BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Umumnya
orang beranggapan bahwa seseorang yang mempunyai profesi kedokteran atau yang
berprofesi sebagai dokter adalah menyenangkan karena dengan status sebagai
dokter ia akan terpandang di mata masyarakat dan juga status sosial ekonominya,
sebab biasanya seorang dokter akan serba kecukupan sandang, pangan dan
perumahan. Dengan kata lain, kebutuhan hidupnya pasti dapat terpenuhi dengan
layak. Juga ada anggapan bahwa profesi dokter merupakan profesi yang mulia, karena
tugasnya menyelamatkan jiwa orang yang sedang menderita penyakit. Bagi kalangan
awam timbul pula pendapat bahwa dokter itu tidak mungkin berbuat salah dalam
menjalankan tugasnya, kendati ia bukan seorang nabi. Oleh karena itu mereka
biasanya pasrah pada dokter yang dipercayainya.. Pasien sepenuhnya berserah
diri kepada dokter. Bahkan dalam keinginannya bebas dari rasa sakit, ia
bersedia “disakiti” oleh dokternya, misalnya melalui berbagai prosedur
diagnostik ataupun dioperasi.
Hubungan
antara dokter dengan pasien bersifat sangat pribadi. Seluruh rahasia yang
dimilikinya akan dibukakan kepada dokter, jika dikehendaki.
Dokter
bekerja dalam suasana yang serba tidak pasti (uncertainty). Selain sifat-sifat
tubuh manusia yang sangat bervariasi, dokter tidak dapat membuat seperti halnya
seorang montir yang boleh membongkar seluruh isi “obyek yang diperbaiki”, hanya
untuk memastikan letak dan macam kelainan yang Menimbulkan keluhan. Masyarakat
menaruh harapan dan kepercayaan kepada dokter, tetapi sekaligus juga mencurigai
atau bahkan cemburu terhadapnya.
Hubungan
fungsional antara dokter dan masyarakat memberikan status yang unik, tetapi
juga tinggi bagi dokter. Mereka yang bermental lemah akan mudah terbuai oleh
status ini dan lupa diri. Dari adanya kedudukan yang unik sifatnya itu, tentu
saja memberikan beban yang baru bagi setiap orang yang memilih profesi
kedokteran sebagai pilihan di dalam kehidupannya. Beban yang antara lain agar
tetap dapat menjaga integritas, agar martabat profesinya tidak runtuh harus dipertahankan. Dengan demikian, apa yang menjadi harapan dan
kepercayaan masyarakat kepadanya harus diimbangi dengan bukti-bukti dalam
bentuk perbuatan yang nyata.
Penilaian-penilaian
yang serba positif terhadap profesi kedokteran pada kenyataannya sekarang ini
sudah mulai mengalami pergeseran. Pada era sebelum tahun 90-an kita nyaris
tidak pernah mendengar adanya kasus malpraktek yang digugat atau dibawa
pengadilan oleh korban dalam hal ini pasien, sementara di era awal abad ke-21
ini hal tersebut sudah tidak berlaku lagi yang ditandai dengan maraknya kasus
malpraktek antara dokter dengan pasien yang digugat atau diklaim dan
menuntut penyelesaian baik secara pidana
maupun perdata.
Sebagai
manusia biasa, yang mempunyai kelebihan dan kekurangan, seorang dokter pun
niscaya tidak akan luput dari kesalahan, baik itu yang dilakukannya dalam
kehidupan sosialnya sebagai anggota masyarakat, maupun kesalahannya yang
dilakukan dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari sebagai insan yang berbudi.
Kenyataan menunjukkan bahwa kini hampir banyak kita bisa dibaca dalam media
massa maupun dilihat di media elektronik adanya berbagai berita tentang
malpraktek, yang sekaligus merupakan suatu kritik pedas terhadap pelayanan
medis. kasus-kasus yang banyak diberitakan di media massa maupun elektronik
tersebut dapat dikategorikan sebagai malpraktek.
Berdasarkan
fenomena tersebut di atas, maka menarik penulis untuk membahas lebih lanjut
dalam bentuk makalah hukum dengan judul “Perlindungan
Hukum Terhadap Korban Malpraktek Medik Yang di lakukan Oleh Dokter”.
B.
