A.
PENDAHULUAN
Perkembangan
teknologi dan telekomunikasi saat ini berkembang dengan pesat. Perkembangan
teknologi dan telekomunikasi tersebut telah merambah dalam elektronik. Hampir
setiap orang telah menggunakan berbagai macam alat elektronik dalam kehidupan
mereka sehari-hari. Bahkan sebagian manusia tidak dapat lepas dari alat elektronik
tersebut. Perkembangan alat elektronik dan kemajuan teknologi dan
telekomunikasi makin memudahkan manusia untuk tetap berhubungan meskipun
berpisah bermil-mil jaraknya.
Berbagai
jenis kejahatan yang dilakukan oleh manusia dengan menggunakan berbagai alat,
termasuk dengan menggunakan kemajuan di bidang teknologi informasi, baik
melalui internet maupun pesawat selular (handphone). Internet merupakan suatu
dunia maya, dengan kata lain dunia tanpa
batas (borderless). Melalui internet dapat menjelajah berbagai situs yang ada,
melewati batas suatu negara. Apabila
kita berbicara tentang batas suatu negara, hal tersebut langsung berhubungan
dengan yurisdiksi negara tersebut, yaitu mengenai kewenangan suatu negara untuk
menegakkan hukum diwilayahnya.
Kini
lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum
telematika. Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk
istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari
konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum teknologi informasi
(law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan
hukum mayantara[1].
Dengan
kemajuan teknologi informasi ini, masyarakat memiliki ruang gerak yang lebih
luas. Aktivitas manusia yang semula bersifat nasional telah berubah menjadi
internasional. Sehingga wajarlah apabila cybercrime dimasukkan ke dalam jenis
kejahatan yang sifatnya internasional berdasarkan United Nation Convention
Against Transnational Organized Crime (Palermo Convention) Nopember 2000 dan
berdasarkan Deklarasi ASEAN tanggal 20 Desember 1997 di Manila.
Menurut
Barda Nawawi Arief kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam
menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana)
menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi pada
hakekatnya, kebijakan kriminalisasi terhadap tindak pidana teknologi informasi
merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan
sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari
"kebijakan hukum pidana" (penal policy), khususnya kebijakan
formulasinya. Selanjutnya menurut Barda Nawawi Arief kebijakan kriminalisasi
bukan sekedar kebijakan menetapkan/ merumuskan/ memformulasikan perbuatan apa
yang dapat dipidana (termasuk sanksi pidananya), melainkan juga mencakup
masalah bagaimana kebijakan formulasi/legislasi itu disusun dalam satu kesatuan
sistem hukum pidana (kebijakan legislatif) yang harmonis dan terpadu[2].
Dalam
kaitannya dengan internet yang kita ketahui sebagai suatu dunia tanpa batas,
tentu menimbulkan masalah tersendiri mengenai yurisdiksi yang akan diterapkan
di dunia tanpa batas tersebut. Upaya atau kebijakan untuk melakukan penanggulangan
tindak pidana di bidang teknologi informasi yang dilakukan dengan menggunakan
sarana "penal" (hukum pidana) maka dibutuhkan kajian terhadap
materi/substansi (legal subtance reform) tindak pidana teknologi informasi saat
ini. Dalam penanggulangan melalui hukum pidana (penal policy) perlu
diperhatikan bagaimana memformulasikan (kebijakan legislatif) suatu peraturan
perundangundangan yang tepat untuk menanggulangi tindak pidana di bidang
teknologi informasi pada masa yang akan datang, serta bagaimana mengaplikasikan
kebijakan legislatif (kebijakan yudikatif/yudisial atau penegakan hukum pidana
in conereto) tersebut oleh aparat penegak hukum atau pengadilan.
B. PERMASALAHAN
Berangkat
dari permasalahan di atas, maka penulis akan menganalisa dan meneliti tentang:
a. Apa
pengertian kebijakan kriminal dan kebijakan kriminalisasi tindak pidana
mayantar (cyber crime) ?
b. Apa Pengertian Tindak Pidana Mayantara
dan Bentuk-bentuk Tindak Pidana Mayantara?
c. Bagaimana Yuridiksi Tindak Pidana Mayantara
(cyber crime) ?
