BAB
I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang Masalah
Pada
era globalisasi seperti sekarang ini banyak sekali permasalahan-permasalahan
yang timbul, umumnya pada permasalahan perkawinan. Di Pengadilan Agama (PA)
banyak pengajuan kasus perkawinan khususnya dalam kasus penyelesaian nafkah
iddah. Dimana norma-norma dan kaidah-kaidah yang ada dan mengatur masalah ini
sudah dikesampingkan. Dan hukum-hukum yang mengatur hal ini, sepertinya sudah
tidak diindahkan (dipedulikan) lagi. Walaupun ini hanya terjadi di kota-kota
besar khususnya seperti yang terjadi di Bandung, Jakarta, dan lain-lain. Pada
prinsipnya perkawinan itu bertujuan untuk selama hidup dan untuk mencapai
kebahagiaan yang kekal (abadi) bagi suami istri yang bersangkutan. Sehingga
Rasulullah melarang keras terjadinya perceraian antara suami istri, baik itu
dilakukan atas inisiatif pihak laki-laki (suami) maupun pihak perempuan
(istri). Karena semua bentuk perceraian itu akan berdampak buruk bagi
masing-masing pihak.
Suatu
perceraian yang telah terjadi antara suami istri secara yuridis memang mereka
itu masih mampunyai hak dan kewajiban antara keduanya, terutama pada saat si
istri sedang menjalani masa iddah. Iddah adalah waktu menunggu bagi mantan
istri yang telah diceraikan oleh mantan suaminya, baik itu karena thalak atau
diceraikannya. Ataupun karena suaminya meninggal dunia yang pada waktu tunggu
itu mantan istri belum boleh melangsungkan pernikahan kembali dengan laki-laki
lain. Pada saat iddah inilah antara kedua belah pihak yang telah mengadakan
perceraian, masing-masing masih mempunyai hak dan kewajiban antara keduanya.
Bila suami melalaikan kewajibannya maka akan timbul berbagai permasalahan,
misalnya si anak putus sekolahnya, sehingga anak tersebut menjadi terlantar
atau bahkan menjadi gelandangan. Sedangkan mantan istrinya sendiri tidak
menutup kemungkinan akan terjerumus ke lembah hitam. Inilah fenomena-fenomena
yang sering timbul dari perceraian yang mana suami tidak melaksanakan
kewajibannya terhadap hak istri dan anak pada masa iddah. Setelah terjadi
perceraian pada hakikatnya si suami harus memberikan minimal perumahan pada
mantan istri dan anaknya. Berkenaan dengan itu kewajiban suami tersebut, alam
Kompilasi Hukum Islam pasal 18 ayat 1 yang berbunyi “Suami wajib menyediakan
tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau mantan istrinya yang masih
dalam masa iddah”.
Dari
bunyi di atas sudah jelas bagi suami yang telah menceraikan istrinya wajib
untuk menyediakan tempat tinggal, ataupun membolehkan 3 istrinya untuk
bertempat tinggal di rumahnya sampai batas masa iddah habis (berakhir). Bila
suami melalaikan kewajiban ini, maka istri dapat mengajukan gugatannya ke
Pengadilan Agama. Gugatan tersebut dapat diajukan bersamasama sewaktu istri
mengajukan berkas gugatan atau dapat pula gugatan tersebut diajukan di
kemudian. Akan tetapi ada pula kewajiban tersebut tidak dapat dibebankan kepada
mantan suami, misalnya pada waktu terjadi perceraian tersebut disebabkan istri
murtad atau sebab-sebab lainnya yang menjadi sebab suami tidak wajib menunaikan
hak istri dan bila telah ada kemufakatan bersama atas putusan Pengadilan Agama
tentang nafkah anak tersebut, maka dapat pula nafkah si anak ditanggung bersama
antara keduanya (suami-istri).
Pengadilan
Agama adalah lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan masalah nafkah iddah.
Namun untuk menyelesaikan masalahmasalah tersebut di atas para pencari keadilan
yang selalu agresif mengajukan permasalahannya ke Pengadilan Agama. Bila tidak
mendapatkan kejelasan dan kepastian hukum sudah barang tentu pengajuan perkara
haruslah sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Bertitik tolak dari realitasyang ada ini penyusun merasa terpanggil untuk
membahas lebih mendalam tentang penyelesaian nafkah iddah. Dengan pembahasan
tersebut diharapkan akan mendapatkan suatu gambaran, dan jawaban yang konkrit
dalam implikasi Pengadilan Agama dan Undangundang kehidupan masyarakat.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan
masalah bertitik tolak dari latar belakang tersebut di atas maka dapat
dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang merupakan sentral pembahasan dalam
makalah, yaitu :
1.
