Monday, March 13, 2017

Perlindungan Hukum Terhadap Korban Malpraktek Medik Yang di lakukan Oleh Dokter



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Umumnya orang beranggapan bahwa seseorang yang mempunyai profesi kedokteran atau yang berprofesi sebagai dokter adalah menyenangkan karena dengan status sebagai dokter ia akan terpandang di mata masyarakat dan juga status sosial ekonominya, sebab biasanya seorang dokter akan serba kecukupan sandang, pangan dan perumahan. Dengan kata lain, kebutuhan hidupnya pasti dapat terpenuhi dengan layak. Juga ada anggapan bahwa profesi dokter merupakan profesi yang mulia, karena tugasnya menyelamatkan jiwa orang yang sedang menderita penyakit. Bagi kalangan awam timbul pula pendapat bahwa dokter itu tidak mungkin berbuat salah dalam menjalankan tugasnya, kendati ia bukan seorang nabi. Oleh karena itu mereka biasanya pasrah pada dokter yang dipercayainya.. Pasien sepenuhnya berserah diri kepada dokter. Bahkan dalam keinginannya bebas dari rasa sakit, ia bersedia “disakiti” oleh dokternya, misalnya melalui berbagai prosedur diagnostik ataupun dioperasi.
Hubungan antara dokter dengan pasien bersifat sangat pribadi. Seluruh rahasia yang dimilikinya akan dibukakan kepada dokter, jika dikehendaki.
Dokter bekerja dalam suasana yang serba tidak pasti (uncertainty). Selain sifat-sifat tubuh manusia yang sangat bervariasi, dokter tidak dapat membuat seperti halnya seorang montir yang boleh membongkar seluruh isi “obyek yang diperbaiki”, hanya untuk memastikan letak dan macam kelainan yang Menimbulkan keluhan. Masyarakat menaruh harapan dan kepercayaan kepada dokter, tetapi sekaligus juga mencurigai atau bahkan cemburu terhadapnya.
Hubungan fungsional antara dokter dan masyarakat memberikan status yang unik, tetapi juga tinggi bagi dokter. Mereka yang bermental lemah akan mudah terbuai oleh status ini dan lupa diri. Dari adanya kedudukan yang unik sifatnya itu, tentu saja memberikan beban yang baru bagi setiap orang yang memilih profesi kedokteran sebagai pilihan di dalam kehidupannya. Beban yang antara lain agar tetap dapat menjaga integritas, agar martabat profesinya tidak runtuh harus dipertahankan.  Dengan demikian, apa yang menjadi harapan dan kepercayaan masyarakat kepadanya harus diimbangi dengan bukti-bukti dalam bentuk perbuatan yang nyata. 
Penilaian-penilaian yang serba positif terhadap profesi kedokteran pada kenyataannya sekarang ini sudah mulai mengalami pergeseran. Pada era sebelum tahun 90-an kita nyaris tidak pernah mendengar adanya kasus malpraktek yang digugat atau dibawa pengadilan oleh korban dalam hal ini pasien, sementara di era awal abad ke-21 ini hal tersebut sudah tidak berlaku lagi yang ditandai dengan maraknya kasus malpraktek antara dokter dengan pasien yang digugat atau diklaim dan menuntut  penyelesaian baik secara pidana maupun perdata.
Sebagai manusia biasa, yang mempunyai kelebihan dan kekurangan, seorang dokter pun niscaya tidak akan luput dari kesalahan, baik itu yang dilakukannya dalam kehidupan sosialnya sebagai anggota masyarakat, maupun kesalahannya yang dilakukan dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari sebagai insan yang berbudi. Kenyataan menunjukkan bahwa kini hampir banyak kita bisa dibaca dalam media massa maupun dilihat di media elektronik adanya berbagai berita tentang malpraktek, yang sekaligus merupakan suatu kritik pedas terhadap pelayanan medis. kasus-kasus yang banyak diberitakan di media massa maupun elektronik tersebut dapat dikategorikan sebagai malpraktek.
Berdasarkan fenomena tersebut di atas, maka menarik penulis untuk membahas lebih lanjut dalam bentuk makalah hukum dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Malpraktek Medik Yang di lakukan Oleh Dokter”. 

