Tuesday, January 17, 2017

Makalah tentang nafkah iddah



BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah
Pada era globalisasi seperti sekarang ini banyak sekali permasalahan-permasalahan yang timbul, umumnya pada permasalahan perkawinan. Di Pengadilan Agama (PA) banyak pengajuan kasus perkawinan khususnya dalam kasus penyelesaian nafkah iddah. Dimana norma-norma dan kaidah-kaidah yang ada dan mengatur masalah ini sudah dikesampingkan. Dan hukum-hukum yang mengatur hal ini, sepertinya sudah tidak diindahkan (dipedulikan) lagi. Walaupun ini hanya terjadi di kota-kota besar khususnya seperti yang terjadi di Bandung, Jakarta, dan lain-lain. Pada prinsipnya perkawinan itu bertujuan untuk selama hidup dan untuk mencapai kebahagiaan yang kekal (abadi) bagi suami istri yang bersangkutan. Sehingga Rasulullah melarang keras terjadinya perceraian antara suami istri, baik itu dilakukan atas inisiatif pihak laki-laki (suami) maupun pihak perempuan (istri). Karena semua bentuk perceraian itu akan berdampak buruk bagi masing-masing pihak.
Suatu perceraian yang telah terjadi antara suami istri secara yuridis memang mereka itu masih mampunyai hak dan kewajiban antara keduanya, terutama pada saat si istri sedang menjalani masa iddah. Iddah adalah waktu menunggu bagi mantan istri yang telah diceraikan oleh mantan suaminya, baik itu karena thalak atau diceraikannya. Ataupun karena suaminya meninggal dunia yang pada waktu tunggu itu mantan istri belum boleh melangsungkan pernikahan kembali dengan laki-laki lain. Pada saat iddah inilah antara kedua belah pihak yang telah mengadakan perceraian, masing-masing masih mempunyai hak dan kewajiban antara keduanya. Bila suami melalaikan kewajibannya maka akan timbul berbagai permasalahan, misalnya si anak putus sekolahnya, sehingga anak tersebut menjadi terlantar atau bahkan menjadi gelandangan. Sedangkan mantan istrinya sendiri tidak menutup kemungkinan akan terjerumus ke lembah hitam. Inilah fenomena-fenomena yang sering timbul dari perceraian yang mana suami tidak melaksanakan kewajibannya terhadap hak istri dan anak pada masa iddah. Setelah terjadi perceraian pada hakikatnya si suami harus memberikan minimal perumahan pada mantan istri dan anaknya. Berkenaan dengan itu kewajiban suami tersebut, alam Kompilasi Hukum Islam pasal 18 ayat 1 yang berbunyi “Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau mantan istrinya yang masih dalam masa iddah”.
Dari bunyi di atas sudah jelas bagi suami yang telah menceraikan istrinya wajib untuk menyediakan tempat tinggal, ataupun membolehkan 3 istrinya untuk bertempat tinggal di rumahnya sampai batas masa iddah habis (berakhir). Bila suami melalaikan kewajiban ini, maka istri dapat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Agama. Gugatan tersebut dapat diajukan bersamasama sewaktu istri mengajukan berkas gugatan atau dapat pula gugatan tersebut diajukan di kemudian. Akan tetapi ada pula kewajiban tersebut tidak dapat dibebankan kepada mantan suami, misalnya pada waktu terjadi perceraian tersebut disebabkan istri murtad atau sebab-sebab lainnya yang menjadi sebab suami tidak wajib menunaikan hak istri dan bila telah ada kemufakatan bersama atas putusan Pengadilan Agama tentang nafkah anak tersebut, maka dapat pula nafkah si anak ditanggung bersama antara keduanya (suami-istri).
Pengadilan Agama adalah lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan masalah nafkah iddah. Namun untuk menyelesaikan masalahmasalah tersebut di atas para pencari keadilan yang selalu agresif mengajukan permasalahannya ke Pengadilan Agama. Bila tidak mendapatkan kejelasan dan kepastian hukum sudah barang tentu pengajuan perkara haruslah sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Bertitik tolak dari realitasyang ada ini penyusun merasa terpanggil untuk membahas lebih mendalam tentang penyelesaian nafkah iddah. Dengan pembahasan tersebut diharapkan akan mendapatkan suatu gambaran, dan jawaban yang konkrit dalam implikasi Pengadilan Agama dan Undangundang kehidupan masyarakat.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah bertitik tolak dari latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang merupakan sentral pembahasan dalam makalah, yaitu :
1. Apa nafkah iddah menurut hukum Islam dan   perundang-undangan di Indonesia?
2. Bagaimana cara penyelesaian masa iddah dalam pengadilan agama?
3. Bagaimana penetapan tentang nafkah iddah di pengadilan agama?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui apa nafkah iddah menurut hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui cara penyelesaian masa iddah dalam Pengadilan Agama
3. Untuk mengetahui penetapan tentang nafkah iddah di pengadilan agama








BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Iddah
Bagi istri yang putus hubungan perkawinan dengan suaminya baik karena ditalaq atau karena ditinggal mati oleh suaminya, mempunyai akibat hukum yang harus diperhatikan yaitu masalah iddah. Keharusan beriddah merupakan perintah Allah yang dibebankan kepada bekas istri yang telah dicerai baik dia (istri) orang yang merdeka maupun hamba sahaya untuk melaksanakannya sebagai manifestasi ketaatan kepadanya. Dari Segi Bahasa arti iddah ditinjau dari segi bahasa, iddah berasal dari kata عدد yang mempunyai arti bilangan atau hitungan. Dalam Kamus Arab Indonesia karangan Mahmud Yunus, iddah berasal dari kata عدّ yang berarti menghitung. Dengan demikian jika ditinjau dari segi bahasa, maka kata iddah dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari suci pada wanita. Dari Segi Istilah Para ulama’ telah merumuskan pengertian iddah dengan rumusan, antara lain د ج بع اسم للمدة التى تنتظر فيها المرأة وتمتسع عن التز وي وفاة زوجها او فراته لها 
bahwa iddah adalah suatu tenggang waktu tertentu yang harus dijalani seorang perempuan sejak ia berpisah. Baik disebabkan karena talak maupun karena suaminya meninggal dunia. Dalam hal iddah ini wanita (istri) tidak boleh kawin dengan laki-laki lain sebelum habis masa iddahnya. Dengan demikian dapat diambil suatu pengertian bahwa iddah itu mempunyai beberapa unsur yaitu :
1. Suatu tenggang waktu tertentu
2. Wajib dijalani si bekas istri
3. Karena ditinggal mati oleh suaminya maupun diceraikan oleh suaminya.
4. Keharaman untuk melakukan perkawinan selama masa iddah.