Apa nafkah iddah menurut hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia?
2.
Bagaimana cara penyelesaian masa iddah dalam pengadilan agama?
3.
Bagaimana penetapan tentang nafkah iddah di pengadilan agama?
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan
Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1.
Untuk mengetahui apa nafkah iddah menurut hukum Islam dan perundang-undangan di
Indonesia.
2.
Untuk mengetahui cara penyelesaian masa iddah dalam Pengadilan Agama
3.
Untuk mengetahui penetapan tentang nafkah iddah di pengadilan agama
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Iddah
Bagi
istri yang putus hubungan perkawinan dengan suaminya baik karena ditalaq atau
karena ditinggal mati oleh suaminya, mempunyai akibat hukum yang harus
diperhatikan yaitu masalah iddah. Keharusan beriddah merupakan perintah Allah
yang dibebankan kepada bekas istri yang telah dicerai baik dia (istri) orang
yang merdeka maupun hamba sahaya untuk melaksanakannya sebagai manifestasi ketaatan
kepadanya. Dari Segi Bahasa arti iddah ditinjau dari segi bahasa, iddah berasal
dari kata عدد yang mempunyai arti bilangan atau hitungan. Dalam Kamus Arab
Indonesia karangan Mahmud Yunus, iddah berasal dari kata عدّ yang berarti
menghitung. Dengan demikian jika ditinjau dari segi bahasa, maka kata iddah
dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari suci pada wanita.
Dari Segi Istilah Para ulama’ telah merumuskan pengertian iddah dengan rumusan,
antara lain د � ج بع �
اسم للمدة التى تنتظر فيها المرأة وتمتسع عن التز وي وفاة زوجها او فراته لها
bahwa
iddah adalah suatu tenggang waktu tertentu yang harus dijalani seorang
perempuan sejak ia berpisah. Baik disebabkan karena talak maupun karena
suaminya meninggal dunia. Dalam hal iddah ini wanita (istri) tidak boleh kawin
dengan laki-laki lain sebelum habis masa iddahnya. Dengan demikian dapat
diambil suatu pengertian bahwa iddah itu mempunyai beberapa unsur yaitu :
1.
Suatu tenggang waktu tertentu
2.
Wajib dijalani si bekas istri
3.
Karena ditinggal mati oleh suaminya maupun diceraikan oleh suaminya.
4.
Keharaman untuk melakukan perkawinan selama masa iddah.
B.
Hak dan Kewajiban Suami Istri pada Masa Iddah
1.
Hak Istri pada Masa Iddah
a.
Mendapatkan nafkah selama masa iddah
b.
Mendapatkan perumahan selama masa iddah
c.
Istri berhak memutuskan untuk rujuk kembali, sedangkan kewajiban istri adalah
masa berkabung bila ia ditinggal mati suaminya.
2.
Kewajiban suami pada masa iddah istri
a.
Suami wajib memberikan nafkah pada istri
b.
Suami wajib memberikan perumahan pada istri
c.
Suami berhak untuk merujuk kembali atau tidak
Hak
istri merupakan kewajiban suami untuk melaksanakan atau memenuhi hak-hak istri.
Sedangkan kewajiban istri merupakan hak suami yang harus dijalankan oleh istri
pada masa iddah. Berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 4 (sub c)
yang berbunyi : “Pengadilan Agama dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi istri”.
Hal ini juga dipertegas dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 81 ayat (1 dan 2)
yang berbunyi : Suami wajib menyediakan tempat tinggal bagi istri dan
anak-anaknya atau bekas istrinya yang masih dalam iddah. Tempat kediaman adalah
tempat tinggal Berdasar pada pasal di atas dan dipertegas dalam Kompilasi Hukum
Islam menunjukkan bahwa perumahan masuk ke dalam kategori dari bunyi pasal dan
hukum di atas untuk mewajibkan suami menyediakan tmepat kediaman bagi istri
selama masa iddah atau tempat kediaman bagi istri dapat dialih artikan suami
memberikan rumah yang lain untuk ditempati istri baik selama pada masa iddah
ataupun setelahnya. Akan tetapi bila istri itu sendiri yang meninggalkan rumah
yang telah ditetapkan tanpa alasan yang dipertanggung jawabkan, maka istri
tersebut telah dianggap nusyuz. Adapun kewajiban lainnya bagi suami adalah
memberikan biaya nafkah selama masa iddah, sebagaimana yang terdapat dalam
pasal 149 (sub a dan b) yang berbunyi antara lain : Bila perkawinan putus
karena talak, maka bekas suami wajib :
a.
Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau
benda, kecuali bekas istri tersebut qobla audukhul
b.
Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah,
kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan
tidak hamil.
Berdasarkan
hasil wawancara dengan hakim Dra. Siti Nurjanah Diaz, S.H. nafkah iddah itu
tidak tergantung pada pihak istri itu sendiri. Adapun suami sendiri yang dengan
suka rela tnapa dituntut dulu oleh istri di Pengadilan Agama memenuhi kewajiban
istri yang pada masa iddah. Apabila istri berkeinginan menuntut nafkah iddah,
maka dapat dilaksanakan berdasarkan pada pasal 86 ayat (1) Undang-undang No. 7
tahun 1989 yang berbunyi : “Gugatan soal pengasuhan anak, nafkah anak, nafkah
istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dalam gugatan
perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap”
Nafkah iddah ini merupakan hak istri pada masa iddah dan kewajiban suami pula
untuk melaksanakannya. Akan tetapi dari tahun 1993 sampai 1995 masih relatif
kecil yang melaksanakannya. Hal ini dikarenakan banyak faktor, salah satunya
adalah pendidikan. Mengenai jumlah nafkah iddah istri tersebut sangat relatif.
Bila terjadi perselisihan mengenai jumlah, dapat dianjurkan dan diberikan
pengarahan oleh Pengadilan Agama untuk diselesaikan secara musyawarah dan
kekeluargaan. Akan tetapi bila tidak terjadi kesepakatan dalam penentuan jumlah
maka pengadilan agama dapat menentukan jumlahnya yang disesuaikan dengan
kemampuan suami dan tidak memberatkannya, dan sebaliknya diberikan pada saat
setelah pembacaan sighot thalak di muka majelis hakim Pengadilan Agama. Suami
dapat untuk tidak melaksanakannya disebabkan si istri melalaikan kewajibannya,
atau sebab yang lainnya yaitu istri mengikhlaskan suami untuk tidak
melaksanakan kewajibannya. Ini sesuai dengan pasal 80 ayat (4 sampai 7)
Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi antara lain :
Ayat
4 “Sesuai dengan penghasilan suami menanggung a. Nafkah, kiswah, biaya
perawatan, pengobatan bagi istri dan anak b. Biaya rumah tangga, biaya
perawatan diri, biaya pengobatan istri dan anak. c. Biaya pendidikan bagi anak
Ayat
5 “Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf (a)
dan (b) di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
Ayat
6 “Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajibannya terhadap dirinya
sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf (a) dan (b)
Ayat
7 “Kewajiban suami yang dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz Dari bunyi
pasal tersebut di atas tampak jelas suami dapat tidak melaksanakan kewajiban
yaitu :
a. Apabila si istri benar-benar telah
mengikhlaskannya
b.
Apabila si istri dalam keadaan nusyuz, maka akibat hukumnya hak istri pada masa
iddah gugur dengan sendirinya baik perkara tersebut dalam proses pengadilan
ataupun tidak.
C.
Kewenangan Pengadilan Agama dalam Menetapkan Masa Iddah
Kewenangan
Pengadilan Agama untuk menerima, menyelesaikan
dan memutuskan atas perkara tertentu. Kewenangan Pengadilan Agama dalam
menetapkan dan memutuskan suatu perkara tertentu itu merupakan kewenangan
absolut Pengadilan Agama. Masa iddah itu sendiri merupakan akibat dari suatu
perceraian dimana permasalahan dari perkara ini termasuk pada kewenangan
absolut Pengadilan Agama. Ini menunjukkan bahwa penetapan masa iddah itu
sendiri merupakan dampak dari suatu perkara perceraian yang dituntutkan.