B.     Identifikasi Masalah
1.      Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya malpraktek yang dilakukan oleh Dokter?
2.      Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban malpraktek medik?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya malpraktek yang dilakukan oleh Dokter.
2.      Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap korban malpraktek medik.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Dokter
1.      Pengertian Malpraktek
a.       Pengertian secara umum
Malpraktek mempakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti salah sedangkan “praktek” mempunyai arti pelaksanaan atau tindakan, sehingga malpraktek berarti pelaksanaan atau tindakan yang salah. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan definisi malpraktek profesi kesehatan adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.
Malpraktek juga dapat diartikan sebagai tidak terpenuhinya perwujudan hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang baik, yang biasa terjadi dan dilakukan oleh oknum yang tidak mau mematuhi aturan yang ada karena tidak memberlakukan prinsip-prinsip transparansi atau keterbukaan,dalam arti, harus menceritakan secarajelas tentang pelayanan yang diberikan kepada konsumen, baik pelayanan kesehatan maupun pelayanan jasa lainnya yang diberikan.
Dalam memberikan pelayanan wajib bagi pemberi jasa untuk menginformasikan kepada konsumen secara lengkap dan komprehensif semaksimal mungkin. Namun, penyalahartian malpraktek biasanya terjadi karena ketidaksamaan persepsi tentang malpraktek.
b.      Pengertian menurut ahli :
1)      Guwandi (1994) mendefinisikan malpraktik sebagai kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan pelayanah pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah yang sama.
2)      Ellis dan Hartley (1998) mengungkapkan bahwa malpraktik merupakan batasan yang spesifik dari kelalaian (negligence) yang ditujukan pada seseorang yang telah terlatih atau berpendidikan yang menunjukkan kinerjanya sesuai bidang tugas/pekerjaannya.
3)      Ada dua istilah yang sering dibiearakan secara bersamaan dalam kaitannya dengan malpraktik yaitu kelalaian dan malpratik itu sendiri. Kelalaian adalah melakukan sesuatu dibawah standar yang ditetapkan oleh aturan/hukum guna, melindungi orang lain yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yaag tidak beralasan dan berisiko melakukan kesalahan.
4)      Menurut Hanafiah dan Amir (1999) kelalaian adalah sikap yang kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan sesuatu yang seharusnya seseorang lakukan dengan sikap hati-hati dan wajar, atau sebaliknya melakukan sesuatu yang dengan sikap hati-hati, tetapi tidak dilakukannya dalam situasi tersebut.
5)      Guwandi (1994) mengatakan bahwa kelalaian adalah kegagalan untuk bersikap hati-hati yang pada umumnya wajar dilakukan seseorang dengan hati-hati dalam keadaan tersebut.
Dari pengertian di atas, dapat diartikan bahwa kelalaian lebih bersifat ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tidak peduli terhadap kepentingan orang lain, tetapi akibat, yang ditimbulkan bukanlah tujuannya.
Malpraktik tidak sama dengan kelalaian. Malpraktik. sangat spesifik dan terkait dengan status profesional dan pemberi pelayanan dan standar pelayanan profesional. Malpraktik adalah kegagalan seorang profesional (misalnya, dokter dan perawat) untuk melakukan praktik sesuai dengan standar profesi yang berlaku bagi seseorang yang karena memiliki keterampilan dan pendidikan.
Malpraktik lebih luas daripada negligence karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (criminal malpractice) dan melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat adanya motif (guilty mind) sehingga tuntutannya dapat bersifat perdata atau pidana.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan malpraktik adalah :
1)      Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan.
2)      Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajibannya. (negligence); dan
3)      Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.