C.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Kebijakan Kriminal dan kebijakan kriminalisasi tindak pidana mayantara (cyber
crime)
Pengertian Kebijakan kriminal adalah pada hakekatnya adalah bagian dari upaya perlindungan terhadap masyarakat
dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa tujuan utama dari kebijakan kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk
tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Definisi kebijakan kriminal menurut
para ahli: Sudarto, mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal yaitu[3]
:
a.
Dalam arti sempit, adalah keseluruhan asas dan metode
yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.
b.
Dalam arti luas, adalah keseluruhan fungsi dari
aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan
polisi.
c.
Dalam arti paling luas (diambil dari Jorgen Jepsen),
adalah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan
badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari
masyarakat.
Pada kesempatan
lain, Sudarto mengemukakan defenisi singkat, bahwa politik kriminal merupakan
sesuatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.
Dalam hal penanggulangan kejahatan digunakan dua kebijakan, yaitu dengan
menggunakan sanksi pidana (penal), dan dengan kebijakan menggunakan sanksi
administratif, sanksi perdata dan lain-lain (non- penal).
Marc Ancel
menyatakan bahwa Penal policy (kebijakan hukum pidana), adalah suatu ilmu
sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan
peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman
tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang
menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana
putusan pengadilan[4].
b. Kebijakan Kriminalisasi Mayantara (Cyber Crime)
kriminalisasi muncul ketika kita dihadapkan pada suatu perbuatan yang
merugikan orang lain atau masyarakat yang hukumnya belum ada atau belum
ditemukan. Berkaitan dengan kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan yang
masuk dalam kategori cybercrime sebagai tindak pidana sebagaimana diulas dalam
buku tersebut di atas, ada beberapa tanggapan yang hendak dikemukakan, yaitu:
1)
Persoalan kriminalisasi timbul karena dihadapan kita
terdapat perbuatan yang berdimensi baru, sehingga muncul pertanyaan adakah
hukumnya untuk perbuatan tersebut. Kesan yang muncul kemudian adalah terjadinya
kekosongan hukum yang akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap perbuatan
tersebut. Sebenarnya dalam persoalan cybercrime, tidak ada kekosongan hukum,
ini terjadi jika digunakan metode penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum dan
ini yang mestinya dipegang oleh aparat penegak hukum dalam menghadapi
perbuatan-perbuatan yang berdimensi baru yang secara khsusus belum diatur dalam
undang-undang. Persoalan menjadi lain jika ada keputusan politik untuk
menetapkan cybercrime dalam perundang-undangan tersendiri di luar KUHP atau
undang-undang khusus lainnya. Sayangnya dalam persoalan mengenai penafsiran
ini, para hakim belum sepakat mengenai kateori beberapa perbuatan. Misalnya
carding, ada hakim yang menafsirkan masuk dalam kateori penipuan, ada pula yang
memasukkan dalam kategori pencurian. Untuk itu sebetulnya perlu dikembangkan
pemahaman kepada para hakim mengenai teknologi informasi agar penafsiran
mengenai suatu bentuk cybercrime ke dalam pasal-pasal dalam KUHP atau
undang-undang lain tidak membingungkan.
2)
Dilihat dari pengertian kriminalisasi, sesungguhnya
kriminalisasi tidak harus berupa membuat undang-undang khusus di luar KUHP,
dapat pula dilakukan tetap dalam koridor KUHP melalui amandemen. Akan tetapi
proses antara membuat amandemen KUHP dengan membuat undang-undang khusus hampir
sama, baik dari segi waktu maupun biaya, ditambah dengan ketidaktegasan sistem
hukum kita yang tidak menganut sistem kodifikasi secara mutlak, menyebabkan
munculnya bermacam-macam undang-undang khusus.
3)
Kriminalisasi juga terkait dengan persoalan
harmonisasi, yaitu harmonisasi materi/substansi dan harmonisasi eksternal
(internasional/global). Mengenai harmonisasi substansi, bukan hanya KUHP yang
akan terkena dampak dari dibuatnya undang-undang tentang cybercrime. Judge
Stenin Schjolberg dan Amanda M. Hubbard mengemukakan dalam persoalan cyber
crime ini diperlukan standardisasi dan harmoonisiasi dalam tiga area, yaitu
legislation, criminal enforcement dan judicial review. Ini menunjukkan bahwa
persoalan harmonisasi merupakan persoalan yang tidak berhenti dengan
diundangkannya undang-undang yang mengatur cybercrime, lebih dari itu adalah
kerjasama dan harmonisasi dalam penegakan hukum dan peradilannya.
