BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan adalah upaya
menyatukan dua pribadi yang berbeda satu sama lain. Dalam kenyataannya tidak
semua perkawinan dapat berlangsung dengan langgeng dan tentunya tidak ada
seorang pun yang ingin perkawinannya berakhir dengan jalan perceraian. Saat
semua upaya dikerahkan untuk menyelamatkan suatu perkawinan ternyata pada
akhirnya diputus cerai oleh pengadilan. Dengan putusnya suatu perkawinan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde), maka akan ada akibat hukum yang mengikutinya, salah satunya
adalah mengenai Hak Asuh atas anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Dari
hubungan dengan orang tua dan anak yang masih dibawah umur timbul hak dan
kewajiban. Hak-hak dan kewajiban orang tua terhadap anak yang masih dibawah
umur diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang pokok
perkawinan No.1 tahun 1974 dengan judul Kekuasaan Orang Tua. Pemeliharaan anak
pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tua dalam hal ini meliputi
masalah ekonomi, pendidikan dan segala hal mengenai kebutuhan pokok.
Saat sedang mengurus
hak asuh setelah terjadi perceraian, salah satu pihak mungkin ada yang merasa
lebih berhak untuk mengasuh anak-anaknya. Entah itu ibunya, karena
merasa ia yang mengandung dan melahirkan. Atau ayahnya, karena merasa ia yang
membiayai.
Pada umumnya
dalam praktek di pengadilan, anak yang
berumur di bawah sepuluh tahun, pengasuhannya
atau perwaliannya diserahkan kepada ibunya, bagi
anak yang berumur di atas sepuluh
tahun perwaliannya terserah kepada pilihan si
anak sendiri, apakah dia akan ikut
kepada ibunya ataukah memilih ikut pada
bapaknya dalam hal perwalian bagi si
anak. Apabila hal yang demikian ini terjadi
maka Putusan Pengadilanlah yang menentukan
siapakah yang lebih berhak menjadi wali
dari si anak tersebut.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarka latar belakang diatas,maka dapat
ditarik suatu permasalahan yang muncul sebagai sebuah persoalan yaitu:
1. Hak Asuh Anak Pasca
Perceraian Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI?
2.Bagaimana hak dan kedudukan
anak setelah perceraian orang tuanya?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahuai hak
asuh anak pasca perceraian menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI.
2. Untuk mengetahui hak dan kedudukan anak setelah perceraian orang tuanya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Menurut UU No.1 Tahun 1974 dan KHI.
Perkawinan adalah suatu akad antara laki-laki dan perempuan yang dengan
akad tersebut laki-laki dan perempuan dihalalkan untuk berhubungan suami-istri
dan menimbulkan hak dan kewajiban diantara suami-istri tersebut. Pada
perinsipnya tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan perceraian adalah putusnya ikatan
perkawinan antara suami-istri. Dalam Islam perceraian prinsipnya dilarang, ini
berdasarkan Hadits Nabi SAW
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهُمَا- قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَبْغَضُ
اَلْحَلَالِ عِنْدَ اَللَّهِ اَلطَّلَاقُ
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perbuatan halal yang
paling dibenci Allah ialah cerai."
Dalam hadits
tersebut mengisyaratkan bahwa perceraian merupakan alternative terakhir, yang
boleh ditempu manakala kehidupan rumah tangga tidak lagi dapat dipertahankan.
Dalam pasal 41 Undang-Undang perkawinan tahun
1974 menyebutkan bahwa salah satu akibat dari putusnya perkawinan adalah:
1. ibu atau ayah tetap memiliki kewajiban untuk
memelihara dan mendidik anak. Jika terjadi perselisihan mengenai penguasaan
anak, maka pengadilan yang akan memberikan keputusan kepada siapa hak asuh anak
tersebut kemudian akan diberikan;
2. Ayah yang bertanggung jawab atas semua biaya
pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak itu, apabila bapak dalam
kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
3. Pengadilan
dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau
menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri .
Dalam Undang-Undang perkawinan tidak
terdapat pasal yang menjelaskan hak asuh anak pasca cerai jatuh pada ayah atau
ibu, akan tetapi terkait dengan hal ini Kompilasi Hukum Islam Pasal 105
menjelaskan secara lebih rinci yaitu :
1. pemeliharaan anak
yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
2.Pemeliharaan anak yang
sudah mumayyiz diserahkan kepada si anak untuk memilih di antara ayah atau
ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
3. Biaya pemeliharaan
ditanggung oleh ayahnya.