2.       Faktor-faktor Penyebab terjadinya malpraktek oleh dokter
Beberapa faktor penyebab terjadinya malpratek yang dilakukan oleh dokter adalah seorang dokter hendaknya memiliki standar profesi kedokteran yang meliputi kewenangan,kemampuan,dan ketelitian umum, kemudian memiliki Standar Prosedur Operasional (SPO) serta faktor kelalaian dari dokter tersebut.
Faktor-faktor penyebab terjadinya malpraktek yang dilakukan oleh dokter:
a.    Standar Profesi Kedokteran
Dalam profesi kedokteran, ada tiga hal yang harus ada dalam standar profesinya, yaitu kewenangan, kemampuan rata-rata dan ketelitian umum.
1)      Kewenangan
Disini maksudnya seorang Tenaga Kesehatan harus memiliki kewenangan hukum untuk melaksanakan pekerjaannya bisa berupa ijin praktik bagi dokter dan tenaga kesehatan lainnya, bisa berupa Badan Hukum dan Perijinan lain bagi penyelenggara kesehatan seperti rumah sakit atau klinik-klinik.
2)      Kemampuan rata-rata
Tenaga Kesehatan harus memiliki kemampuan rata-rata yang ditentukan berdasarkan pengalaman kerja dalam linkungan yang menunjang pekerjaannya dan kemudian Tenaga Kesehatan harus memiliki ketelitian kerja yang ukuran ketelitian itu sangatlah bervariasi.
Namun betapa pun sulitnya untuk merumuskan rating scale (skala pengukuran) tentang standard profesi Tenaga Kesehatan, Undang-undang mengharuskan mereka yang berprofesi sebagai Tenaga Kesehatan berkewajiban mematuhi standard profesi dan menghormati hak pasien dan setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan (Pasal 58 ayat 1 UU No.36 tahun 2009).
3)      Ketelitian yang umum
Dan bagi tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin yang ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) inilah yang berhak dan berwenang untuk meneliti dan menentukan ada-tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan terhadap mereka yang disebut sebagai pasien.
b.      Ketelitian yang umum
Dan bagi tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin yang ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) inilah yang berhak dan berwenang untuk meneliti dan menentukan ada-tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan terhadap mereka yang disebut sebagai pasien.
c.       Standar Prosedur Operasional (SPO)
Suatu perangkat instruksi/ langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu.
d.      Kelalaian
Faktor kelalaian merupakan faktor paling utama penyebab terjadinya malprakter yang dilakukan oleh seorang dokter. Dimana malpraktek meruipakan hal diluar kehendak dan hal yang paling dihindari bagi seorang dokter.
Dalam pelayanan kesehatan yang menyebabkan timbulnya kelalaian adalah karena kurangnya pengetahuan, kurangnya pengalaman dan atau kurangnya kehati-hatian, padahal diketahui bawah jika dilihat dari segi profesionalisme, seorang dokter dituntut untuk terus mengembangkan ilmunya. Kelalaian menurut hukum pidana terbagi dua macam yaitu[1] :
1)   Kealpaan perbuatan, apabila hanya dengan melakukan perbuatannya sudah merupakan suatu peristiwa pidana, maka tidak perlu melihat akibat yang timbul dari perbuatan tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 205 KUHP;
2)   Kealpaan akibat, merupakan suatu peristiwa pidana kalau akibat dari kealpaan itu sendiri sudah menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya cacat atau matinya orang lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 359, Pasal 360, Pasal 361 KUHP.
Sedangkan menurut D.Schaffmeiser, N. Keijzer dan E. PH. Sutorius[2] skema kelalaian atau culpa yaitu:
1)   Conscious : kelalaian yang disadari, contohnya  antara lain sembrono (roekeloos), lalai(onachttzaam),  tidak acuh. Dimana seseorang sadar akan risiko,  tetapi berharap akibat buruk tersebut tidak terjadi;
2)    Unconscius: kelalaian yang tidak disadari,   contohnya antara lain kurang berpikir (onnadentkend),  lengah (onoplettend), dimana seseorang yang  seyogianya harus sadar dengan risiko, tetapi tidak  demikian.
Jadi kelalaian yang disadari terjadi apabila seseorang tidak melakukan suatu perbuatan, namun dia sadar apabila tidak melakukan perbuatan tersebut, maka akan menimbulkan akibat yang dilarang dalam hukum pidana. Sedangkan kealpaan yang tidak disadari terjadi apabila pelaku tidak memikirkan kemungkinan adanya suatu akibat atau keadaan tertentu, dan apabila ia telah memikirkan hal itu sebelumnya maka ia tidak akan melakukannya.
Berpedoman pada pengertian dan unsur-unsur diatas, dapat dikatakankealpaan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan mengandung pengertian normatif yang dapat dilihat, artinya perbuatan atau tindakan kelalaian itu, selalu dapat diukur dengan syarat-syarat yang lebih dahulu sudah dipenuhi oleh seorang dokter maupun perawat. Ukuran normatifnya adalah bahwa tindakan dokter atau perawat tersebut setidak-tidaknya sama dengan apa yang diharapkan dapat dilakukan teman sejawatnya dalam situasi yang sama.