4)
Berkaitan dengan harmonisasi substansi, ada yang
bagian yang tak disinggung dalam buku tersebut, terutama mengenai jenis pidana.
Mengingat cybercrime merupakan kejahatan yang menggunakan atau bersaranakan
teknologi komputer, maka diperlukan modifikasi jenis sanksi pidana bagi
pelakunya. Jenis sanksi pidana tersebut adalah tidak diperbolehkannya/dilarang
sipelaku untuk menggunakan komputer dalam jangka waktu tertentu. Bagi pengguna
komputer yang sampai pada tingkat ketergantungan, sanksi atau larangan untuk
tidak menggunakan komputer merupakan derita yang berat. Jangan sampai terulang
kembali kasus Imam Samudera – terpidana kasus terorisme Bom Bali I – yang
dengan leluasa menggunakan laptop di dalam selnya.
5)
Setelah harmonisasi dilakukan, maka langkah yang
selanjutnya adalah melakukan perjanjian ekstradisi dengan berbagai negara.
Cybercrime dapat dilakukan lintas negara sehingga perjanjian ekstradisi dan
kerjasama dengan negara lain perlu dilakukan terutama untuk menentukan
yurisdiksi kriminal mana yang hendak dipakai. Pengalaman menunjukkan karena
ketiadaan perjanjian ekstradisi, kepolisian tidak dapat membawa pelaku
kejahatan kembali ke tanah air untuk diadili.
6)
Hal lain yang luput dari perhatian adalah
pertanggungjawaban Internet Service Provider (ISP) sebagai penyedia layanan
internet dan Warung Internet (Warnet) yang menyediakan akses internet. Posisi
keduanya dalam cybercrime cukup penting sebagai penyedia dan jembatan menuju
jaringan informasi global, apalagi Warnet telah ditetapkan sebagai ujung tombak
untuk mengurangi kesenjangan digital di Indonesia. Bentuk pertanggungjawaban
pidana apa yang mesti mereka terima jika terbukti terlibat dalam cybercrime.
Apakah pertanggungjawabannya dibebankan secara individual atau dianggap sebagai
suatu korporasi. Ini akan memiliki konsekuensi tersendiri. Tentang kebijakan
formulasi, dapat dilakukan dua pendekatan sebagai berikut:
a)
Menganggapnya sebagai kejahatan biasa (ordinary crime)
yang dilakukan dengan komputer teknologi tinggi (high-tech) dan KUHP – dengan
diamanemen – dapat dipergunakan untuk menanggulanginya;
b)
Menganggapnya sebagai kejahatan kategori baru (new
category of crime) yang membutuhkan suatu kerangka hukum yang baru dan
komprehensif untuk mengatasi sifat khusus teknologi yang sedang berkembang dan
tantangan baru yang tidak ada pada kejahatan biasa (misalnya masalah
yurisdiksi, dan karena itu perlu diatur secara tersendiri di luar KUHP.
Mardjono lebih jauh berargumen bahwa
Indonesia dapat menggunakan kedua pendekatan tersebut bersama-sama, sebagaimana
Amerika Serikat mempergunakan kedua pendekatan tersebut bersama-sama, misalnya
dengan mengamenden Securities Act 1933 (UU Pasar Modal) dan mengundangkan Computer
Fraud and Abuse Act. Sebaliknya di Belanda Commissie Franken dalam tahun 1987
dan Kaspersen menganjurkan pendekatan pertama dan hanya menyempurnakan Wetboek
van Strafrecht (Kasperen, 1990). Commissie Franken merumuskan sembilan bentuk
penyalahgunaan (misbruikvormen):
(1)
tanpa hak memasuki sistem komputer;
(2)
tanpa hak mengambil (onderscheppen) data komputer;
(3)
tanpa hak mengetahui (kennisnemen);
(4)
tanpa hak menyalin/mengkopi;
(5)
tanpa hak mengubah;
(6)
mengambil data;
(7)
tanpa hak mempergunakan peralatan;
(8)
sabotase sistem komputer;
(9)
mengganggu telekomunikasi (Kasperen : 315)
Perumusan
Commissie Franken dibuat lebih dari 13 tahun yang lalu. Sementara ini cyber
crime telah mengalami perkembangan yang menakutkan, karena itu perlu dipelajari
bersama dengan saran-saran Konvensi Dewan Eropa 2000. Namun demikian, dalam
usaha kriminalisasi-primair (menyatakan sebagai delik perbuatan dalam
abstracto) sebaiknya kita berpedoman pada 7 asas yang dikemukakan de Roos
(1987), yaitu:
a.
