Thursday, January 19, 2017

yuridiksi tindak pidana mayantara atau cyber crime



A.      PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi dan telekomunikasi saat ini berkembang dengan pesat. Perkembangan teknologi dan telekomunikasi tersebut telah merambah dalam elektronik. Hampir setiap orang telah menggunakan berbagai macam alat elektronik dalam kehidupan mereka sehari-hari. Bahkan sebagian manusia tidak dapat lepas dari alat elektronik tersebut. Perkembangan alat elektronik dan kemajuan teknologi dan telekomunikasi makin memudahkan manusia untuk tetap berhubungan meskipun berpisah bermil-mil jaraknya.
Berbagai jenis kejahatan yang dilakukan oleh manusia dengan menggunakan berbagai alat, termasuk dengan menggunakan kemajuan di bidang teknologi informasi, baik melalui internet maupun pesawat selular (handphone). Internet merupakan suatu dunia maya,  dengan kata lain dunia tanpa batas (borderless). Melalui internet dapat menjelajah berbagai situs yang ada, melewati batas suatu negara.  Apabila kita berbicara tentang batas suatu negara, hal tersebut langsung berhubungan dengan yurisdiksi negara tersebut, yaitu mengenai kewenangan suatu negara untuk menegakkan hukum diwilayahnya.
Kini lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika. Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara[1].
Dengan kemajuan teknologi informasi ini, masyarakat memiliki ruang gerak yang lebih luas. Aktivitas manusia yang semula bersifat nasional telah berubah menjadi internasional. Sehingga wajarlah apabila cybercrime dimasukkan ke dalam jenis kejahatan yang sifatnya internasional berdasarkan United Nation Convention Against Transnational Organized Crime (Palermo Convention) Nopember 2000 dan berdasarkan Deklarasi ASEAN tanggal 20 Desember 1997 di Manila.
Menurut Barda Nawawi Arief kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi pada hakekatnya, kebijakan kriminalisasi terhadap tindak pidana teknologi informasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari "kebijakan hukum pidana" (penal policy), khususnya kebijakan formulasinya. Selanjutnya menurut Barda Nawawi Arief kebijakan kriminalisasi bukan sekedar kebijakan menetapkan/ merumuskan/ memformulasikan perbuatan apa yang dapat dipidana (termasuk sanksi pidananya), melainkan juga mencakup masalah bagaimana kebijakan formulasi/legislasi itu disusun dalam satu kesatuan sistem hukum pidana (kebijakan legislatif) yang harmonis dan terpadu[2].
Dalam kaitannya dengan internet yang kita ketahui sebagai suatu dunia tanpa batas, tentu menimbulkan masalah tersendiri mengenai yurisdiksi yang akan diterapkan di dunia tanpa batas tersebut. Upaya atau kebijakan untuk melakukan penanggulangan tindak pidana di bidang teknologi informasi yang dilakukan dengan menggunakan sarana "penal" (hukum pidana) maka dibutuhkan kajian terhadap materi/substansi (legal subtance reform) tindak pidana teknologi informasi saat ini. Dalam penanggulangan melalui hukum pidana (penal policy) perlu diperhatikan bagaimana memformulasikan (kebijakan legislatif) suatu peraturan perundangundangan yang tepat untuk menanggulangi tindak pidana di bidang teknologi informasi pada masa yang akan datang, serta bagaimana mengaplikasikan kebijakan legislatif (kebijakan yudikatif/yudisial atau penegakan hukum pidana in conereto) tersebut oleh aparat penegak hukum atau pengadilan.

B.       PERMASALAHAN
Berangkat dari permasalahan di atas, maka penulis akan menganalisa dan meneliti tentang:
a.       Apa pengertian kebijakan kriminal dan kebijakan kriminalisasi tindak pidana mayantar (cyber crime) ?
b.       Apa Pengertian Tindak Pidana Mayantara dan Bentuk-bentuk Tindak Pidana Mayantara?
c.        Bagaimana Yuridiksi Tindak Pidana Mayantara (cyber crime) ?