B. Hak dan Kewajiban Suami Istri pada Masa Iddah
1. Hak Istri pada Masa Iddah
a. Mendapatkan nafkah selama masa iddah
b. Mendapatkan perumahan selama masa iddah
c. Istri berhak memutuskan untuk rujuk kembali, sedangkan kewajiban istri adalah masa berkabung bila ia ditinggal mati suaminya.
2. Kewajiban suami pada masa iddah istri
a. Suami wajib memberikan nafkah pada istri
b. Suami wajib memberikan perumahan pada istri
c. Suami berhak untuk merujuk kembali atau tidak
Hak istri merupakan kewajiban suami untuk melaksanakan atau memenuhi hak-hak istri. Sedangkan kewajiban istri merupakan hak suami yang harus dijalankan oleh istri pada masa iddah. Berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 4 (sub c) yang berbunyi : “Pengadilan Agama dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi istri”. Hal ini juga dipertegas dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 81 ayat (1 dan 2) yang berbunyi : Suami wajib menyediakan tempat tinggal bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istrinya yang masih dalam iddah. Tempat kediaman adalah tempat tinggal Berdasar pada pasal di atas dan dipertegas dalam Kompilasi Hukum Islam menunjukkan bahwa perumahan masuk ke dalam kategori dari bunyi pasal dan hukum di atas untuk mewajibkan suami menyediakan tmepat kediaman bagi istri selama masa iddah atau tempat kediaman bagi istri dapat dialih artikan suami memberikan rumah yang lain untuk ditempati istri baik selama pada masa iddah ataupun setelahnya. Akan tetapi bila istri itu sendiri yang meninggalkan rumah yang telah ditetapkan tanpa alasan yang dipertanggung jawabkan, maka istri tersebut telah dianggap nusyuz. Adapun kewajiban lainnya bagi suami adalah memberikan biaya nafkah selama masa iddah, sebagaimana yang terdapat dalam pasal 149 (sub a dan b) yang berbunyi antara lain : Bila perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla audukhul
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
Berdasarkan hasil wawancara dengan hakim Dra. Siti Nurjanah Diaz, S.H. nafkah iddah itu tidak tergantung pada pihak istri itu sendiri. Adapun suami sendiri yang dengan suka rela tnapa dituntut dulu oleh istri di Pengadilan Agama memenuhi kewajiban istri yang pada masa iddah. Apabila istri berkeinginan menuntut nafkah iddah, maka dapat dilaksanakan berdasarkan pada pasal 86 ayat (1) Undang-undang No. 7 tahun 1989 yang berbunyi : “Gugatan soal pengasuhan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dalam gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap” Nafkah iddah ini merupakan hak istri pada masa iddah dan kewajiban suami pula untuk melaksanakannya. Akan tetapi dari tahun 1993 sampai 1995 masih relatif kecil yang melaksanakannya. Hal ini dikarenakan banyak faktor, salah satunya adalah pendidikan. Mengenai jumlah nafkah iddah istri tersebut sangat relatif. Bila terjadi perselisihan mengenai jumlah, dapat dianjurkan dan diberikan pengarahan oleh Pengadilan Agama untuk diselesaikan secara musyawarah dan kekeluargaan. Akan tetapi bila tidak terjadi kesepakatan dalam penentuan jumlah maka pengadilan agama dapat menentukan jumlahnya yang disesuaikan dengan kemampuan suami dan tidak memberatkannya, dan sebaliknya diberikan pada saat setelah pembacaan sighot thalak di muka majelis hakim Pengadilan Agama. Suami dapat untuk tidak melaksanakannya disebabkan si istri melalaikan kewajibannya, atau sebab yang lainnya yaitu istri mengikhlaskan suami untuk tidak melaksanakan kewajibannya. Ini sesuai dengan pasal 80 ayat (4 sampai 7) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi antara lain :
Ayat 4 “Sesuai dengan penghasilan suami menanggung a. Nafkah, kiswah, biaya perawatan, pengobatan bagi istri dan anak b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan diri, biaya pengobatan istri dan anak. c. Biaya pendidikan bagi anak
Ayat 5 “Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf (a) dan (b) di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
Ayat 6 “Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajibannya terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf (a) dan (b)
Ayat 7 “Kewajiban suami yang dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz Dari bunyi pasal tersebut di atas tampak jelas suami dapat tidak melaksanakan kewajiban yaitu :
a. Apabila si istri benar-benar telah mengikhlaskannya
b. Apabila si istri dalam keadaan nusyuz, maka akibat hukumnya hak istri pada masa iddah gugur dengan sendirinya baik perkara tersebut dalam proses pengadilan ataupun tidak.
C. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Menetapkan Masa Iddah
Kewenangan Pengadilan  Agama untuk menerima, menyelesaikan dan memutuskan atas perkara tertentu. Kewenangan Pengadilan Agama dalam menetapkan dan memutuskan suatu perkara tertentu itu merupakan kewenangan absolut Pengadilan Agama. Masa iddah itu sendiri merupakan akibat dari suatu perceraian dimana permasalahan dari perkara ini termasuk pada kewenangan absolut Pengadilan Agama. Ini menunjukkan bahwa penetapan masa iddah itu sendiri merupakan dampak dari suatu perkara perceraian yang dituntutkan. Berarti merupakan kewenangan Pengadilan Agama untuk memutuskan serta menetapkannya. Berdasarkan pasal 2 Undang-undang No. 7 tahun 1989, dimana semua perkara perdata yang masuk dalam ruang lingkup Pengadilan Agama menjadi yurisdiksi Pengadilan Agama. Bunyi pasal 2 Undang-undang No. 7 tahun 1989 yaitu : “Pengadilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang mengatur dalam undang-undang ini”. Berdasarkan bunyi pasal di atas bahwa setiap warga negara yang beragama Islam dapat mencari keadilan di Pengadilan Agama dan perangkat Pengadilan Agama harus menerima dan dapat menyelesaikan perkara yang diajukan terutama dalam masalah perceraian.
Dalam menetapkan perceraian yang berakibat pula penetapan iddah bagi istri. Setelah suatu perkara perceraian antara suami istri telah diputuskan, maka dengan demikian Pengadilan Agama menetapkan pula masa iddah istri. Akan tetapi setiap perceraian yang terjadi bagi setiap istri akan mengalami masa iddah. Sehingga ini merupakan kewajiban dan wewenang Pengadilan Agama untuk menetapkan tenggang waktu masa iddah bagi istri. Pihak istri harus mematuhi putusan tersebut dan menjalankan masa iddah yang telah diputuskan oleh pihak Pengadilan Agama karena itu untuk kepentingan suami istri itu sendiri bila akan ruju’ kembali. Bila diperhatikan antara Kompilasi Hukum Islam Bab XVII pasal 30 yang berbunyi : “Bekas suami berhak melakukan ruju’ kepada bekas istrinya yang masih dalam masa iddah”. Ini berjalan dengan peraturan perundang-undangan yang ada karena penetapan masa iddah itu sendiri bagi hakim Pengadilan Agama merupaka suatu rangkaian perkara perdata yang diputuskan sebagaimana pula dalam Kompilasi Hukum Islam BAB XVIII pasal 163 (sub i) yang berbunyi : “seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah” Akan tetapi jika seorang istri tidak mematuhi masa iddah yang telah diputuskan sebagaimana mestinya. Hal ini bukan merupakan kewenangan Pengadilan Agama untuk menetapkan sanksi ataupun sejenisnya. Penetapan nafkah iddah itu merupakan tugas dan wewenang Pengadilan Agama dalam yuridisnya. Adapun dalam penetapan masa iddah itu sendiri walaupun itu merupakan suatu rangkaian dari penyelesaian perkara perceraian akan tetapi merupakan traktat atau kebiasaan hakim-hakim terdahulu dalam menetapkan suatu perkara.