Identifikasi
Masalah
1. Faktor-faktor
apa yang menjadi penyebab terjadinya malpraktek yang dilakukan oleh Dokter?
2. Bagaimana
perlindungan hukum terhadap korban malpraktek medik?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya malpraktek yang
dilakukan oleh Dokter.
2. Untuk
mengetahui perlindungan hukum terhadap korban malpraktek medik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Faktor-Faktor
Penyebab Terjadinya Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Dokter
1.
Pengertian
Malpraktek
a. Pengertian
secara umum
Malpraktek
mempakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi
yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti salah sedangkan “praktek”
mempunyai arti pelaksanaan atau tindakan, sehingga malpraktek berarti pelaksanaan
atau tindakan yang salah. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan
istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam
rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan
definisi malpraktek profesi kesehatan adalah kelalaian dari seorang dokter atau
perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau
orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.
Malpraktek
juga dapat diartikan sebagai tidak terpenuhinya perwujudan hak-hak masyarakat
untuk mendapatkan pelayanan yang baik, yang biasa terjadi dan dilakukan oleh
oknum yang tidak mau mematuhi aturan yang ada karena tidak memberlakukan
prinsip-prinsip transparansi atau keterbukaan,dalam arti, harus menceritakan
secarajelas tentang pelayanan yang diberikan kepada konsumen, baik pelayanan
kesehatan maupun pelayanan jasa lainnya yang diberikan.
Dalam
memberikan pelayanan wajib bagi pemberi jasa untuk menginformasikan kepada konsumen
secara lengkap dan komprehensif semaksimal mungkin. Namun, penyalahartian
malpraktek biasanya terjadi karena ketidaksamaan persepsi tentang malpraktek.
b.
Pengertian menurut ahli :
1) Guwandi
(1994) mendefinisikan malpraktik sebagai kelalaian dari seorang dokter atau
perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam
memberikan pelayanah pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang
lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di lingkungan
wilayah yang sama.
2) Ellis dan
Hartley (1998) mengungkapkan bahwa malpraktik merupakan batasan yang spesifik
dari kelalaian (negligence) yang ditujukan pada seseorang yang telah terlatih
atau berpendidikan yang menunjukkan kinerjanya sesuai bidang tugas/pekerjaannya.
3) Ada dua
istilah yang sering dibiearakan secara bersamaan dalam kaitannya dengan
malpraktik yaitu kelalaian dan malpratik itu sendiri. Kelalaian adalah
melakukan sesuatu dibawah standar yang ditetapkan oleh aturan/hukum guna,
melindungi orang lain yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yaag tidak
beralasan dan berisiko melakukan kesalahan.
4) Menurut
Hanafiah dan Amir (1999) kelalaian adalah sikap yang kurang hati-hati, yaitu
tidak melakukan sesuatu yang seharusnya seseorang lakukan dengan sikap
hati-hati dan wajar, atau sebaliknya melakukan sesuatu yang dengan sikap
hati-hati, tetapi tidak dilakukannya dalam situasi tersebut.
5) Guwandi
(1994) mengatakan bahwa kelalaian adalah kegagalan untuk bersikap hati-hati
yang pada umumnya wajar dilakukan seseorang dengan hati-hati dalam keadaan
tersebut.
Dari
pengertian di atas, dapat diartikan bahwa kelalaian lebih bersifat
ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono,
tidak peduli terhadap kepentingan orang lain, tetapi akibat, yang ditimbulkan
bukanlah tujuannya.
Malpraktik
tidak sama dengan kelalaian. Malpraktik. sangat spesifik dan terkait dengan
status profesional dan pemberi pelayanan dan standar pelayanan profesional.
Malpraktik adalah kegagalan seorang profesional (misalnya, dokter dan perawat)
untuk melakukan praktik sesuai dengan standar profesi yang berlaku bagi
seseorang yang karena memiliki keterampilan dan pendidikan.
Malpraktik
lebih luas daripada negligence karena selain mencakup arti kelalaian, istilah
malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja
(criminal malpractice) dan melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan
tersirat adanya motif (guilty mind) sehingga tuntutannya dapat bersifat perdata
atau pidana.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan malpraktik adalah :
Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan malpraktik adalah :
1) Melakukan
suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan.
2) Tidak
melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajibannya.
