Tuesday, January 17, 2017

Makalah tentang hak asuh anak menurut Undang-undang peradilan agama



BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perkawinan adalah upaya menyatukan dua pribadi yang berbeda satu sama lain. Dalam kenyataannya tidak semua perkawinan dapat berlangsung dengan langgeng dan tentunya tidak ada seorang pun yang ingin perkawinannya berakhir dengan jalan perceraian. Saat semua upaya dikerahkan untuk menyelamatkan suatu perkawinan ternyata pada akhirnya diputus cerai oleh pengadilan. Dengan putusnya suatu perkawinan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka akan ada akibat hukum yang mengikutinya, salah satunya adalah mengenai Hak Asuh atas anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Dari hubungan dengan orang tua dan anak yang masih dibawah umur timbul hak dan kewajiban. Hak-hak dan kewajiban orang tua terhadap anak yang masih dibawah umur diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang pokok perkawinan No.1 tahun 1974 dengan judul Kekuasaan Orang Tua. Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tua dalam hal ini meliputi masalah ekonomi, pendidikan dan segala hal mengenai kebutuhan pokok.
 Saat sedang mengurus hak asuh setelah terjadi perceraian, salah satu pihak mungkin ada yang merasa lebih berhak untuk me­nga­suh anak-anaknya. Entah itu ibunya, karena merasa ia yang me­ngandung dan melahirkan. Atau ayahnya, karena merasa ia yang membiayai.
Pada  umumnya  dalam  praktek  di  pengadilan,  anak  yang  berumur  di  bawah sepuluh  tahun,  pengasuhannya  atau  perwaliannya  diserahkan  kepada  ibunya, bagi  anak  yang  berumur  di  atas  sepuluh  tahun  perwaliannya  terserah kepada  pilihan  si  anak  sendiri,  apakah  dia  akan  ikut  kepada  ibunya  ataukah memilih  ikut  pada  bapaknya  dalam  hal  perwalian  bagi  si  anak.  Apabila  hal  yang demikian  ini  terjadi  maka  Putusan  Pengadilanlah yang  menentukan  siapakah  yang lebih  berhak  menjadi  wali  dari  si  anak  tersebut.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarka latar belakang diatas,maka dapat ditarik suatu permasalahan yang muncul sebagai sebuah persoalan yaitu:
1. Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI?
2.Bagaimana hak dan kedudukan anak setelah perceraian orang tuanya?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahuai hak asuh anak pasca perceraian menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI.
2. Untuk mengetahui hak dan kedudukan anak setelah perceraian orang tuanya.









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Menurut UU No.1 Tahun 1974 dan KHI.
Perkawinan adalah suatu akad antara laki-laki dan perempuan yang dengan akad tersebut laki-laki dan perempuan dihalalkan untuk berhubungan suami-istri dan menimbulkan hak dan kewajiban diantara suami-istri tersebut. Pada perinsipnya tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami-istri. Dalam Islam perceraian prinsipnya dilarang, ini berdasarkan Hadits Nabi SAW
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم  أَبْغَضُ اَلْحَلَالِ عِنْدَ اَللَّهِ اَلطَّلَاقُ

Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perbuatan halal yang paling dibenci Allah ialah cerai."
Dalam hadits tersebut mengisyaratkan bahwa perceraian merupakan alternative terakhir, yang boleh ditempu manakala kehidupan rumah tangga tidak lagi dapat dipertahankan.