Dari penjelasan ini bisa diambil
kesimpulan bahwa hak asuh anak pasca cerai jatuh pada ibu, jika anak tersebut
belum berumur 12 tahun. Hak asuh anak yang terdapat dalam pasal 41 UU Perkawinan dan
pasal 105 KHI dapat dipahami bahwa hak asuh anak jatuh pada ibu, sedangkan
biaya pendidikan dan pemeliharaan yang dibutuhkan oleh anak tetap
menjaditanggungjawab ayah.
Menafkahi anak yang
lahir dari perkawinan merupakan kewajiban kedua orang tua, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1947 Tentang Perkawinan, yaitu :
“(1) Kedua
orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya;
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.
Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang
tua putus”
Oleh karena itu, hal menafkahi anak merupakan suatu kewajiban yang
akan berlaku terus-menerus, meskipun adanya perceraian yang terjadi antara orang tua. Kewajiban menafkahi menyangkut juga terhadap biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, sampai anak dapat membiayai hidupnya sendiri atau kawin. Apabila perkawinan putus karena perceraian,
tanggung jawab terhadap biaya pemeliharaan anak dan pendidikannya dibebankan kepada ayah, namun apabila ayah tidak dapat memenuhi kewajibannya, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut serta dalam membiayai pemeliharaan anak dan pendidikannya.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 41 huruf
b Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu :
“Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
1.b Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukananakitu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut”
Maka berdasarkan penjelasan di atas, dalam keadaan apapun, cerai atau tidak cerai, saudara berkewajiban untuk menafkahi anak saudara, namun jika saudara tidak mampu, ibu dari anak tersebut turut serta memikul kewajiban dimaksud. Hanya saja permasalahannya saat ini, istri saudara pergimeninggalkan saudara dengan membawa serta anak saudara. Oleh karena itu, hal yang
seharusnya pertama saudara lakukan adalah mencari keberadaan istri dan anak saudara.
Kami sangat menyayangkan,
bahwa dalam informasi yang saudara berikan, saudara tidak menjelaskan apakah saudara sudah bercerai atau tidak, dikarenakan hak asuh hanya dapat diberikan kepada salah satu dari orang tua setelah mereka diceraikan oleh Pengadilan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 41 huruf a Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang menyebutkan:
“Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: 1.a Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bila mana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusan”
Di dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, tidak diatur dengan tegas mengenai siapa yang
berhak untuk mendapatkan hak asuh anak, namun dalam penafsiran
kami, apabila terja diperselisihan mengenai hak asuh,
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menyerahkan hal tersebut kepada Pengadilan untuk menentukan siapa yang berhak untuk mengasuh anak sebagai mana dimaksud dalam ketentuan Pasal 41 huruf a Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan di
atas.
Hal ini hanya berlaku bagi mereka yang
melakukan perkawinan secara muslim, namun bukan menjadi jaminan bahwa anak yang belum berumur 12 tahun, yang lahir dari perkawinan secara muslim, maka hak asuhnya jatuh kepada ibu sebagaimana Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dikarenakan dalam menentukan hak asuh anak baik perkawinan secara muslim ataupun perkawinan secara non muslim, harus melihat kepentingan dari anak dan siapakah yang
lebih memberikan jaminan secara maksimal untuk tumbuh kembangnnya anak. Untuk itu siapa yang
lebih berhak dalam mendapat hak asuh anak baik bapak atau ibu maka akan ditentukan kemudian melalui Putusan Pengadilan. Hal inisesuai dengan Pasal 41 Huruf (a) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
.
B.
Hak dan
Kedudukan Anak Setelah Perceraian Orang Tuanya
Anak merupakan persoalan yang selalu
menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan
hak-haknya dalam keluarga dan bagaimana seharusnya ia diperlakukan oleh kedua
orang tuanya, bahkan juga dalam kehidupan masyarakat dan negara melalui
kebijakan-kebijakannya dalam mengayomi anak. Ayah kandung berkewajiban
memberikan jaminan nafkah anak kandungnya dan seorang anak begitu dilahirkan
berhak mendapatkan nafkah dari ayahnya baik pakaian, tempat tinggal, dan
kebutuhan-kebutuhan lainnya meskipun perkawinan orangtua si anak telah putus.
Dalam ajaran
Islam, ada dua periode perkembangan anak dalam hubungannya dengan hak asuh
orang tua, yaitu periode sebelum mumayyiz (anak belum bisa membedakan antara
yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya, dari lahir sampai berumur
tujuh atau delapan tahun) menurut Kompilasi Hukum Islam sampai berusia 12
tahun, (Pasal 106 KHI) dan sesudah mumayyiz. Sebelum anak mumayyiz, ibu lebih
berhak menjalankan hak asuh anak karena ibu lebih mengerti
kebutuhan anak dengan kasih sayangnya apalagi
anak pada usia tersebut sangat membutuhkan hidup
di dekatnya.