Berarti merupakan kewenangan Pengadilan Agama untuk memutuskan serta
menetapkannya. Berdasarkan pasal 2 Undang-undang No. 7 tahun 1989, dimana semua
perkara perdata yang masuk dalam ruang lingkup Pengadilan Agama menjadi
yurisdiksi Pengadilan Agama. Bunyi pasal 2 Undang-undang No. 7 tahun 1989 yaitu
: “Pengadilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang mengatur
dalam undang-undang ini”. Berdasarkan bunyi pasal di atas bahwa setiap warga
negara yang beragama Islam dapat mencari keadilan di Pengadilan Agama dan
perangkat Pengadilan Agama harus menerima dan dapat menyelesaikan perkara yang
diajukan terutama dalam masalah perceraian.
Dalam
menetapkan perceraian yang berakibat pula penetapan iddah bagi istri. Setelah
suatu perkara perceraian antara suami istri telah diputuskan, maka dengan
demikian Pengadilan Agama menetapkan pula masa iddah istri. Akan tetapi setiap
perceraian yang terjadi bagi setiap istri akan mengalami masa iddah. Sehingga
ini merupakan kewajiban dan wewenang Pengadilan Agama untuk menetapkan tenggang
waktu masa iddah bagi istri. Pihak istri harus mematuhi putusan tersebut dan
menjalankan masa iddah yang telah diputuskan oleh pihak Pengadilan Agama karena
itu untuk kepentingan suami istri itu sendiri bila akan ruju’ kembali. Bila
diperhatikan antara Kompilasi Hukum Islam Bab XVII pasal 30 yang berbunyi :
“Bekas suami berhak melakukan ruju’ kepada bekas istrinya yang masih dalam masa
iddah”. Ini berjalan dengan peraturan perundang-undangan yang ada karena
penetapan masa iddah itu sendiri bagi hakim Pengadilan Agama merupaka suatu
rangkaian perkara perdata yang diputuskan sebagaimana pula dalam Kompilasi
Hukum Islam BAB XVIII pasal 163 (sub i) yang berbunyi : “seorang suami dapat
merujuk istrinya yang dalam masa iddah” Akan tetapi jika seorang istri tidak
mematuhi masa iddah yang telah diputuskan sebagaimana mestinya. Hal ini bukan
merupakan kewenangan Pengadilan Agama untuk menetapkan sanksi ataupun
sejenisnya. Penetapan nafkah iddah itu merupakan tugas dan wewenang Pengadilan
Agama dalam yuridisnya. Adapun dalam penetapan masa iddah itu sendiri walaupun
itu merupakan suatu rangkaian dari penyelesaian perkara perceraian akan tetapi
merupakan traktat atau kebiasaan hakim-hakim terdahulu dalam menetapkan suatu
perkara.
D.
Proses Penetapan Nafkah Iddah di Pengadilan Agama
Pengadilan
Agama Menjatuhkan Putusan dalam operasionalnya bersikap aktif terhadap para
pihak terutama kepada para pihak mantan suami yang tidak menjalankan
kewajibannya atau dimintakan di Pengadilan Agama, maka Pengadilan Agama
berperan aktif di dalam menyelesaikan masalah tersebut. Pengadilan Agama
berdasarkan pada undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 41 bahwa hakim Pengadilan
Agama dapat menetapkan kepada mantan suami untuk memberikan hak istri pada masa
iddah. Jadi berdasarkan undang-undang Perkawinan dalam pasal 41 ayat (c)
Undang-undang No. 1 tahun 1974 menjelaskan bahwa Pengadilan Agama dapat
memutuskan bahwa suami wajib memberikan biaya penghidupan pada masa iddah bekas
istri.
Sedangkan
apabila terjadi perselisihan pendapat antara suami dan istri mengenai besar
kecil jumlah nafkah tersbut maka Pengadilan Agama dapat menentukan jumlah dan
wujud nafkah iddah kepada istri, dimana jumlah dan wujud nafkah tersebut
disesuaikan dengan kemampuan suami dengan tanpa memberatkan si suami. Sebagaimana
ditegaskan padal 41 ayat (c) Undang-undang No. 1 tahun 1974 berbunyi sebagai
berikut : Pengadilan Agama membantu para pencari keadilan dan berusaha
sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya
peradilan yang sederhana, cepat biayanya. Bunyi pasal tersebut di atas
menunjukkan bahwa Pengadilan Agama sesungguhnya bersifat membantu menyikapi
terhadap perkara suami yang diajukan istri ke pengadilan dikarenakan tidak
menunaikan kewajiban. Sikap pengadilan agama terhadap perkara tersebut adalah
memberikan putusan atau penetapan perkara tersebut. Dimana dengan sendirinya
putusan telah memerintahkan kepada mantan suami untuk menjalankan kewajiban
terhadap bekas istri. Untuk mengetahui bentuk putusan atau penetapan Pengadilan
Agama secara spesifik dapat dirujuk dari ketentuan perundang-undangan pasal 57
ayat (2), pasal 59 ayat (2) pasal 60-64 Undang-undang No. 7 tahun 1989.