(negligence); dan
3) Melanggar
suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.
2.
Faktor-faktor Penyebab terjadinya malpraktek
oleh dokter
Beberapa
faktor penyebab terjadinya malpratek yang dilakukan oleh dokter adalah seorang
dokter hendaknya memiliki standar profesi kedokteran yang meliputi
kewenangan,kemampuan,dan ketelitian umum, kemudian memiliki Standar Prosedur
Operasional (SPO) serta faktor kelalaian dari dokter tersebut.
Faktor-faktor
penyebab terjadinya malpraktek yang dilakukan oleh dokter:
a. Standar
Profesi Kedokteran
Dalam
profesi kedokteran, ada tiga hal yang harus ada dalam standar profesinya, yaitu
kewenangan, kemampuan rata-rata dan ketelitian umum.
1) Kewenangan
Disini
maksudnya seorang Tenaga Kesehatan harus memiliki kewenangan hukum untuk
melaksanakan pekerjaannya bisa berupa ijin praktik bagi dokter dan tenaga
kesehatan lainnya, bisa berupa Badan Hukum dan Perijinan lain bagi
penyelenggara kesehatan seperti rumah sakit atau klinik-klinik.
2) Kemampuan
rata-rata
Tenaga
Kesehatan harus memiliki kemampuan rata-rata yang ditentukan berdasarkan
pengalaman kerja dalam linkungan yang menunjang pekerjaannya dan kemudian
Tenaga Kesehatan harus memiliki ketelitian kerja yang ukuran ketelitian itu
sangatlah bervariasi.
Namun
betapa pun sulitnya untuk merumuskan rating scale (skala pengukuran) tentang
standard profesi Tenaga Kesehatan, Undang-undang mengharuskan mereka yang
berprofesi sebagai Tenaga Kesehatan berkewajiban mematuhi standard profesi dan
menghormati hak pasien dan setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan
atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan (Pasal 58 ayat 1 UU No.36 tahun
2009).
3) Ketelitian
yang umum
Dan
bagi tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin yang ditentukan oleh Majelis
Disiplin Tenaga Kesehatan. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI) inilah yang berhak dan berwenang untuk meneliti dan menentukan
ada-tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi yang
dilakukan oleh Tenaga Kesehatan terhadap mereka yang disebut sebagai pasien.
b. Ketelitian
yang umum
Dan
bagi tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin yang ditentukan oleh
Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI) inilah yang berhak dan berwenang untuk meneliti dan
menentukan ada-tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar
profesi yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan terhadap mereka yang disebut
sebagai pasien.
c. Standar
Prosedur Operasional (SPO)
Suatu
perangkat instruksi/ langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu
proses kerja rutin tertentu.
d. Kelalaian
Faktor
kelalaian merupakan faktor paling utama penyebab terjadinya malprakter yang
dilakukan oleh seorang dokter. Dimana malpraktek meruipakan hal diluar kehendak
dan hal yang paling dihindari bagi seorang dokter.
Dalam
pelayanan kesehatan yang menyebabkan timbulnya kelalaian adalah karena kurangnya
pengetahuan, kurangnya pengalaman dan atau kurangnya kehati-hatian, padahal
diketahui bawah jika dilihat dari segi profesionalisme, seorang dokter dituntut
untuk terus mengembangkan ilmunya. Kelalaian menurut hukum pidana terbagi dua
macam yaitu[1]
:
1) Kealpaan
perbuatan, apabila hanya dengan melakukan perbuatannya sudah merupakan suatu
peristiwa pidana, maka tidak perlu melihat akibat yang timbul dari perbuatan
tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 205 KUHP;
2) Kealpaan
akibat, merupakan suatu peristiwa pidana kalau akibat dari kealpaan itu sendiri
sudah menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya cacat atau
matinya orang lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 359, Pasal 360, Pasal
361 KUHP.
Sedangkan menurut
D.Schaffmeiser, N. Keijzer dan E. PH. Sutorius[2] skema
kelalaian atau culpa yaitu:
1) Conscious
: kelalaian yang disadari, contohnya
antara lain sembrono (roekeloos), lalai(onachttzaam), tidak acuh. Dimana seseorang sadar akan
risiko, tetapi berharap akibat buruk
tersebut tidak terjadi;
2) Unconscius: kelalaian yang tidak
disadari, contohnya antara lain kurang
berpikir (onnadentkend), lengah
(onoplettend), dimana seseorang yang
seyogianya harus sadar dengan risiko, tetapi tidak demikian.