C.      PEMBAHASAN
1.      Pengertian Kebijakan Kriminal dan kebijakan kriminalisasi tindak pidana mayantara (cyber crime)
Pengertian Kebijakan kriminal adalah pada hakekatnya adalah bagian dari upaya perlindungan terhadap masyarakat dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari kebijakan kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Definisi kebijakan kriminal menurut para ahli: Sudarto, mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal yaitu[3]
a.         Dalam arti sempit, adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.
b.        Dalam arti luas, adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.
c.         Dalam arti paling luas (diambil dari Jorgen Jepsen), adalah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Pada kesempatan lain, Sudarto mengemukakan defenisi singkat, bahwa politik kriminal merupakan sesuatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Dalam hal penanggulangan kejahatan digunakan dua kebijakan, yaitu dengan menggunakan sanksi pidana (penal), dan dengan kebijakan menggunakan sanksi administratif, sanksi perdata dan lain-lain (non- penal).
Marc Ancel menyatakan bahwa Penal policy (kebijakan hukum pidana), adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan[4] 
b.      Kebijakan Kriminalisasi Mayantara (Cyber Crime)
kriminalisasi muncul ketika kita dihadapkan pada suatu perbuatan yang merugikan orang lain atau masyarakat yang hukumnya belum ada atau belum ditemukan. Berkaitan dengan kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan yang masuk dalam kategori cybercrime sebagai tindak pidana sebagaimana diulas dalam buku tersebut di atas, ada beberapa tanggapan yang hendak dikemukakan, yaitu:  
1)      Persoalan kriminalisasi timbul karena dihadapan kita terdapat perbuatan yang berdimensi baru, sehingga muncul pertanyaan adakah hukumnya untuk perbuatan tersebut. Kesan yang muncul kemudian adalah terjadinya kekosongan hukum yang akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut. Sebenarnya dalam persoalan cybercrime, tidak ada kekosongan hukum, ini terjadi jika digunakan metode penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum dan ini yang mestinya dipegang oleh aparat penegak hukum dalam menghadapi perbuatan-perbuatan yang berdimensi baru yang secara khsusus belum diatur dalam undang-undang. Persoalan menjadi lain jika ada keputusan politik untuk menetapkan cybercrime dalam perundang-undangan tersendiri di luar KUHP atau undang-undang khusus lainnya. Sayangnya dalam persoalan mengenai penafsiran ini, para hakim belum sepakat mengenai kateori beberapa perbuatan. Misalnya carding, ada hakim yang menafsirkan masuk dalam kateori penipuan, ada pula yang memasukkan dalam kategori pencurian. Untuk itu sebetulnya perlu dikembangkan pemahaman kepada para hakim mengenai teknologi informasi agar penafsiran mengenai suatu bentuk cybercrime ke dalam pasal-pasal dalam KUHP atau undang-undang lain tidak membingungkan.
2)      Dilihat dari pengertian kriminalisasi, sesungguhnya kriminalisasi tidak harus berupa membuat undang-undang khusus di luar KUHP, dapat pula dilakukan tetap dalam koridor KUHP melalui amandemen. Akan tetapi proses antara membuat amandemen KUHP dengan membuat undang-undang khusus hampir sama, baik dari segi waktu maupun biaya, ditambah dengan ketidaktegasan sistem hukum kita yang tidak menganut sistem kodifikasi secara mutlak, menyebabkan munculnya bermacam-macam undang-undang khusus.
3)      Kriminalisasi juga terkait dengan persoalan harmonisasi, yaitu harmonisasi materi/substansi dan harmonisasi eksternal (internasional/global). Mengenai harmonisasi substansi, bukan hanya KUHP yang akan terkena dampak dari dibuatnya undang-undang tentang cybercrime. Judge Stenin Schjolberg dan Amanda M. Hubbard mengemukakan dalam persoalan cyber crime ini diperlukan standardisasi dan harmoonisiasi dalam tiga area, yaitu legislation, criminal enforcement dan judicial review. Ini menunjukkan bahwa persoalan harmonisasi merupakan persoalan yang tidak berhenti dengan diundangkannya undang-undang yang mengatur cybercrime, lebih dari itu adalah kerjasama dan harmonisasi dalam penegakan hukum dan peradilannya.
4)      Berkaitan dengan harmonisasi substansi, ada yang bagian yang tak disinggung dalam buku tersebut, terutama mengenai jenis pidana. Mengingat cybercrime merupakan kejahatan yang menggunakan atau bersaranakan teknologi komputer, maka diperlukan modifikasi jenis sanksi pidana bagi pelakunya. Jenis sanksi pidana tersebut adalah tidak diperbolehkannya/dilarang sipelaku untuk menggunakan komputer dalam jangka waktu tertentu. Bagi pengguna komputer yang sampai pada tingkat ketergantungan, sanksi atau larangan untuk tidak menggunakan komputer merupakan derita yang berat. Jangan sampai terulang kembali kasus Imam Samudera – terpidana kasus terorisme Bom Bali I – yang dengan leluasa menggunakan laptop di dalam selnya.
5)      Setelah harmonisasi dilakukan, maka langkah yang selanjutnya adalah melakukan perjanjian ekstradisi dengan berbagai negara. Cybercrime dapat dilakukan lintas negara sehingga perjanjian ekstradisi dan kerjasama dengan negara lain perlu dilakukan terutama untuk menentukan yurisdiksi kriminal mana yang hendak dipakai. Pengalaman menunjukkan karena ketiadaan perjanjian ekstradisi, kepolisian tidak dapat membawa pelaku kejahatan kembali ke tanah air untuk diadili.