D. Proses Penetapan Nafkah Iddah di Pengadilan Agama
Pengadilan Agama Menjatuhkan Putusan dalam operasionalnya bersikap aktif terhadap para pihak terutama kepada para pihak mantan suami yang tidak menjalankan kewajibannya atau dimintakan di Pengadilan Agama, maka Pengadilan Agama berperan aktif di dalam menyelesaikan masalah tersebut. Pengadilan Agama berdasarkan pada undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 41 bahwa hakim Pengadilan Agama dapat menetapkan kepada mantan suami untuk memberikan hak istri pada masa iddah. Jadi berdasarkan undang-undang Perkawinan dalam pasal 41 ayat (c) Undang-undang No. 1 tahun 1974 menjelaskan bahwa Pengadilan Agama dapat memutuskan bahwa suami wajib memberikan biaya penghidupan pada masa iddah bekas istri.
Sedangkan apabila terjadi perselisihan pendapat antara suami dan istri mengenai besar kecil jumlah nafkah tersbut maka Pengadilan Agama dapat menentukan jumlah dan wujud nafkah iddah kepada istri, dimana jumlah dan wujud nafkah tersebut disesuaikan dengan kemampuan suami dengan tanpa memberatkan si suami. Sebagaimana ditegaskan padal 41 ayat (c) Undang-undang No. 1 tahun 1974 berbunyi sebagai berikut : Pengadilan Agama membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat biayanya. Bunyi pasal tersebut di atas menunjukkan bahwa Pengadilan Agama sesungguhnya bersifat membantu menyikapi terhadap perkara suami yang diajukan istri ke pengadilan dikarenakan tidak menunaikan kewajiban. Sikap pengadilan agama terhadap perkara tersebut adalah memberikan putusan atau penetapan perkara tersebut. Dimana dengan sendirinya putusan telah memerintahkan kepada mantan suami untuk menjalankan kewajiban terhadap bekas istri. Untuk mengetahui bentuk putusan atau penetapan Pengadilan Agama secara spesifik dapat dirujuk dari ketentuan perundang-undangan pasal 57 ayat (2), pasal 59 ayat (2) pasal 60-64 Undang-undang No. 7 tahun 1989. Kemudian selain ketentuan peraturan perundang-undangan pasal-pasal tersebut di atas maka bentuk keputusan atapun penetapan Pengadilan Agama ditegaskan lebih lanjut dalam penjelasan pasal 60 Undang-undang No. 7 tahun 1989 yang berbunyi : “Penetapan dan putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”.
Suatu putusan atau penetapan Pengadilan Agama dianggap syah dan mempunyai kekuatan hukum tetap apabila diucapkan pada sidang terbuka untuk umum dan apabila setelah putusan perkara tersebut tidak adanya cacat hukum atau pihak lain mengajukan banding. Dengan sendirinya kedua belah pihak harus mematuhi dan menjalankan daripada isi pokok materi keputusan tersebut. Jumlah nafkah itu sendiri dapat dimusyawarahkan antara kedua belah pihak yang berkepentingan yaitu antara suami dan istri secara langsung. Bila tidak tercapai suatu kesepakatan di dalam musyawarah maka Pengadilan Agama dapat pula dengan wewenangnya menentukan besar kecilnya jumlah nafkah tersebut berdasarkan kemampuan suami dan tidak memberatkan kepada pihak mantan suami.
Suami yang Menjalankan Kewajiban dan yang Tidak Menjalankan Kewajiban pada Masa Iddah Istri yang Telah Dicerai. Pengadilan Agama memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara perdata khusus pada tingkat pertama bagi orang-orang yang beragama Islam. Salah satu tugas dan wewenang Pengadilan Agama adalah menetapkan nafkah iddah bagi si istri yang dicerai oleh suaminya dimana perkara tersebut merupakan suatu rangkaian perkara perdata dari akibat terjadinya suatu perceraian.
Mengenai suami yang menjalankan dan tidak menjalankan kewajibannya pada masa iddah istri. Suami yang menjalankan dan tidak menjalankan kewajibannya pada masa iddah istri ini relatif, tergantung dari kesediaan si suami atau si istri menuntut nafkah tersebut di Pengadilan Agama atau tidak. Nafkah iddah itu sendiri adakalanya si suami memberikan secara langsung kepada si istri, dan ada kalanya diberikan setelah si istri menuntut di Pengadilan Agama, tuntutan itu bisa diajukan bersama-sama dengan tuntutan cerai atau setelah perkara cerai diputuskan. Akan tetapi kewajiban si suami atas nafkah iddah menjadi hilang dikarenakan alasan-alasan yang menyebabkan hilangnya kewajiban si suami terhadap si istri yang telah dicerai.
Macam-macam Alasan Suami yang Tidak Melaksanakan Kewajiban pada Masa Iddah
Alasan si suami untuk tidak menjalankan kewajiban pada masa iddah bagi mantan istrinya, sangatlah berfariatif. Hal ini dikarenakan berdasarkan pada keadaan suami itu sendiri. Seperti kesediaan suami itu sendiri, atau alasan ekonomi seperti mempunyai pekerjaan tapi tidak mencukupi atau tidak mempunyai pekerjaan yang mapan, atau bisa jadi si istri tidak menuntut nafkah tersebut di Pengadilan Agama.
1. Alasan suami tidak melaksanakan disebabkan istri itu sendiri merelakan nafkah tersebut Sejalan dengan pasal 80 ayat (4-7) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi sebagai berikut :  
(4) Sesuai dengan penghasilan suami menanggung
(a) Nafkah, kiswah, biaya perawatan dari biaya pengobatan bagi istri dan anak
(b) Biaya rumah tangga, biaya perawatan dari biaya pengobatan bagi istri dan anak
(c) Biaya pendidikan bagi anak
(5) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf (a dan (b) di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
(6) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajibannya terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf (a dan b).
(7) Kewajiban suami yang dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.
2. Alasan tidak melaksanakan nafkah disebabkan istri tidak menuntut nafkah iddah di muka Pengadilan Agama Suatu perkara dapat menjadi kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama dalam ruang lingkup yurisdiksi dan kekuasaannya apabila perkara tersebut dituntutkan di muka Pengadilan Agama oleh pihak yang berkepentingan. Akan tetapi bila perkara tersebut tidak dituntutkan maka dengan sendirinya Pengadilan Agama tidak mempunyai kewenangan untuk berinteraksi dalam perkara tersebut.
3. Alasan suami tidak mampu dalam ekonomi Masalah mendasar suami yang tidak menjalankan kewajibannya terhadap istri pada masa iddah adalah dikarenakan permasalahan perekonomian. Apabila suami memang benar-benar tidak mampu dalam masalah ekonomi maka Majelis Hakim Pengadilan Agama dapat membebaskan suami dari tuntutan nafkah iddah tersebut, akan tetapi perkara ini sama sekali belum pernah terjadi dalam bentuk suatu perkara perdata tentang suami tidak mampu di dalam menunaikan kewajibannya pada masa iddah isteri.










BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Bahwa iddah adalah suatu tenggang waktu tertentu yang harus dijalani seorang perempuan sejak ia berpisah. Baik disebabkan karena talak maupun karena suaminya meninggal dunia. Dalam hal iddah ini wanita (istri) tidak boleh kawin dengan laki-laki lain sebelum habis masa iddahnya.
            Dalam menetapkan perceraian yang berakibat pula penetapan iddah bagi istri. Setelah suatu perkara perceraian antara suami istri telah diputuskan, maka dengan demikian Pengadilan Agama menetapkan pula masa iddah istri. Akan tetapi setiap perceraian yang terjadi bagi setiap istri akan mengalami masa iddah. Sehingga ini merupakan kewajiban dan wewenang Pengadilan Agama untuk menetapkan tenggang waktu masa iddah bagi istri. Pihak istri harus mematuhi putusan tersebut dan menjalankan masa iddah yang telah diputuskan oleh pihak Pengadilan Agama karena itu untuk kepentingan suami istri itu sendiri bila akan ruju’ kembali.
Pengadilan Agama Menjatuhkan Putusan dalam operasionalnya bersikap aktif terhadap para pihak terutama kepada para pihak mantan suami yang tidak menjalankan kewajibannya atau dimintakan di Pengadilan Agama, maka Pengadilan Agama berperan aktif di dalam menyelesaikan masalah tersebut. Pengadilan Agama berdasarkan pada undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 41 bahwa hakim Pengadilan Agama dapat menetapkan kepada mantan suami untuk memberikan hak istri pada masa iddah. Jadi berdasarkan undang-undang Perkawinan dalam pasal 41 ayat (c) Undang-undang No. 1 tahun 1974 menjelaskan bahwa Pengadilan Agama dapat memutuskan bahwa suami wajib memberikan biaya penghidupan pada masa iddah bekas istri.