Jadi
kelalaian yang disadari terjadi apabila seseorang tidak melakukan suatu
perbuatan, namun dia sadar apabila tidak melakukan perbuatan tersebut, maka
akan menimbulkan akibat yang dilarang dalam hukum pidana. Sedangkan kealpaan
yang tidak disadari terjadi apabila pelaku tidak memikirkan kemungkinan adanya
suatu akibat atau keadaan tertentu, dan apabila ia telah memikirkan hal itu
sebelumnya maka ia tidak akan melakukannya.
Berpedoman
pada pengertian dan unsur-unsur diatas, dapat dikatakankealpaan atau kelalaian
dalam pelayanan kesehatan mengandung pengertian normatif yang dapat dilihat,
artinya perbuatan atau tindakan kelalaian itu, selalu dapat diukur dengan syarat-syarat
yang lebih dahulu sudah dipenuhi oleh seorang dokter maupun perawat. Ukuran
normatifnya adalah bahwa tindakan dokter atau perawat tersebut setidak-tidaknya
sama dengan apa yang diharapkan dapat dilakukan teman sejawatnya dalam situasi
yang sama.
B.
Perlindungan
Hukum Terhadap Korban Malpraktek Medik
1.
Ruang
lingkup Perlindungan Hukum
Ruang
lingkup “Perlindungan Hukum” yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah perlindungan
yang diberikan oleh Pemerintah melalui perangkat hukumnya seperti Peraturan Perundang-Undangan
(Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban). Mulai dari seseorang dapat
diidentifikasikan sebagai korban perdagangan manusia, proses beracara mulai
penyidikan hingga pengadilan, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, hingga
kepada proses pemulanga korban perdagangan orang dan reintegrasi sosial. Selain
hal tersebut juga akan dibahas masalahpemberian restitusi/ganti rugi yang dapat
diberikan kepada korban.
Pengertian
perlindungan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 disebutkan sebagai upaya
dalam pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada
saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh lembaga perlindungan saksi
dan korban atau lembaga lainnya.
Korban
kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu
tindak pidana, justru tidak memperoleh perlindungan sebanyaknya yang diberikan
oleh Undang-Undang kepada pelaku kejahatan sebagaimana dikemukakan oleh Andi
Hamzah mengatakan[3]
:
“Dalam membahas hukum acara pidana khususnya
yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas
hak-hak yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hakhak
korban.”
Perlindungan
hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan masyarakat, dapat
diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan
kopensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.
Jeremy Bentham menyatakan[4]:
“Ganti rugi adalah sesuatu yang
diberikan kepada pihak yang menderita kerugian sepadan dengan memperhitungkan
kerusakan yang dideritanya”
Perlindungan korban
dapat mencakup bentuk perlindungan yang bersifat abstrak (tidak langsung)
maupun yang konkrit (langsung). Perlindungan yang bastrak pada dasarnya
merupakan bentuk perlindungan yang hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara
emosional (psikis), seperti rasa puas (kepuasan).
Sementara
itu, perlindungan yang konkrit pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang
dapat dinikmati secara nyata, seperti pemberian yang berupa atau bersifat
materi maupun non-materi. Pemberian yang bersifat materi dapat berupa pemberian
kompensasi atau restitusi, pembebasan biaya hidup bersifat materi dapat berupa
pemberian kompensasi atau restitusi, pembebasan biaya hidup pembebasan dari
ancaman, dari pemberitaan yang merendahkan martabat kemanusiaan.
2.
Korban
Malpraktik Medik
Korban
suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu atau orang perorangan,
tetapi bisa juga berupa kelompok orang, masyarakat atau juga badan hukum.
Bahkan pada kejahatan tertentu, korbannya bisa juga berasal dari bentuk
kehidupan lainnya seperti tumbuhan, hewan atau ekosistem. Korban secara
lazimnya kita temui dalam kejahatan lingkungan. Namun dalam pembahasan ini,
korban yang sebagaimana yang dimaksud tidak masuk didalamnya.
a. Pengertian
Korban
Defenisi korban tercantuk
dalam Pasal 1 angka 2 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi dan Korban yang menyatakan bahwa korban adalah:
“seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan /atau kerugian ekonomi yang diakibatkan
oleh suatu tindak pidana”.