B.     Perlindungan Hukum Terhadap Korban Malpraktek Medik
1.      Ruang lingkup Perlindungan Hukum
Ruang lingkup “Perlindungan Hukum” yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah melalui perangkat hukumnya seperti Peraturan Perundang-Undangan (Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban). Mulai dari seseorang dapat diidentifikasikan sebagai korban perdagangan manusia, proses beracara mulai penyidikan hingga pengadilan, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, hingga kepada proses pemulanga korban perdagangan orang dan reintegrasi sosial. Selain hal tersebut juga akan dibahas masalahpemberian restitusi/ganti rugi yang dapat diberikan kepada korban.
Pengertian perlindungan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 disebutkan sebagai upaya dalam pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh lembaga perlindungan saksi dan korban atau lembaga lainnya.
Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, justru tidak memperoleh perlindungan sebanyaknya yang diberikan oleh Undang-Undang kepada pelaku kejahatan sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah mengatakan[3] :
“Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hak-hak yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hakhak korban.”

Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan kopensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.
Jeremy Bentham menyatakan[4]:
“Ganti rugi adalah sesuatu yang diberikan kepada pihak yang menderita kerugian sepadan dengan memperhitungkan kerusakan yang dideritanya”

Perlindungan korban dapat mencakup bentuk perlindungan yang bersifat abstrak (tidak langsung) maupun yang konkrit (langsung). Perlindungan yang bastrak pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara emosional (psikis), seperti rasa puas (kepuasan).
Sementara itu, perlindungan yang konkrit pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang dapat dinikmati secara nyata, seperti pemberian yang berupa atau bersifat materi maupun non-materi. Pemberian yang bersifat materi dapat berupa pemberian kompensasi atau restitusi, pembebasan biaya hidup bersifat materi dapat berupa pemberian kompensasi atau restitusi, pembebasan biaya hidup pembebasan dari ancaman, dari pemberitaan yang merendahkan martabat kemanusiaan.

2.      Korban Malpraktik Medik
Korban suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu atau orang perorangan, tetapi bisa juga berupa kelompok orang, masyarakat atau juga badan hukum. Bahkan pada kejahatan tertentu, korbannya bisa juga berasal dari bentuk kehidupan lainnya seperti tumbuhan, hewan atau ekosistem. Korban secara lazimnya kita temui dalam kejahatan lingkungan. Namun dalam pembahasan ini, korban yang sebagaimana yang dimaksud tidak masuk didalamnya.
a.       Pengertian Korban
Defenisi korban tercantuk dalam Pasal 1 angka 2 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menyatakan bahwa korban adalah:
“seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan /atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.
Sedangkan menurut Arif Gosita yang dimaksud dengan korban adalah[5]:
“Mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita”

Pengertian korban yang bisa diartikan secara luas adalah yang didefinisikan oleh South Crolina Govermor’s Office of Executive Policy and Programs, Columbia, yaitu:
“Victims means a person who suffers direct or threatened physical, psychological, or financial harm as the result of crime against him. Victim also includes the person is deceased, a minor, incompepent was a homicide victim and/or is physically or psychologically incapacitated."