Kemudian selain ketentuan peraturan perundang-undangan pasal-pasal tersebut di
atas maka bentuk keputusan atapun penetapan Pengadilan Agama ditegaskan lebih
lanjut dalam penjelasan pasal 60 Undang-undang No. 7 tahun 1989 yang berbunyi :
“Penetapan dan putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”.
Suatu
putusan atau penetapan Pengadilan Agama dianggap syah dan mempunyai kekuatan
hukum tetap apabila diucapkan pada sidang terbuka untuk umum dan apabila
setelah putusan perkara tersebut tidak adanya cacat hukum atau pihak lain
mengajukan banding. Dengan sendirinya kedua belah pihak harus mematuhi dan
menjalankan daripada isi pokok materi keputusan tersebut. Jumlah nafkah itu
sendiri dapat dimusyawarahkan antara kedua belah pihak yang berkepentingan
yaitu antara suami dan istri secara langsung. Bila tidak tercapai suatu
kesepakatan di dalam musyawarah maka Pengadilan Agama dapat pula dengan
wewenangnya menentukan besar kecilnya jumlah nafkah tersebut berdasarkan
kemampuan suami dan tidak memberatkan kepada pihak mantan suami.
Suami
yang Menjalankan Kewajiban dan yang Tidak Menjalankan Kewajiban pada Masa Iddah
Istri yang Telah Dicerai. Pengadilan Agama memiliki tugas dan wewenang untuk
memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara perdata khusus pada tingkat pertama
bagi orang-orang yang beragama Islam. Salah satu tugas dan wewenang Pengadilan
Agama adalah menetapkan nafkah iddah bagi si istri yang dicerai oleh suaminya
dimana perkara tersebut merupakan suatu rangkaian perkara perdata dari akibat
terjadinya suatu perceraian.
Mengenai
suami yang menjalankan dan tidak menjalankan kewajibannya pada masa iddah
istri. Suami yang menjalankan dan tidak menjalankan kewajibannya pada masa
iddah istri ini relatif, tergantung dari kesediaan si suami atau si istri
menuntut nafkah tersebut di Pengadilan Agama atau tidak. Nafkah iddah itu
sendiri adakalanya si suami memberikan secara langsung kepada si istri, dan ada
kalanya diberikan setelah si istri menuntut di Pengadilan Agama, tuntutan itu
bisa diajukan bersama-sama dengan tuntutan cerai atau setelah perkara cerai
diputuskan. Akan tetapi kewajiban si suami atas nafkah iddah menjadi hilang
dikarenakan alasan-alasan yang menyebabkan hilangnya kewajiban si suami
terhadap si istri yang telah dicerai.
Macam-macam
Alasan Suami yang Tidak Melaksanakan Kewajiban pada Masa Iddah
Alasan
si suami untuk tidak menjalankan kewajiban pada masa iddah bagi mantan
istrinya, sangatlah berfariatif. Hal ini dikarenakan berdasarkan pada keadaan
suami itu sendiri. Seperti kesediaan suami itu sendiri, atau alasan ekonomi
seperti mempunyai pekerjaan tapi tidak mencukupi atau tidak mempunyai pekerjaan
yang mapan, atau bisa jadi si istri tidak menuntut nafkah tersebut di
Pengadilan Agama.
1.
Alasan suami tidak melaksanakan disebabkan istri itu sendiri merelakan nafkah
tersebut Sejalan dengan pasal 80 ayat (4-7) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi
sebagai berikut :
(4)
Sesuai dengan penghasilan suami menanggung
(a)
Nafkah, kiswah, biaya perawatan dari biaya pengobatan bagi istri dan anak
(b)
Biaya rumah tangga, biaya perawatan dari biaya pengobatan bagi istri dan anak
(c)
Biaya pendidikan bagi anak
(5)
Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf (a dan (b)
di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
(6)
Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajibannya terhadap dirinya sebagaimana
tersebut pada ayat (4) huruf (a dan b).