Sedangkan menurut Arif Gosita
yang dimaksud dengan korban adalah[5]:
“Mereka yang menderita jasmaniah dan
rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang bertentangan dengan
kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan
diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi
yang menderita”
Pengertian korban yang
bisa diartikan secara luas adalah yang didefinisikan oleh South Crolina
Govermor’s Office of Executive Policy and Programs, Columbia, yaitu:
“Victims means a person who suffers
direct or threatened physical, psychological, or financial harm as the result
of crime against him. Victim also includes the person is deceased, a minor,
incompepent was a homicide victim and/or is physically or psychologically
incapacitated."
Pengertian di atas,
apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka akan memerikan pengertian
mengenai korban secara luas. Menurut pengertian tersebut, pengertian korban
bukan hanya merujuk pada korban yang mederita secara langsung, akan tetapi
korban tidak langsung juga mengalami penderitaan yang dapat diklarifikasikan
sebagai korban. Yang dimaksud korban tidak langsung di sini seperti istri yang
kehilangan suami, anak yang kehilangan bapak, orang tua yang kehilangan
anaknya, dan sebagainya.
b. Malpraktek
Medik
Kamus
Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga menyebutkan istilah malpraktik dengan
malapraktik yang diartikan dengan:
“praktik kedokteran
yang salah, tidak tepat, menyalahi undang- undang atau kode etik.”
Sedangkan arti
malpractice, dalam Dorland’s Medical Dictionary 27th Edition, adalah:
“praktik yang tidak tepat atau yang
menimbulan masalah”; tindakan medik atau tindakan operatif yang salah”
(“improper or injurious practice; inskillful and faulty medical or surgical
treatment”).
Istilah malpractice
dalam Stedman’s Medical Dictionary diartikan sebagai:
“kesalahan penanganan
pasien karena ketidaktahuan, ketidakhati-hatian, kelalaian, atau adanya niat
jahat”.
Malpraktik medik
menurut Safitri Hariyani (J. Guwandi, 2004: 20) yang mengutip dari pendapat
Vorstman dan Hector Treub dan juga atas rumusan Komisi Annsprakelijkheid dari KNMG (IDI-nya Belanda), adalah:
“Seorang dokter melakukan kesalahan profesi
jika ia tidak melakukan pemeriksaan, tidak mendiagnosis, tidak melakukan
sesuatu, atau tidak membiarkan sesuatu yang oleh dokter yang baik pada umumnya
dan dengan situasi kondisi yang sama, akan melakukan pemeriksaan dan diagnosis
serta melakukan atau membiarkan sesuatu tersebut.”
Untuk menguji apakah yang dilakukan dokter
dalam menjalankan profesinya itu merupakan suatu malpraktik atau bukan, Leenan
menyebutkan lima kriteria, seperti yang dikutip oleh Fred Ameln[6] yaitu:
1) Berbuat
secara teliti/seksama (zorgvuldig hendelen) dikatikan dengan kelalaian (culpa).
Bila seorang dokter bertidak onvoorzichtg, tidak teliti, tidak berhatihati,
maka ia memenuhi unsur kelalaian; bila ia sangat tidak berhati-hati, ia
memenuhi unsur culpa lata;
2) Yang
dilakukan dokter sesuai ukuran ilmu medik (volgens de medische standaard);
3) Kemampuan
rata-rata (average) dibanding kategori keahlian medis yang sama (gemiddelde
bekwaamheid van gelijke medische categorie);
4) Dalam
situasi dan kondisi yang sama (gelijke omstandigheden)
5) Sarana upaya (middelen) yang
sebanding/proporsional (asas proporsionalitas) dengan tujuan kongkret
tindakan/perbuatan medis tersebut (tot het concreet handelingsdoel).
3.
Perlindungan
Hukum Terhadap Korban Malpraktek Medik
Hubungan
dokter pasien adalah hubungan kepercayaan. Pasien mempercayakan penyakitnya
kepada dokter dan dokter berusaha dengan sungguh-sungguh mengobati penyakit
pasien sesuai dengan keterampilan dan ilmu pengetahuan yang ada padanya.