B. Saran
1. untuk seorang istri harus mematuhi masa iddah yang telah di tetapkan menurut agama atau penetapan pengadilan agama.
2. Dalam masa iddah ini sebaiknya suami dan istri dapat berpikir untuk ruju kembali.
3. Sebaiknya suami dan istri menetapkan nafkah iddah sesuai dengan kemampuan bekas suami.
4. Bekas suami selama mampu memberi nafkah iddah wajib memberi nafkah seperti kesepakatan keduanya.













DAFTAR PUSTAKA

Chuzaiman T. Yanggo dkk. Problematika Hukum Islam Kontemporer cet. I. PT. Pustaka Firdaus. Jakarta. 1994.
H. Sastroadmojo. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia cet. III. Bulan Bintang. Jakarta. 1981.
Wantjik Saleh. Hukum Perkawinan Indonesia. Galia Indonesia. Jakarta. 1986.
Inpres No 1 Tahun 1991 Tentang  Kompilasi Hukum Islam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

1 comment:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS ALLHAMDULILLAH

    DARI BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H., M.H BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp pribadi bpk Dr. H. Ridwan Mansyur ,S.H., M.H Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Ridwan Mansyur, S.H., M.H beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H.,M.H 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Ridwan semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    ReplyDelete

Makalah Perjanjian Jual beli dalam Hukum Perdata

BAB I PENDAHULUAN A.    Latar Belakang Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan yang bersifat fisik dan non fisik. Kebutuhan itu ti...