Masa mumayyiz
dimulai sejak anak secara sederhana sudah mampu
membedakan mana yang berbahaya dan bermanfaat bagi dirinya, ini dimulai sejak
umur 7 (tujuh) tahun sampai menjelang dewasa (balig berakal). Pada masa ini
anak sudah dapat memilih dan memutuskan apakah akan memilih ikut ibu atau
ayahnya. Tetapi dalam kondisi tertentu ketika pilihan anak tidak menguntungkan
bagi anak, demi kepentingan anak hakim boleh mengubah putusan itu dan
menentukan mana yang maslahat bagi anak.
Perceraian
merupakan momok menakutkan bagi setiap keluarga (suami, istri , dan anak-anak),
penyebab perceraian bisa bermacam-macam, yaitu antara lain gagal berkomunikasi,
ketidaksetiaan, kekerasan dalam rumah tangga, masalah ekonomi, pernikahan usia
dini, perubahan budaya, dan lain sebagainya.
Jika didalam
keluarga bapak-ibunya baik, rukun dan menyanyangi maka anak akan mendapatkan
unsur positif dari kepribadiannya dan apabila orangtuanya beragama serta taat
melaksanakan agama dalam kehidupan sehari-hari, maka anak mendapatkan
pengalaman keagamaan yang menjadi unsur dalam kepribadiannya.
Pasal 9 UU
No.4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak menyebutkan bahwa orangtua adalah
yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik
secara fisik, jasmani maupun sosial. Tanggung jawab orangtua atas kesejahteraan
anak mengandung kewajiban memelihara dan mendidik
anak sedemikian rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan
berkembang menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti kepada orangtua, berbudi
pekerti luhur, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkemauan, serta
berkemampuan untuk meneruskan cita-cita bangsa berdasarkan
Pancasila. Penjelasan Pasal 9 UU No.4 Tahun 1979 Kesejahteraan Anak.
Pemeliharaan
anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk mengawasi,
memberikan pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup anak dari
orangtuanya, kewajiban untuk melakukan pemeliharaan terhadap anak bersifat
tetap sampai sianak mampu berdiri sendiri.
Didalam
beberapa aturan Perundang-undangan dapat kita lihat beberapa hal yang mengatur
kewajiban orangtua terhadap anak diantaranya, yaitu :
a. Kewajiban
orangtua terhadap anak setelah perceraian menurut Undang-Undang perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974.
Secara hukum
kewajiban antara suami dan istri akan timbulapabilaperkawinantersebuttelahdilakukanataudilangsungkan,
dengan kata lain kewajiban seorang istri
atau suami tidak akan ada apabila seorang pria atau wanita belum
melangsungkan perkawinan. Adapun kewajiban dan hak yang seimbang antara suami
maupun istri apabila dibarengi dengan kewajiban yang sama pula yaitu kewajiban
untuk membina dan menegakkan rumah tangga yang diharapkan akan menjadi
dasar dalam membangun rumah tangga.
Kewajiban
bersama antara suami dan istri dalam membina dan menjalin rumah tangga akan
luntur apabila rumah tangga yang dibangun tersebut mengalami goncangan dan
terlebih parahnya lagi apabila tatkala rumah tangga tersebut bubar, perihal mengenai
hal ini ini sebelumnya telah ada dan diatur dalam UU Perkawinan.
Di dalam
Pasal 45 disebutkan sebagai berikut :
- Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya.
- Kewajiban orangtua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak anak itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara keduanya putus.
Selanjutnya
dalam Pasal 47 dinyatakan sebagai berikut :
- Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
- Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan.
Dari
beberapa penjelasan UU diatas, maka dapat disimpulkan bahwa UU Perkawinan
mengatur kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya sekalipun rumah tangga telah
putus karena perceraian. Kewajiban orangtua tersebut meliputi :
- Orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
- Orangtua mewakili anak mengenai perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan
- sebagaimana adapun di dalam Pasal 41 UU Perkawinan dijelaskan bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajibannya, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya pemeliharaannya dan pendidikan yang diperlukan anak, Kewajiban tersebut tetap berlaku meskipun kekuasaan sebagai orangtua dicabut.
b. Kewajiban
orang tua terhadap anak setelah perceraian menurut Kompilasi
Hukum Islam.