Entah
dari mana datangnya dan sebabnya, hubungan dokter pasien semakin kehilangan
ciri khasnya yang saling mempercayai itu, menjelma menjadi hubungan yang saling
mencurigai, saling menggugat dan saling menuntut, mungkin karena kesadaran
masyarakat terhadap hak-haknya semakin meningkat, mungkin mutu dokter yang
memang semakin menurun, mungkin telah banyak korban berjatuhan dipihak pasien
tetapi pasien tidak dapat berbuat apa-apa terhadap dokter yang telah merugikannya,
mungkin dokter tidak lagi menjalankan profesi mulianya sebagaimana mestinya akibat
pengaruh kehidupan yang materialis, konsumeris dan hedonis, mungkin dokter
masih merasa diatas awan sebagai kelompok yang tidak tersentuh yang selalu akan
dilindungi oleh kawan sejawatnya (semangat korps) dengan berlindung di balik
dalih bahwa ilmu kedokteran penuh dengan ketidakpastian ketika terjadi kesalahan
sehingga dokter boleh bersikap semaunya dalam memberikan pelayanan.
Bagaimanapun,
terlepas dari kemungkinan diatas, yang jelas, apabila seseorang telah dirugikan,
maka tentunya harus ada pihak lain yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga
dalam konteks dokter pasien, apabila pasien dirugikan maka dokter dapat dipertanggungjawabkan.
Setiap penyimpangan tindakan medik yang dilakukan oleh dokter mengakibatkan
konsekuensi dalam bentuk sanksi hukum baik sanksi perdata, pidana dan sanksi administrasi
sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pasien yang telah dirugikannya
tersebut.
Berdasarkan uraian
tersebut diatas, maka sanksi pidana, perdata dan administrasi dapat
dipertanggungjawabkan kepada dokter sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap
pasien korban malpraktik.
“Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
akhirnya memenangkan gugatan Sisi Chalik dalam kasus malpraktek yang diduga
dilakukan Rumah Sakit Ibu dan Anak Budi Jaya. Majelis Hakim memutuskan pihak
tergugat membayar kerugian sebesar 792 juta rupiah. Setelah melewati proses
panjang dan penundaan putusan selama tiga kali, Ketua Majelis Hakim Aswan Nur
Cahya SH, memenangkan gugatan Sisi Chalik terhadap Rumah Sakit Ibu dan Anak
Budi Jaya dan dua dokternya membayar ganti rugi atas dugaan malpraktek yang
dilakukannya terhadap Sisi.Dalam amar putusannya, Majelis Hakim mewajibkan
pihak tergugat membayar ganti rugi sebesar 292 juta rupiah sebagai pengganti
biaya operasi dan pengobatan penggugat selama dirawat di Rumah Sakit Budi Jaya.
Selain itu, para tergugat juga diwajibkan membayar sebesar 500 juta rupiah
untuk mengganti kerugian akibat malpraktek yang diderita penggugat,gugatan yang
dimenangkan Sisi lebih ringan dari tuntutannya sebesar 3 milyar rupiah. Pihak
tergugat diputus bersalah karena telah melakukan operasi pengangkatan tumor
rahim atau myoma yang menyebabkan penggugat mengalami kebocoran usus hingga
selama 9 tahun menjalani penderitaan, keluarnya kotoran dari ususnya yang
berada diluar perut. Pihak tergugat diwajibkan membayar secara tunai kepada
Sisi setelah surat keputusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
dikeluarkan. Gugatan yang akhirnya dimenangkan korban malpratek di negeri ini
terbilang langka. Ratusan kasus malpraktek hampir tidak pernah dimenangkan oleh
korbannya,kebanyakan diselesaikan secara damai.”
Tidak
dapat dipungkiri bahwa keberadaan dokter sangat dibutuhkan oleh masyarakat
sehingga profesi dokter yang mulia itu harus dilindungi dari oknum dokter yang
tidak bertanggungjawab. Lagipula masyarakat (termasuk para dokter) tidak ingin
melihat korban berjatuhan di pihak pasien akibat ulah oknum dokter.