Pengertian di atas, apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka akan memerikan pengertian mengenai korban secara luas. Menurut pengertian tersebut, pengertian korban bukan hanya merujuk pada korban yang mederita secara langsung, akan tetapi korban tidak langsung juga mengalami penderitaan yang dapat diklarifikasikan sebagai korban. Yang dimaksud korban tidak langsung di sini seperti istri yang kehilangan suami, anak yang kehilangan bapak, orang tua yang kehilangan anaknya, dan sebagainya.
b.      Malpraktek Medik
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga menyebutkan istilah malpraktik dengan malapraktik  yang diartikan dengan:
“praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi undang- undang atau kode etik.”
Sedangkan arti malpractice, dalam Dorland’s Medical Dictionary 27th Edition, adalah: 
“praktik yang tidak tepat atau yang menimbulan masalah”; tindakan medik atau tindakan operatif yang salah” (“improper or injurious practice; inskillful and faulty medical or surgical treatment”). 

Istilah malpractice dalam Stedman’s Medical Dictionary diartikan sebagai: 
“kesalahan penanganan pasien karena ketidaktahuan, ketidakhati-hatian, kelalaian, atau adanya niat jahat”. 
Malpraktik medik menurut Safitri Hariyani (J. Guwandi, 2004: 20) yang mengutip dari pendapat Vorstman dan Hector Treub dan juga atas rumusan Komisi Annsprakelijkheid  dari KNMG (IDI-nya Belanda), adalah:
 “Seorang dokter melakukan kesalahan profesi jika ia tidak melakukan pemeriksaan, tidak mendiagnosis, tidak melakukan sesuatu, atau tidak membiarkan sesuatu yang oleh dokter yang baik pada umumnya dan dengan situasi kondisi yang sama, akan melakukan pemeriksaan dan diagnosis serta melakukan atau membiarkan sesuatu tersebut.” 

 Untuk menguji apakah yang dilakukan dokter dalam menjalankan profesinya itu merupakan suatu malpraktik atau bukan, Leenan menyebutkan lima kriteria, seperti yang dikutip oleh Fred Ameln[6] yaitu:
1)      Berbuat secara teliti/seksama (zorgvuldig hendelen) dikatikan dengan kelalaian (culpa). Bila seorang dokter bertidak onvoorzichtg, tidak teliti, tidak berhatihati, maka ia memenuhi unsur kelalaian; bila ia sangat tidak berhati-hati, ia memenuhi unsur culpa lata;
2)      Yang dilakukan dokter sesuai ukuran ilmu medik (volgens de medische standaard);
3)      Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian medis yang sama (gemiddelde bekwaamheid van gelijke medische categorie);
4)      Dalam situasi dan kondisi yang sama (gelijke omstandigheden)
5)       Sarana upaya (middelen) yang sebanding/proporsional (asas proporsionalitas) dengan tujuan kongkret tindakan/perbuatan medis tersebut (tot het concreet handelingsdoel).