masuk akalnya kerugian yang digambarkan;
b.
adanya toleransi yang didasarkan pada penghormatan
atas kebebasan dan tanggungjawab individu
c.
apakah kepentingan yang dilanggar masih dapat
dilindungi dengan cara lain (asas subsidiaritas)
d.
ada keseimbangan antara kerugian, toleransi dan pidana
yang diancamkan (asas proportionalitas)
e.
apakah kita dapat merumuskan dengan baik, sehingga
kepentingan hukum yang akan dilindungi, tercermin dan jelas hubungannya dengan
asas kesalahan – sendi utama hukum pidana;
f.
kemungkinan penegakannya secara praktis dan efektif
(serta dampaknya pada prevensi umum).
2. Pengertian Tindak Pidana Mayantara dan Bentuk-bentuk
Tindak Pidana Mayantara
a. Pengertian Tindak Pidana Mayantara
Cyber crime (kejahatan Mayantara)
merupakan istilah baru dalam kepustakaan hukum pidana dan kriminologi. Istilah
kejahatan siber ini muncul seiring dengan munculnya internet yang merupakan
sistem informasi dan komunikasi di dunia maya (virtual world) yang tidak lagi
terikat dengan batas-batas negara dan bersifat global.
Bila dilihat dari segi bahasa, cyber crime terdiri dari dua kata; yaitu cyber dan crime atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan kejahatan dan siber. Adapun yang dimaksud dengan kejahatan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: perbuatan yang jahat, sifat yang jahat, dosa, perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis[5].
Bila dilihat dari segi bahasa, cyber crime terdiri dari dua kata; yaitu cyber dan crime atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan kejahatan dan siber. Adapun yang dimaksud dengan kejahatan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: perbuatan yang jahat, sifat yang jahat, dosa, perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis[5].
Sedangkan menurut
Soedjono, kejahatan dapat dikatakan sebagai perbuatan manusia yang
melanggar/bertentangan dengan apa yang ditentukan/bertentangan dengan kaidah
hukum, tegasnya perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah
hukum yang berlaku dalam masyarakat dimana yang bersangkutan bertempat tinggal.
Dari segi istilah
(terminologi), menurut kepolisian Inggris, cyber crime adalah segala macam
penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal dan atau kriminal
berteknologi tinggi dengan menyalahgunakan kemudahan teknologi digital.
Indra Safitri
mengemukakan, kejahatan dunia maya adalah jenis kejahatan yang berkaitan dengan
pemanfaatan sebuah teknologi informasi tanpa batas dan memiliki karakteristik
yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat
keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari sebuah informasi yang disampaikan
dan diakses oleh pelanggan internet.
b.