Apabila
hal ini tetap berlanjut, tentunya disamping sangat merugikan masyarakat
(pasien), juga pada akhirnya dapat merusak citra profesi dokter yang sangat
mulia itu. Hukum Pidana merupakan salah satu sarana dalam memberikan
perlindungan hukum terhadap korban malpraktik medik, sebagaimana diketahui hukum
pidana adalah suatu bagian dari hukum publik, oleh karena itu yang merupakan
tekanan utama
disini adalah
kepentingan umum atau masyarakat.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Faktor
penyebab terjadinya malpraktik medik oleh dokter yaitu disebabkan karena
standar profesi kedokteraan yang terdiri atas kewenangan, kemampuan rata-rata,
dan ketelitian yang umum. Kemudian
faktor kedua yaitu Standar Prosedur Operasional (SOP) yaitu suatu perangkat instruksi/ langkahlangkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Adapun faktor terakhir yang diperoleh penulis dari hasil penelitian ini yaitu kelalaian dalam hal ini yang dimaksud dengan kelalaian apabila tindakan tersebut berdampak kerugian.
faktor kedua yaitu Standar Prosedur Operasional (SOP) yaitu suatu perangkat instruksi/ langkahlangkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Adapun faktor terakhir yang diperoleh penulis dari hasil penelitian ini yaitu kelalaian dalam hal ini yang dimaksud dengan kelalaian apabila tindakan tersebut berdampak kerugian.
2. Perlindungan
hukum terhadap pasien korban malpraktek di Indonesia dilakukan dengan berbagai
cara yaitu dengan perlindungan melalui pemberian sanksi dari segi perdata, pidana
maupun administrasi yang dipertanggung jawabkan terhadap dokter yang bersangkutan.
Di Indonesia masalah pertanggungjawaban hukum pidana seorang dokter dalam KUH
Pidana yang mencakup
tanggung jawab hukum yang Ditimbulkan oleh kesengajaan maupun kealpaan/
kelalaian, diatur dalam Pasal 267, 299, 304, 322, 344, 346, 347, 348, 349 KUH
Pidana mencakup kesalahan yang didasarkan pada kesengajaan.
B.
Saran
1. Maraknya
institusi pelayanan kesehatan berpotensi pada meningkatnya angka ketidakpuasan
layanan itu sendiri. Masyarakat cenderung mencari second opinion dari hasil pemeriksaan
yang telah mereka terima. Tingkat pemahaman yang berbeda-beda pada akhirnya
menggiring satu pihak merasa dikorbankan oleh pelayanan yang ada, asumsi terjadinya
pelanggaran di satu sisi akan merugikan dokter secara professional akan tetapi
masyarakat juga butuh perlindungan karena tidak mustahil ada unsur penyimpangan
atau kelalaian dalam proses pelayanan yang justru bisa merugikan bahkan bisa
menyebabkan kecacatan atau kematian. Dalam Hal ini masyarakat yang merasa
menjadi korban malpraktik harus hati – hati dalam melakukan tindakan hukum.
2. Dokter
sebagai manusia biasa juga harus terus mengembangkan ilmu pengetahuannya sesuai
dengan yang diatur dalam UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal
51 tentang kewajiban dokter yaitu mengikuti perkembangan ilmu kedokteran.
DAFTAR PUSTAKA
Ari
Yunanto, Hukum Pidana Malpraktik Medik, Penerbit Andi, Yogyakarta 2010. Arif
Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993.
Andi
Hamzah, Perlindungan Hak – Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, Bina Cipta, Bandung 1986.
Bahder
Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta,
Jakarta, 2005.
Fred
Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran,
PT. Grafikatama Jaya, Jakarta, 1991.
Schaffmeiste
N. Keijzer dan E. PH. Sitorius, Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2007.
[1] Bahder Johan Nasution, Hukum
Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta, 2005. Hlm. 56
[2] D. Schaffmeiste N. Keijzer dan
E. PH. Sitorius, Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm 102
[3] Andi Hamzah, Perlindungan Hak –
Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Bina Cipta,
Bandung 1986, hlm. 33
[4] Jeremy Bentham, Teori
Perundang-undangan Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana,
Husamedia & Nuansa, Bandung, 2006, hlm. 316
[5] Arif Gosita, Masalah Korban
Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta,
1993, hlm. 49
[6] Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, PT.
Grafikatama Jaya, Jakarta, 1991, hlm. 87
QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
ReplyDelete-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
• BB : 2B3D83BE