(7)
Kewajiban suami yang dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.
2.
Alasan tidak melaksanakan nafkah disebabkan istri tidak menuntut nafkah iddah
di muka Pengadilan Agama Suatu perkara dapat menjadi kekuasaan dan kewenangan
Pengadilan Agama dalam ruang lingkup yurisdiksi dan kekuasaannya apabila
perkara tersebut dituntutkan di muka Pengadilan Agama oleh pihak yang berkepentingan.
Akan tetapi bila perkara tersebut tidak dituntutkan maka dengan sendirinya
Pengadilan Agama tidak mempunyai kewenangan untuk berinteraksi dalam perkara
tersebut.
3.
Alasan suami tidak mampu dalam ekonomi Masalah mendasar suami yang tidak menjalankan
kewajibannya terhadap istri pada masa iddah adalah dikarenakan permasalahan
perekonomian. Apabila suami memang benar-benar tidak mampu dalam masalah
ekonomi maka Majelis Hakim Pengadilan Agama dapat membebaskan suami dari
tuntutan nafkah iddah tersebut, akan tetapi perkara ini sama sekali belum
pernah terjadi dalam bentuk suatu perkara perdata tentang suami tidak mampu di
dalam menunaikan kewajibannya pada masa iddah isteri.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Bahwa
iddah adalah suatu tenggang waktu tertentu yang harus dijalani seorang
perempuan sejak ia berpisah. Baik disebabkan karena talak maupun karena
suaminya meninggal dunia. Dalam hal iddah ini wanita (istri) tidak boleh kawin
dengan laki-laki lain sebelum habis masa iddahnya.
Dalam
menetapkan perceraian yang berakibat pula penetapan iddah bagi istri. Setelah
suatu perkara perceraian antara suami istri telah diputuskan, maka dengan
demikian Pengadilan Agama menetapkan pula masa iddah istri. Akan tetapi setiap
perceraian yang terjadi bagi setiap istri akan mengalami masa iddah. Sehingga
ini merupakan kewajiban dan wewenang Pengadilan Agama untuk menetapkan tenggang
waktu masa iddah bagi istri. Pihak istri harus mematuhi putusan tersebut dan
menjalankan masa iddah yang telah diputuskan oleh pihak Pengadilan Agama karena
itu untuk kepentingan suami istri itu sendiri bila akan ruju’ kembali.
Pengadilan
Agama Menjatuhkan Putusan dalam operasionalnya bersikap aktif terhadap para
pihak terutama kepada para pihak mantan suami yang tidak menjalankan
kewajibannya atau dimintakan di Pengadilan Agama, maka Pengadilan Agama
berperan aktif di dalam menyelesaikan masalah tersebut. Pengadilan Agama
berdasarkan pada undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 41 bahwa hakim Pengadilan
Agama dapat menetapkan kepada mantan suami untuk memberikan hak istri pada masa
iddah. Jadi berdasarkan undang-undang Perkawinan dalam pasal 41 ayat (c)
Undang-undang No. 1 tahun 1974 menjelaskan bahwa Pengadilan Agama dapat
memutuskan bahwa suami wajib memberikan biaya penghidupan pada masa iddah bekas
istri.
B. Saran
1. untuk seorang istri
harus mematuhi masa iddah yang telah di tetapkan menurut agama atau penetapan
pengadilan agama.
2. Dalam masa iddah ini
sebaiknya suami dan istri dapat berpikir untuk ruju kembali.
3. Sebaiknya suami dan
istri menetapkan nafkah iddah sesuai dengan kemampuan bekas suami.
4. Bekas suami selama
mampu memberi nafkah iddah wajib memberi nafkah seperti kesepakatan keduanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Chuzaiman
T. Yanggo dkk. Problematika Hukum Islam Kontemporer
cet. I. PT. Pustaka Firdaus. Jakarta. 1994.
H.
Sastroadmojo. Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia cet. III. Bulan Bintang. Jakarta. 1981.
Wantjik
Saleh. Hukum Perkawinan Indonesia.
Galia Indonesia. Jakarta. 1986.
Inpres No 1 Tahun 1991 Tentang
Kompilasi
Hukum Islam
Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS ALLHAMDULILLAH
ReplyDeleteDARI BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H., M.H BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp pribadi bpk Dr. H. Ridwan Mansyur ,S.H., M.H Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Ridwan Mansyur, S.H., M.H beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H.,M.H 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Ridwan semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....