6)      Hal lain yang luput dari perhatian adalah pertanggungjawaban Internet Service Provider (ISP) sebagai penyedia layanan internet dan Warung Internet (Warnet) yang menyediakan akses internet. Posisi keduanya dalam cybercrime cukup penting sebagai penyedia dan jembatan menuju jaringan informasi global, apalagi Warnet telah ditetapkan sebagai ujung tombak untuk mengurangi kesenjangan digital di Indonesia. Bentuk pertanggungjawaban pidana apa yang mesti mereka terima jika terbukti terlibat dalam cybercrime. Apakah pertanggungjawabannya dibebankan secara individual atau dianggap sebagai suatu korporasi. Ini akan memiliki konsekuensi tersendiri. Tentang kebijakan formulasi, dapat dilakukan dua pendekatan sebagai berikut:
a)      Menganggapnya sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) yang dilakukan dengan komputer teknologi tinggi (high-tech) dan KUHP – dengan diamanemen – dapat dipergunakan untuk menanggulanginya;
b)      Menganggapnya sebagai kejahatan kategori baru (new category of crime) yang membutuhkan suatu kerangka hukum yang baru dan komprehensif untuk mengatasi sifat khusus teknologi yang sedang berkembang dan tantangan baru yang tidak ada pada kejahatan biasa (misalnya masalah yurisdiksi, dan karena itu perlu diatur secara tersendiri di luar KUHP.
Mardjono lebih jauh berargumen bahwa Indonesia dapat menggunakan kedua pendekatan tersebut bersama-sama, sebagaimana Amerika Serikat mempergunakan kedua pendekatan tersebut bersama-sama, misalnya dengan mengamenden Securities Act 1933 (UU Pasar Modal) dan mengundangkan Computer Fraud and Abuse Act. Sebaliknya di Belanda Commissie Franken dalam tahun 1987 dan Kaspersen menganjurkan pendekatan pertama dan hanya menyempurnakan Wetboek van Strafrecht (Kasperen, 1990). Commissie Franken merumuskan sembilan bentuk penyalahgunaan (misbruikvormen):
(1)             tanpa hak memasuki sistem komputer;
(2)             tanpa hak mengambil (onderscheppen) data komputer;
(3)             tanpa hak mengetahui (kennisnemen);
(4)             tanpa hak menyalin/mengkopi;
(5)             tanpa hak mengubah;
(6)             mengambil data;
(7)             tanpa hak mempergunakan peralatan;
(8)             sabotase sistem komputer;
(9)             mengganggu telekomunikasi (Kasperen : 315)
Perumusan Commissie Franken dibuat lebih dari 13 tahun yang lalu. Sementara ini cyber crime telah mengalami perkembangan yang menakutkan, karena itu perlu dipelajari bersama dengan saran-saran Konvensi Dewan Eropa 2000. Namun demikian, dalam usaha kriminalisasi-primair (menyatakan sebagai delik perbuatan dalam abstracto) sebaiknya kita berpedoman pada 7 asas yang dikemukakan de Roos (1987), yaitu:
a.       masuk akalnya kerugian yang digambarkan;
b.      adanya toleransi yang didasarkan pada penghormatan atas kebebasan dan tanggungjawab individu
c.       apakah kepentingan yang dilanggar masih dapat dilindungi dengan cara lain (asas subsidiaritas)
d.      ada keseimbangan antara kerugian, toleransi dan pidana yang diancamkan (asas proportionalitas)
e.       apakah kita dapat merumuskan dengan baik, sehingga kepentingan hukum yang akan dilindungi, tercermin dan jelas hubungannya dengan asas kesalahan – sendi utama hukum pidana;
f.       kemungkinan penegakannya secara praktis dan efektif (serta dampaknya pada prevensi umum).
2.      Pengertian Tindak Pidana Mayantara dan Bentuk-bentuk Tindak Pidana Mayantara
a.      Pengertian Tindak Pidana Mayantara
Cyber crime (kejahatan Mayantara) merupakan istilah baru dalam kepustakaan hukum pidana dan kriminologi. Istilah kejahatan siber ini muncul seiring dengan munculnya internet yang merupakan sistem informasi dan komunikasi di dunia maya (virtual world) yang tidak lagi terikat dengan batas-batas negara dan bersifat global.
Bila dilihat dari segi bahasa, cyber crime terdiri dari dua kata; yaitu cyber dan crime atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan kejahatan dan siber. Adapun yang dimaksud dengan kejahatan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: perbuatan yang jahat, sifat yang jahat, dosa, perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis[5].
Sedangkan menurut Soedjono, kejahatan dapat dikatakan sebagai perbuatan manusia yang melanggar/bertentangan dengan apa yang ditentukan/bertentangan dengan kaidah hukum, tegasnya perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat dimana yang bersangkutan bertempat tinggal.
Dari segi istilah (terminologi), menurut kepolisian Inggris, cyber crime adalah segala macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal dan atau kriminal berteknologi tinggi dengan menyalahgunakan kemudahan teknologi digital.
Indra Safitri mengemukakan, kejahatan dunia maya adalah jenis kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi informasi tanpa batas dan memiliki karakteristik yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari sebuah informasi yang disampaikan dan diakses oleh pelanggan internet.