Dalam
pandangan ajaran Islam terhadap anak menempatkan anak dalam kedudukan yang
mulia. Anak mendapatkan kedudukan dan tempat yang istimewa dalam Nash Al-Qur’an
dan Al-Hadist, Karena itu di dalam pandangan Islam anak itu harus diperlakukan
secara manusiawi, diberikan pendidikan, pengajaran, keterampilan dan akhlakul
karimah agar anak tersebut kelak dapat bertanggung
jawab dalam mensosialisasikan diri untuk memenuhi
kebutuhan hidup dimasa depan.
Didalam KHI
yang memuat hukum materil tentang perkawinan, kewarisan dan juga wakaf yang
dirumuskan secara sistematis hukum Islam di Indonesia secara konkrit, maka
karena itu perlu ditinjau beberapa hal mengenai ketentuan-ketentuan dalam KHI
yang mengatur tentang kewajiban orang tua terhadap anak.
Pasal 77 KHI
menyebutkan :
- Suami Istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
- Suami Istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberikan bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
- Suami Istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
- Suami Istri wajib memelihara kehormatannya.
- Jika suami istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Berkaitan
kewajiban orang tua setelah putusnya perkawinan, KHI dalam pasal- pasalnya
menggunakan istilah dengan namanya pemeliharaan anak yang dimuat di dalam
Bab XIV Pasal 98 sampai dengan Pasal 106, tetapi secara eksplisit pasal
yang mengatur kewajiban pemeliharaan anak jika adanya perceraian hanya terdapat
didalam Pasal 105 dan Pasal 106.
Dalam Pasal
98 KHI ditegaskan :
- Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
- Orangtua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar Pengadilan.
- Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orangtuanya tidak mampu.
Sementara
Pasal 105 KHI dalam hal terjadinya
perceraian, menyebutkan :
- Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
- Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
- Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Sedangkan menyangkut harta yang dimiliki anak, orang
tua berkewajiban untuk merawat dan mengembangkan harta tersebut, hal ini diatur
di dalam Pasal 106 KHI yang menyebutkan :
- Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau masih dibawah pengampuan dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikan kecuali karena keperluan yang sangat mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau sesuatu kenyataan tidak dapat dihindarkan lagi.
- Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).
Pasal-Pasal
yang terdapat dalam KHI tentang hadhanah menegaskan bahwa kewajiban pengasuhan
material dan non material kepada anak merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lainnya. Lebih lagi KHI membagi tugas yang harus dilakukan
orangtua sekalipun mereka telah berpisah. Anak yang belum mumayyiz tetap diasuh
oleh ibunya sedangkan pembiayaan tetap menjadi tanggung jawab dan kewajiban
dari ayah.
KHI juga
menentukan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas)
tahun adalah hak bagi ibu untuk memeliharanya, sedangkan apabila anak tersebut
sudah mumayyiz ia dapat memilih antara ayah atau ibunya untuk bertindak
sebagai pemeliharanya.
\
BAB
III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dalam pasal 41 Undang-Undang perkawinan tahun 1974 menyebutkan
bahwa salah satu akibat dari putusnya perkawinan adalah:
1. ibu
atau ayah tetap memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak. Jika
terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, maka pengadilan yang akan
memberikan keputusan kepada siapa hak asuh anak tersebut kemudian akan
diberikan;
2. Ayah
yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan oleh anak itu, apabila bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut;
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas
isteri .
Anak
merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat,
bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga dan bagaimana seharusnya ia
diperlakukan oleh kedua orang tuanya, bahkan juga dalam kehidupan masyarakat
dan negara melalui kebijakan-kebijakannya dalam mengayomi anak. Ayah kandung
berkewajiban memberikan jaminan nafkah anak kandungnya dan seorang anak begitu
dilahirkan berhak mendapatkan nafkah dari ayahnya baik pakaian, tempat tinggal,
dan kebutuhan-kebutuhan lainnya meskipun perkawinan orangtua si anak telah
putus.
B. Saran
1. Anak adalah penerus bangsa maka dari
itu setelah perceraian kedua orangtua nya, maka anak harus mendapatkan kasih
sayang seperti mereka belum bercerai.
2. Nafkah anak harus diperhatikan untuk
kepentingan anak tersebut.
3. Pertengkaran antara kedua orang tua
sebaiknya tidak di hadapan anak karena dapat mengganggu psikologi anak.
4.
bahwa untuk kepentingan anak, anak berhak memilih tinggal bersama ayah
atau ibunya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo
Persada,1995.
Sudikno Martikusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty,1998.
Satria Effendi, Problematika
Hukum Keluarga Islam Kontemporer ,
Yogyakarta, Prenada Media, 2005.
Inpres
No 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum
Islam.
Undang-undang No 1 Tahun 1947 Tentang Perkawinan.
QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
ReplyDelete-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
• BB : 2B3D83BE