Bentuk-bentuk
Tindak Pidana Mayantara (cyber crime)
Bentuk-bentuk Cyber Crime pada umumnya yang dikenal dalam masyaakat
dibedakan menjadi 3 (tiga) kualifikasi umum, yaitu :
1) Kejahatan
Dunia Maya yang berkaitan dengan kerahasiaan, integritas dan keberadaan data
dan sistem komputer
·
Illegal access (akses secara tidak sah terhadap sistem
komputer)
·
Data interference (mengganggu data komputer)
·
System interference (mengganggu sistem komputer)
·
Illegal interception in the computers, systems and
computer networks operation (intersepsi secara tidak sah terhadap komputer,
sistem, dan jaringan operasional komputer)
·
Data Theft (mencuri data)
·
Data leakage and espionage (membocorkan data dan memata-matai)
·
Misuse of devices (menyalahgunakan peralatan komputer)
2)
Kejahatan Dunia Maya yang menggunakan komputer sebagai
alat kejahatan Credit card fraud (penipuan kartu kredit)
·
Bank fraud (penipuan terhadap bank)
·
Service Offered fraud (penipuan melalui penawaran
suatu jasa)
·
Identity Theft and fraud (pencurian identitas dan
penipuan)
·
Computer-related fraud (penipuan melalui komputer)
·
Computer-related forgery (pemalsuan melalui komputer)
·
Computer-related betting (perjudian melalui komputer)
·
Computer-related Extortion and Threats (pemerasan dan
pengancaman melalui komputer)
3) Kejahatan
Dunia Maya yang berkaitan dengan isi atau muatan data atau sistem komputer
·
Child pornography (pornografi anak)
·
Infringements Of Copyright and Related Rights (pelanggaran
terhadap hak cipta dan hak-hak terkait)
·
Drug Traffickers (peredaran narkoba), dan lain-lain.
Kegiatan
siber meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan dan
perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis dalam hal ruang siber sudah tidak
pada tempatnya lagi untuk kategorikan sesuatu dengan ukuran dalam kualifikasi
hukum konvensional untuk dijadikan obyek dan perbuatan, sebab jika cara ini
yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat
hukum. Kegiatan siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata,
meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian, subyek pelakunya
harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum
secara nyata.
Penggunaan
hukum pidana dalam mengatur masyarakat (lewat peraturan perundang-undangan
pidana) pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy).
Selanjutnya untuk menentukan bagaimana suatu langkah (usaha) yang rasional
dalam melakukan kebijakan tidak dapat pula dipisahkan dari tujuan kebijakan
pembangunan itu sendiri secara integral. Pasal 5 Undang-undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang informasi dan transaksi terlepaskan dari tujuan pembangunan
nasional itu sendiri; yakni bagaimana mewujudkan kesejahteraan bagi
masyarakat.Selain itu, perkembangan hukum di Indonesia terkesan lambat, karena
hukum hanya akan berkembang setelah ada bentuk kejahatan baru.
3. Yuridiksi Tindak Pidana Mayantara
Mengingat sifat tindak pidana
mayantara sebagai salah satu tindak pidana transnasional, dimana salah satu
ciri dari tindak pidana transnasional adalah borderless atau tanpa batas, maka terdapat
permasalahan terkait dengan yurisdiksi.
Undang-Undang No.11 tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU 1TE) telah mengatur masalah
yurisdiksi yang di dalamnya sudah menerapkan asas universal. Hal ini dapat
dilihat dari Pasal 2 UU ITE:
Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang
melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, baik yang
berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang
memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum
Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Undang-Undang ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata untuk
perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara
Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di luar
wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara Indonesia maupun
warga negara asing atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang
memiliki akibat hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi
untuk Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas
teritorial atau universal. Yang dimaksud dengan "merugikan kepentingan
Indonesia" adalah meliputi tetapi tidak terbatas pada menigikan kepentingan
ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa,
pertahanan dan keamanan negara, kedaulatan negara, warga negara, serta badan
hukum Indonesia.
Perluasan pengaturan yurisdiksi ekstrateritorial dalam tindak pidana
teknologi informasi dimaksudkan untuk melindungi jaringan komunikasi/informasi
yang saat ini telah menjadi kepentingan intemasional/global. Pengaturan
yurisdiksi ekstrateritorial sama dengan prinsip atau azas ubikuitas sehingga
sangat beralasan dalam menghadapi tindak pidana mayantara. Sebagaimana ditulis
oleh Barda Nawawi Arief[6],
mengusulkan untuk memberlakukan prinsip ubikuitas (the principle of ubiquity)
atas tindak pidana mayantara. Alasannya saat ini semakin marak terjadi
cybercrime seiring dengan pertumbuhan penggunaan internet. Yang dimaksud dengan
prinsip atau azas ubikuitas adalah prinsip yang mengatakan bahwa delik-delik
yang dilakukan atau terjadi di sebagian wilayah teritorial negara sebagian di
luar wilayah teritorial suatu negara (ekstrateritorial) harus dapat dibawa ke
dalam yurisdikgi setiap negara yang terkait. Berdasarkan Pasal 2 dan penjelasan
UU ITE pada dasarnya tetap dianut asas-asas ruang berlakunya hukum pidana dalam
KUHP yaitu didasarkan path asas teritorial (pasal 2-5 KUHP), asas
personal/nasional aktif (pasal 7 KUHP), dan asas universal (pasal 8 KUHP),
hanya ada perubahan dan perkembangan formulasinya yaitu:
Ø Memuat
ketentuan tentang lingkup yurisdiksi yang bersifat transnasional dan
internasional serta memuat ketentuan khusus terhadap tindak pidana teknologi
informasi.
