatannya meliputi
tempat beradanya orang yang dilepaskan dengan bersyarat itu.
Pasal 14 (s.d.u.
dg. S. 1926-488.)
1.
Bila Menteri Kehakiman menetapkan akan mencabut
kembali pelepasan bersyarat itu, maka hal itu dilakukan dengan sekaligus
menunjuk penjara mana yang akan menampung orang itu dan dengan mengirimkan
kutipan putusan hakim dan daftar mutasi yang dimaksud dalam butir 1 Pasal 2
kepada pejabat tersebut dalam pasal 14d Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
2.
Pejabat yang berwenang itu mengusahakan pelaksanaan
pencabutan pelepasan bersyarat dengan mengindahkan ketentuan tersebut dalam
pasal 15b ayat (2) dan ayat terakhir pasal 16 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
juga pengurangan pidana yang mungkin diberikan kepada terpidana tersebut dan
mencatat pencabutan kembali itu di surat kutipan putusan hakim tersebut.
3.
Bila pejabat tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak
menjabat asisten residen yang wilayah jabatannya meliputi tempat kediaman
terpidana itu, maka bersamaan dengan itu juga dilakukan pemberitahuan
kepadanya.
4.
Bila dalam hal seperti tersebut dalam pasal 13 tidak
terdapat alasan-alasan untuk menarik kembali pelepasan bersyarat, maka hal itu
bersama-sama dengan pasnya, jika ada, diberitahukan kepada asisten residen yang
telah memerintahkan penahanan itu dan ia yang melepaskannya kembali serta
menerimakan pasnya kembali atau pas yang baru menurut ketentuan ayat (3) pasal
11 atas nama Departemen Kehakiman.
5.
Tentang penahanannya serta pelepasannya kembali
diberikan catatan oleh pejabat itu di surat pasnya.
6.
Setelah lampau waktu percobaan tanpa adanya
pencabutan, maka surat Pas itu oleh asisten residen yang wilayah jabatannya
meliputi tempat kediaman terpidana itu, ditarik kembali dan dikirimkan kepada
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman.
Pasal 15 (s.d.u. dg.
S. 1928-445.)
a.
Surat-surat yang dibuat untuk memenuhi
ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ini bebas meterai, bebas biaya
administrasi, biaya pengesahan dan biaya-biaya tersebut dalam aturan-aturan
mengenai Catatan Sipil atau register-register kependudukan.
b.
Ordonansi ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
1918.
c.
Ordonansi ini dapat disebut "Ordonansi Pelepasan
Bersyarat".
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pelepasan bersyarat ialah mengembalikan terpidana ke dalam masyarakat untuk
menjadi warga yang baik dan berguna. Selain itu, pelepasan bersyarat (PB)
adalah proses pembinaan Narapidana di luar LAPAS setelah menjalani
sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya minimal 9 (sembilan)
bulan(Pasal 1 PP Nomor 32 Th.1999 tentang Syarat dan Tata Cara pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan).
Pelaksanaan pengawasan terhadap orang yang dilepas bersyarat itu dilakukan
oleh Jaksa ditempat terpidana tinggal dengan paraf buku Pelepasan Bersyarat
yang ditunjukkan oleh terpidana pada waktu ditentukan secara berkala.
Tujuan pelepasan bersyarat adalah:
a.
Untuk mengurangi overcrowding (kapadatan)
didalam Lapas atau rutan
b.
Untuk menghemat anggaran Negara dalam pos pemeliharaan
narapidana
c.
Untuk pembinaan agar para narapidana dapat hidup
kembali di masyarakat dan tidak melakukan kejahatan lagi.
Ketentuan tentang pelepasan
bersyarat diatur dalam pasal 15. a,b,16,17 KUHP dan
Sbld.1917.No.749.Sbld.1926.No.151 jo.486 (KB 4 mei 1926) dan sbld 1939 No. 77.
Ketentuan tentang pelepasan bersyarat sejak tanggal 1 Januari 1918, sedangkan
pidana bersyarat, sejak 1 Januari 1927.
B.
Saran
1.
Bahwa apabila dilihat dari
Hak Azasi Manusia pelepasan bersyarat itu sangat diperlukan untuk lebih
mendidik narapidana tetapi di lakukan dalam masyarakat.
2.
Untuk masyarakat jangan
menolak narapidana yang sudah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, dan di mohon
untuk membantu mendidik mantan narapidana tersebut.
3.
Untuk jaksa harus bisa
mengawasi narapidana yang dilepas secara bersyarat tersebut, agar tidak
melakukan tindak pidana lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
,2002.
Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia, UII Press,
Yogyakarta , 2010.
Djoko
Prakoso, Tugas dan Peran Jaksa dalam
Pembangunan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.
[1] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta ,2002 hlm. 24.
[2] Djoko Prakoso, Tugas dan Peran Jaksa dalam Pembangunan,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 5
[3] Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di
Indonesia, UII Press, Yogyakarta , 2010, hal.vii.
[4] Op.Cit Hlm. 63