Dalam pasal 41  Undang-Undang perkawinan tahun 1974 menyebutkan bahwa salah satu akibat dari putusnya perkawinan adalah:
1. ibu atau ayah tetap memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak. Jika terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, maka pengadilan yang akan memberikan keputusan kepada siapa hak asuh anak tersebut kemudian akan diberikan;
2. Ayah yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak itu, apabila bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri .
Dalam Undang-Undang perkawinan tidak terdapat pasal yang menjelaskan hak asuh anak pasca cerai jatuh pada ayah atau ibu, akan tetapi terkait dengan hal ini Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 menjelaskan secara lebih rinci yaitu :
1. pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
2.Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada si anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
 Dari penjelasan ini bisa diambil kesimpulan bahwa hak asuh anak pasca cerai jatuh pada ibu, jika anak tersebut belum berumur 12 tahun. Hak asuh anak yang terdapat dalam pasal 41 UU Perkawinan dan  pasal 105 KHI dapat dipahami bahwa hak asuh anak jatuh pada ibu, sedangkan biaya pendidikan dan pemeliharaan yang dibutuhkan oleh anak tetap menjaditanggungjawab ayah.
Menafkahi anak yang lahir dari perkawinan merupakan kewajiban kedua orang tua, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1947 Tentang Perkawinan, yaitu :
“(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya;
 (2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus”
Oleh karena itu, hal menafkahi anak merupakan suatu kewajiban yang akan berlaku terus-menerus, meskipun adanya perceraian yang terjadi antara orang tua. Kewajiban menafkahi menyangkut juga terhadap biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, sampai anak dapat membiayai hidupnya sendiri atau kawin. Apabila perkawinan putus karena perceraian, tanggung jawab terhadap biaya pemeliharaan anak dan pendidikannya dibebankan kepada ayah, namun apabila ayah tidak dapat memenuhi kewajibannya, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut serta dalam membiayai pemeliharaan anak dan pendidikannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 41 huruf  b Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu :
“Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
1.b Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukananakitu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut”
Maka berdasarkan penjelasan di atas, dalam keadaan apapun,  cerai atau tidak cerai, saudara berkewajiban untuk menafkahi anak saudara, namun jika saudara tidak mampu, ibu dari anak tersebut turut serta memikul kewajiban dimaksud. Hanya saja permasalahannya saat ini, istri saudara pergimeninggalkan saudara dengan membawa serta anak saudara. Oleh karena itu, hal yang seharusnya pertama saudara lakukan adalah mencari keberadaan istri dan anak saudara.
Kami sangat menyayangkan, bahwa dalam informasi yang saudara berikan, saudara tidak menjelaskan apakah saudara sudah bercerai atau tidak, dikarenakan hak asuh hanya dapat diberikan kepada salah satu dari orang tua setelah mereka diceraikan oleh Pengadilan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 41 huruf a Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang menyebutkan:
“Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: 1.a Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bila mana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusan”
Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,  tidak diatur dengan tegas mengenai siapa yang berhak untuk mendapatkan hak asuh anak, namun dalam penafsiran kami, apabila terja diperselisihan mengenai hak asuh, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,  menyerahkan hal tersebut kepada Pengadilan untuk menentukan siapa yang  berhak untuk mengasuh anak sebagai mana dimaksud dalam ketentuan Pasal 41 huruf a Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di atas.
Hal ini hanya berlaku bagi mereka yang melakukan perkawinan secara muslim, namun bukan menjadi jaminan bahwa anak yang belum berumur 12 tahun, yang lahir dari perkawinan secara muslim, maka hak asuhnya jatuh kepada ibu sebagaimana Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dikarenakan dalam menentukan hak asuh anak baik perkawinan secara muslim ataupun perkawinan secara non muslim, harus melihat kepentingan dari anak dan siapakah yang lebih memberikan jaminan secara maksimal untuk tumbuh kembangnnya anak. Untuk itu siapa yang lebih berhak dalam mendapat hak asuh anak baik bapak atau ibu maka akan ditentukan kemudian melalui Putusan Pengadilan. Hal inisesuai dengan Pasal 41 Huruf (a) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
.
B. Hak dan Kedudukan Anak Setelah Perceraian Orang Tuanya
            Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga dan bagaimana seharusnya ia diperlakukan oleh kedua orang tuanya, bahkan juga dalam kehidupan masyarakat dan negara melalui kebijakan-kebijakannya dalam mengayomi anak. Ayah kandung berkewajiban memberikan jaminan nafkah anak kandungnya dan seorang anak begitu dilahirkan berhak mendapatkan nafkah dari ayahnya baik pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya meskipun perkawinan orangtua si anak telah putus.
Dalam ajaran Islam, ada dua periode perkembangan anak dalam hubungannya dengan hak asuh orang tua, yaitu periode sebelum mumayyiz (anak belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya, dari lahir sampai berumur tujuh atau delapan tahun) menurut Kompilasi Hukum Islam sampai berusia 12 tahun, (Pasal 106 KHI) dan sesudah mumayyiz. Sebelum anak mumayyiz, ibu lebih berhak menjalankan hak asuh anak karena ibu lebih  mengerti  kebutuhan  anak dengan  kasih  sayangnya  apalagi  anak  pada  usia tersebut sangat  membutuhkan  hidup  di   dekatnya.
 Masa  mumayyiz  dimulai  sejak  anak   secara sederhana sudah mampu membedakan mana yang berbahaya dan bermanfaat bagi dirinya, ini dimulai sejak umur 7 (tujuh) tahun sampai menjelang dewasa (balig berakal). Pada masa ini anak sudah dapat memilih dan memutuskan apakah akan memilih ikut ibu atau ayahnya. Tetapi dalam kondisi tertentu ketika pilihan anak tidak menguntungkan bagi anak, demi kepentingan anak hakim boleh mengubah putusan itu dan menentukan mana yang maslahat bagi anak.