Ø Subjek hukum
tidak hanya terhadap perorangan baik warga negara Indonesia ataupun warga
negara asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia tetapi juga 'terhadap
badan hukum asing (koorporasi)
Berlakunya asas-asas ruang hukum pidana dalam KUHP sebenarnya tidak perlu
lagi diatur di dalam UU ITE, maka lebih aman dan lebih luas jangkauannya
apabila UU ITE menegaskan berlakunya asas-asas ruang berlakunya hukum pidana
menurut KUHP dengan menambah/ memperluas halhal yang belum ditegaskan dalam
KUHP.
Di dalam tindak pidana yang tidak bersifat lintas batas negara dikenal tiga
macam yurisdiksi:
1. Yurisdiksi legislatif (jurisdiction to prescribe);
2. Yurisdiksi yudikatif (jurisdiction to adjudicate);
3. Yurisdiksi eksekutif (jurisdiction to enforce).
Berdasarkan ketiga katagori yurisdiksi di atas perbuatan yang dapat
menimbulkan masalah dalarn UU ITE ketika warga negara Indonesia melakukan
tindak pidana di luar Indonesia (asas persona/nasionalitas aktif) tanpa
akibatnya dirasakan di Indonesia. Hal tersebut sangat terkait dengan masalah
yurisdiksi judisial (kewenangan mengadili atau menerapkan hukum) dan
yuriisdiksi eksekutif (kewenangan melaksanakan putusan) karena masalah
yurisdiksi judisial/adjudikasi dan yurisdiksi eksekutif sangat terkait dengan
kedaulatan wilayah dan kedaulatan hukum masing-masing Negara, karena konstitusi
suatu negara tidak dapat dipaksakan kepada negara lain karena dapat
bertentangan dengan kedaulatan dan konstitusi negara lain, oleh karena itu
hanya berlaku di negara yang bersangkutan saja, sehingga dibutuhkan kesepakatan
Internasional dan kerjasama dengan negara-negara lain dalam menanggulangi
tindak pidana teknologi informasi.
D.
KESIMPULAN
Pengertian
Kebijakan kriminal adalah pada
hakekatnya adalah bagian dari upaya perlindungan terhadap masyarakat dan upaya
mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan
utama dari kebijakan kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk tercapainya
kesejahteraan masyarakat.
Cyber crime (kejahatan Mayantara)
merupakan istilah baru dalam kepustakaan hukum pidana dan kriminologi. Istilah
kejahatan siber ini muncul seiring dengan munculnya internet yang merupakan
sistem informasi dan komunikasi di dunia maya (virtual world) yang tidak lagi
terikat dengan batas-batas negara dan bersifat global.
Mengingat sifat tindak pidana
mayantara sebagai salah satu tindak pidana transnasional, dimana salah satu
ciri dari tindak pidana transnasional adalah borderless atau tanpa batas, maka
terdapat permasalahan terkait dengan yurisdiksi.
DAFTAR
PUSTAKA
Budi
Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi
Informasi (Cybercrime), Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2012.
Barda
Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana,
PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
http://cpchenko.blogspot.co.id/2011/12/menelusuri-tindak-pidana-cyber-crime-di.html, diakses pada tanggal 9 november
2016, pukul 21:31 wib
[1] Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime),
Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2012, hlm. 2.
[2] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT.Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2003, h1m. 259.
[3] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 1
[4] Ibid., hal. 23
[5] http://cpchenko.blogspot.co.id/2011/12/menelusuri-tindak-pidana-cyber-crime-di.html, diakses pada tanggal 9 november
2016, pukul 21:31 wib
[6] Ibid, Hlm. 253.
No comments:
Post a Comment