b.      Bentuk-bentuk Tindak Pidana Mayantara (cyber crime)
Bentuk-bentuk Cyber Crime pada umumnya yang dikenal dalam masyaakat dibedakan menjadi 3 (tiga) kualifikasi umum, yaitu :
1)      Kejahatan Dunia Maya yang berkaitan dengan kerahasiaan, integritas dan keberadaan data dan sistem komputer
·           Illegal access (akses secara tidak sah terhadap sistem komputer)
·           Data interference (mengganggu data komputer)
·           System interference (mengganggu sistem komputer)
·           Illegal interception in the computers, systems and computer networks operation (intersepsi secara tidak sah terhadap komputer, sistem, dan jaringan operasional komputer)
·           Data Theft (mencuri data)
·           Data leakage and espionage (membocorkan data dan memata-matai)
·           Misuse of devices (menyalahgunakan peralatan komputer)
2)      Kejahatan Dunia Maya yang menggunakan komputer sebagai alat kejahatan Credit card fraud (penipuan kartu kredit)
·           Bank fraud (penipuan terhadap bank)
·           Service Offered fraud (penipuan melalui penawaran suatu jasa)
·           Identity Theft and fraud (pencurian identitas dan penipuan)
·           Computer-related fraud (penipuan melalui komputer)
·           Computer-related forgery (pemalsuan melalui komputer)
·           Computer-related betting (perjudian melalui komputer)
·           Computer-related Extortion and Threats (pemerasan dan pengancaman melalui komputer)
3)      Kejahatan Dunia Maya yang berkaitan dengan isi atau muatan data atau sistem komputer
·           Child pornography (pornografi anak)
·           Infringements Of Copyright and Related Rights (pelanggaran terhadap hak cipta dan hak-hak terkait)
·           Drug Traffickers (peredaran narkoba), dan lain-lain.
Kegiatan siber meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis dalam hal ruang siber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk kategorikan sesuatu dengan ukuran dalam kualifikasi hukum konvensional untuk dijadikan obyek dan perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata, meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian, subyek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata.
Penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat (lewat peraturan perundang-undangan pidana) pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy). Selanjutnya untuk menentukan bagaimana suatu langkah (usaha) yang rasional dalam melakukan kebijakan tidak dapat pula dipisahkan dari tujuan kebijakan pembangunan itu sendiri secara integral. Pasal 5 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi terlepaskan dari tujuan pembangunan nasional itu sendiri; yakni bagaimana mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat.Selain itu, perkembangan hukum di Indonesia terkesan lambat, karena hukum hanya akan berkembang setelah ada bentuk kejahatan baru.
3.      Yuridiksi Tindak Pidana Mayantara
Mengingat sifat tindak pidana mayantara sebagai salah satu tindak pidana transnasional, dimana salah satu ciri dari tindak pidana transnasional adalah borderless atau tanpa batas, maka terdapat permasalahan terkait dengan yurisdiksi.
Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU 1TE) telah mengatur masalah yurisdiksi yang di dalamnya sudah menerapkan asas universal. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 2 UU ITE:
Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