Perceraian merupakan momok menakutkan bagi setiap keluarga (suami, istri , dan anak-anak), penyebab perceraian bisa bermacam-macam, yaitu antara lain gagal berkomunikasi, ketidaksetiaan, kekerasan dalam rumah tangga, masalah ekonomi, pernikahan usia dini, perubahan budaya, dan lain sebagainya.
Jika didalam keluarga bapak-ibunya baik, rukun dan menyanyangi maka anak akan mendapatkan unsur positif dari kepribadiannya dan apabila orangtuanya beragama serta taat melaksanakan agama dalam kehidupan sehari-hari, maka anak mendapatkan pengalaman keagamaan yang menjadi unsur dalam kepribadiannya.
Pasal 9 UU No.4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak menyebutkan bahwa orangtua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara fisik, jasmani maupun sosial. Tanggung jawab orangtua atas kesejahteraan anak mengandung  kewajiban  memelihara  dan  mendidik  anak  sedemikian  rupa,  sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti kepada orangtua, berbudi pekerti luhur, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkemauan, serta berkemampuan untuk meneruskan cita-cita bangsa berdasarkan Pancasila.  Penjelasan Pasal 9 UU No.4 Tahun 1979 Kesejahteraan Anak.
Pemeliharaan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberikan pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup anak dari orangtuanya, kewajiban untuk melakukan pemeliharaan terhadap anak bersifat tetap sampai sianak mampu berdiri sendiri. 
Didalam beberapa aturan Perundang-undangan dapat kita lihat beberapa hal yang mengatur kewajiban orangtua terhadap anak diantaranya, yaitu :

a. Kewajiban orangtua terhadap anak setelah perceraian menurut Undang-Undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Secara hukum kewajiban antara suami dan istri akan timbulapabilaperkawinantersebuttelahdilakukanataudilangsungkan,  dengan  kata  lain  kewajiban  seorang  istri  atau suami tidak akan ada apabila seorang pria atau wanita belum melangsungkan perkawinan. Adapun kewajiban dan hak yang seimbang antara suami maupun istri apabila dibarengi dengan kewajiban yang sama pula yaitu kewajiban untuk membina  dan menegakkan rumah tangga yang diharapkan akan menjadi dasar dalam membangun rumah tangga.

Kewajiban bersama antara suami dan istri dalam membina dan menjalin rumah tangga akan luntur apabila rumah tangga yang dibangun tersebut mengalami goncangan dan terlebih parahnya lagi apabila tatkala rumah tangga tersebut bubar, perihal mengenai hal ini ini sebelumnya telah ada dan diatur dalam UU Perkawinan.
Di dalam Pasal 45 disebutkan sebagai berikut :
  1. Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya.
  2. Kewajiban orangtua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak anak itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara keduanya putus.
Selanjutnya dalam Pasal 47 dinyatakan sebagai berikut :
  1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
  2. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan.
Dari beberapa penjelasan UU diatas, maka dapat disimpulkan bahwa UU Perkawinan mengatur kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya sekalipun rumah tangga telah putus karena perceraian. Kewajiban orangtua tersebut meliputi :


  1. Orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
  2. Orangtua mewakili anak mengenai perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan
  3. sebagaimana adapun di dalam Pasal 41 UU Perkawinan dijelaskan bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajibannya, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya pemeliharaannya dan pendidikan yang diperlukan anak, Kewajiban tersebut tetap berlaku meskipun kekuasaan sebagai orangtua dicabut.
b. Kewajiban orang tua terhadap anak setelah perceraian  menurut  Kompilasi  Hukum  Islam.
Dalam pandangan ajaran Islam terhadap anak menempatkan anak dalam kedudukan yang mulia. Anak mendapatkan kedudukan dan tempat yang istimewa dalam Nash Al-Qur’an dan Al-Hadist, Karena itu di dalam pandangan Islam anak itu harus diperlakukan secara manusiawi, diberikan pendidikan, pengajaran, keterampilan dan akhlakul karimah agar anak tersebut  kelak  dapat  bertanggung  jawab dalam  mensosialisasikan  diri  untuk    memenuhi kebutuhan hidup dimasa depan.
Didalam KHI yang memuat hukum materil tentang perkawinan, kewarisan dan juga wakaf yang dirumuskan secara sistematis hukum Islam di Indonesia secara konkrit, maka karena itu perlu ditinjau beberapa hal mengenai ketentuan-ketentuan dalam KHI yang mengatur tentang kewajiban orang tua terhadap anak.
Pasal 77 KHI menyebutkan :
  1. Suami Istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan  masyarakat.
  2. Suami Istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberikan bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
  3. Suami Istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
  4. Suami Istri wajib memelihara kehormatannya.
  5. Jika suami istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.