Undang-Undang ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas teritorial atau universal. Yang dimaksud dengan "merugikan kepentingan Indonesia" adalah meliputi tetapi tidak terbatas pada menigikan kepentingan ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan negara, kedaulatan negara, warga negara, serta badan hukum Indonesia.
Perluasan pengaturan yurisdiksi ekstrateritorial dalam tindak pidana teknologi informasi dimaksudkan untuk melindungi jaringan komunikasi/informasi yang saat ini telah menjadi kepentingan intemasional/global. Pengaturan yurisdiksi ekstrateritorial sama dengan prinsip atau azas ubikuitas sehingga sangat beralasan dalam menghadapi tindak pidana mayantara. Sebagaimana ditulis oleh Barda Nawawi Arief[6], mengusulkan untuk memberlakukan prinsip ubikuitas (the principle of ubiquity) atas tindak pidana mayantara. Alasannya saat ini semakin marak terjadi cybercrime seiring dengan pertumbuhan penggunaan internet. Yang dimaksud dengan prinsip atau azas ubikuitas adalah prinsip yang mengatakan bahwa delik-delik yang dilakukan atau terjadi di sebagian wilayah teritorial negara sebagian di luar wilayah teritorial suatu negara (ekstrateritorial) harus dapat dibawa ke dalam yurisdikgi setiap negara yang terkait. Berdasarkan Pasal 2 dan penjelasan UU ITE pada dasarnya tetap dianut asas-asas ruang berlakunya hukum pidana dalam KUHP yaitu didasarkan path asas teritorial (pasal 2-5 KUHP), asas personal/nasional aktif (pasal 7 KUHP), dan asas universal (pasal 8 KUHP), hanya ada perubahan dan perkembangan formulasinya yaitu:
Ø  Memuat ketentuan tentang lingkup yurisdiksi yang bersifat transnasional dan internasional serta memuat ketentuan khusus terhadap tindak pidana teknologi informasi.
Ø  Subjek hukum tidak hanya terhadap perorangan baik warga negara Indonesia ataupun warga negara asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia tetapi juga 'terhadap badan hukum asing (koorporasi)
Berlakunya asas-asas ruang hukum pidana dalam KUHP sebenarnya tidak perlu lagi diatur di dalam UU ITE, maka lebih aman dan lebih luas jangkauannya apabila UU ITE menegaskan berlakunya asas-asas ruang berlakunya hukum pidana menurut KUHP dengan menambah/ memperluas halhal yang belum ditegaskan dalam KUHP.
Di dalam tindak pidana yang tidak bersifat lintas batas negara dikenal tiga macam yurisdiksi:
1. Yurisdiksi legislatif (jurisdiction to prescribe);
2. Yurisdiksi yudikatif (jurisdiction to adjudicate);
3. Yurisdiksi eksekutif (jurisdiction to enforce).
Berdasarkan ketiga katagori yurisdiksi di atas perbuatan yang dapat menimbulkan masalah dalarn UU ITE ketika warga negara Indonesia melakukan tindak pidana di luar Indonesia (asas persona/nasionalitas aktif) tanpa akibatnya dirasakan di Indonesia. Hal tersebut sangat terkait dengan masalah yurisdiksi judisial (kewenangan mengadili atau menerapkan hukum) dan yuriisdiksi eksekutif (kewenangan melaksanakan putusan) karena masalah yurisdiksi judisial/adjudikasi dan yurisdiksi eksekutif sangat terkait dengan kedaulatan wilayah dan kedaulatan hukum masing-masing Negara, karena konstitusi suatu negara tidak dapat dipaksakan kepada negara lain karena dapat bertentangan dengan kedaulatan dan konstitusi negara lain, oleh karena itu hanya berlaku di negara yang bersangkutan saja, sehingga dibutuhkan kesepakatan Internasional dan kerjasama dengan negara-negara lain dalam menanggulangi tindak pidana teknologi informasi.