Berkaitan kewajiban orang tua setelah putusnya perkawinan, KHI dalam pasal- pasalnya menggunakan istilah dengan namanya pemeliharaan anak yang dimuat di dalam  Bab XIV Pasal 98 sampai dengan Pasal 106, tetapi secara eksplisit pasal yang mengatur kewajiban pemeliharaan anak jika adanya perceraian hanya terdapat didalam Pasal 105 dan Pasal 106.
Dalam Pasal 98 KHI ditegaskan :
  1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
  2. Orangtua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar Pengadilan.
  3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orangtuanya tidak mampu.
Sementara   Pasal   105   KHI   dalam   hal   terjadinya   perceraian,   menyebutkan    :
  1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12  tahun  adalah hak ibunya;
  2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk    memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
  3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Sedangkan menyangkut harta yang dimiliki anak, orang tua berkewajiban untuk merawat dan mengembangkan harta tersebut, hal ini diatur di dalam Pasal 106 KHI yang menyebutkan :
  1. Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau masih dibawah pengampuan dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikan kecuali karena keperluan yang sangat mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau sesuatu kenyataan tidak dapat dihindarkan lagi.
  2. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan  dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).
Pasal-Pasal yang terdapat dalam KHI tentang hadhanah menegaskan bahwa kewajiban pengasuhan material dan non material kepada anak merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Lebih lagi KHI membagi tugas yang harus dilakukan orangtua sekalipun mereka telah berpisah. Anak yang belum mumayyiz tetap diasuh oleh ibunya sedangkan pembiayaan tetap menjadi tanggung jawab dan kewajiban dari ayah.
KHI juga menentukan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12  (dua belas) tahun adalah hak bagi ibu untuk memeliharanya, sedangkan apabila anak tersebut  sudah mumayyiz ia dapat memilih antara ayah atau ibunya untuk bertindak sebagai pemeliharanya.





\
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dalam pasal 41  Undang-Undang perkawinan tahun 1974 menyebutkan bahwa salah satu akibat dari putusnya perkawinan adalah:
1. ibu atau ayah tetap memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak. Jika terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, maka pengadilan yang akan memberikan keputusan kepada siapa hak asuh anak tersebut kemudian akan diberikan;
2. Ayah yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak itu, apabila bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri .
                Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga dan bagaimana seharusnya ia diperlakukan oleh kedua orang tuanya, bahkan juga dalam kehidupan masyarakat dan negara melalui kebijakan-kebijakannya dalam mengayomi anak. Ayah kandung berkewajiban memberikan jaminan nafkah anak kandungnya dan seorang anak begitu dilahirkan berhak mendapatkan nafkah dari ayahnya baik pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya meskipun perkawinan orangtua si anak telah putus.

B. Saran
1. Anak adalah penerus bangsa maka dari itu setelah perceraian kedua orangtua nya, maka anak harus mendapatkan kasih sayang seperti mereka belum bercerai.
2. Nafkah anak harus diperhatikan untuk kepentingan anak tersebut.
3. Pertengkaran antara kedua orang tua sebaiknya tidak di hadapan anak karena dapat mengganggu psikologi anak.
4.   bahwa untuk kepentingan anak, anak berhak memilih tinggal bersama ayah atau ibunya.













DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada,1995.
Sudikno Martikusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty,1998.
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer , Yogyakarta, Prenada Media, 2005.
Inpres No 1 Tahun 1991 Tentang  Kompilasi Hukum Islam.
Undang-undang No 1 Tahun 1947 Tentang Perkawinan.

1 comment:

  1. QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
    -KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
    Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
    • BandarQ
    • AduQ
    • Capsa
    • Domino99
    • Poker
    • Bandarpoker.
    • Sakong
    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • WA: +62 813 8217 0873
    • BB : D60E4A61
    • BB : 2B3D83BE

    ReplyDelete

Makalah Perjanjian Jual beli dalam Hukum Perdata

BAB I PENDAHULUAN A.    Latar Belakang Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan yang bersifat fisik dan non fisik. Kebutuhan itu ti...