D.      KESIMPULAN
Pengertian Kebijakan kriminal adalah pada hakekatnya adalah bagian dari upaya perlindungan terhadap masyarakat dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari kebijakan kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Cyber crime (kejahatan Mayantara) merupakan istilah baru dalam kepustakaan hukum pidana dan kriminologi. Istilah kejahatan siber ini muncul seiring dengan munculnya internet yang merupakan sistem informasi dan komunikasi di dunia maya (virtual world) yang tidak lagi terikat dengan batas-batas negara dan bersifat global.
Mengingat sifat tindak pidana mayantara sebagai salah satu tindak pidana transnasional, dimana salah satu ciri dari tindak pidana transnasional adalah borderless atau tanpa batas, maka terdapat permasalahan terkait dengan yurisdiksi.













DAFTAR PUSTAKA

Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime), Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2012.
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
http://cpchenko.blogspot.co.id/2011/12/menelusuri-tindak-pidana-cyber-crime-di.html, diakses pada tanggal 9 november 2016, pukul 21:31 wib


[1] Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime), Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2012, hlm. 2.
[2] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, h1m. 259.
[3] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,  Bandung,  1996,  hlm. 1
[4] Ibid., hal. 23
[6] Ibid,  Hlm. 253.

No comments:

Post a Comment

Makalah Perjanjian Jual beli dalam Hukum Perdata

BAB I PENDAHULUAN A.    Latar Belakang Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan yang bersifat fisik dan non fisik. Kebutuhan itu ti...