3.      Perlindungan Hukum Terhadap Korban Malpraktek Medik
Hubungan dokter pasien adalah hubungan kepercayaan. Pasien mempercayakan penyakitnya kepada dokter dan dokter berusaha dengan sungguh-sungguh mengobati penyakit pasien sesuai dengan keterampilan dan ilmu pengetahuan yang ada padanya.
Entah dari mana datangnya dan sebabnya, hubungan dokter pasien semakin kehilangan ciri khasnya yang saling mempercayai itu, menjelma menjadi hubungan yang saling mencurigai, saling menggugat dan saling menuntut, mungkin karena kesadaran masyarakat terhadap hak-haknya semakin meningkat, mungkin mutu dokter yang memang semakin menurun, mungkin telah banyak korban berjatuhan dipihak pasien tetapi pasien tidak dapat berbuat apa-apa terhadap dokter yang telah merugikannya, mungkin dokter tidak lagi menjalankan profesi mulianya sebagaimana mestinya akibat pengaruh kehidupan yang materialis, konsumeris dan hedonis, mungkin dokter masih merasa diatas awan sebagai kelompok yang tidak tersentuh yang selalu akan dilindungi oleh kawan sejawatnya (semangat korps) dengan berlindung di balik dalih bahwa ilmu kedokteran penuh dengan ketidakpastian ketika terjadi kesalahan sehingga dokter boleh bersikap semaunya dalam memberikan pelayanan.
Bagaimanapun, terlepas dari kemungkinan diatas, yang jelas, apabila seseorang telah dirugikan, maka tentunya harus ada pihak lain yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga dalam konteks dokter pasien, apabila pasien dirugikan maka dokter dapat dipertanggungjawabkan. Setiap penyimpangan tindakan medik yang dilakukan oleh dokter mengakibatkan konsekuensi dalam bentuk sanksi hukum baik sanksi perdata, pidana dan sanksi administrasi sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pasien yang telah dirugikannya tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka sanksi pidana, perdata dan administrasi dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pasien korban malpraktik.
“Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya memenangkan gugatan Sisi Chalik dalam kasus malpraktek yang diduga dilakukan Rumah Sakit Ibu dan Anak Budi Jaya. Majelis Hakim memutuskan pihak tergugat membayar kerugian sebesar 792 juta rupiah. Setelah melewati proses panjang dan penundaan putusan selama tiga kali, Ketua Majelis Hakim Aswan Nur Cahya SH, memenangkan gugatan Sisi Chalik terhadap Rumah Sakit Ibu dan Anak Budi Jaya dan dua dokternya membayar ganti rugi atas dugaan malpraktek yang dilakukannya terhadap Sisi.Dalam amar putusannya, Majelis Hakim mewajibkan pihak tergugat membayar ganti rugi sebesar 292 juta rupiah sebagai pengganti biaya operasi dan pengobatan penggugat selama dirawat di Rumah Sakit Budi Jaya. Selain itu, para tergugat juga diwajibkan membayar sebesar 500 juta rupiah untuk mengganti kerugian akibat malpraktek yang diderita penggugat,gugatan yang dimenangkan Sisi lebih ringan dari tuntutannya sebesar 3 milyar rupiah. Pihak tergugat diputus bersalah karena telah melakukan operasi pengangkatan tumor rahim atau myoma yang menyebabkan penggugat mengalami kebocoran usus hingga selama 9 tahun menjalani penderitaan, keluarnya kotoran dari ususnya yang berada diluar perut. Pihak tergugat diwajibkan membayar secara tunai kepada Sisi setelah surat keputusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dikeluarkan. Gugatan yang akhirnya dimenangkan korban malpratek di negeri ini terbilang langka. Ratusan kasus malpraktek hampir tidak pernah dimenangkan oleh korbannya,kebanyakan diselesaikan secara damai.”

Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan dokter sangat dibutuhkan oleh masyarakat sehingga profesi dokter yang mulia itu harus dilindungi dari oknum dokter yang tidak bertanggungjawab. Lagipula masyarakat (termasuk para dokter) tidak ingin melihat korban berjatuhan di pihak pasien akibat ulah oknum dokter.
Apabila hal ini tetap berlanjut, tentunya disamping sangat merugikan masyarakat (pasien), juga pada akhirnya dapat merusak citra profesi dokter yang sangat mulia itu. Hukum Pidana merupakan salah satu sarana dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban malpraktik medik, sebagaimana diketahui hukum pidana adalah suatu bagian dari hukum publik, oleh karena itu yang merupakan tekanan utama
disini adalah kepentingan umum atau masyarakat. 
BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Faktor penyebab terjadinya malpraktik medik oleh dokter yaitu disebabkan karena standar profesi kedokteraan yang terdiri atas kewenangan, kemampuan rata-rata, dan ketelitian yang umum. Kemudian
 faktor kedua yaitu Standar Prosedur Operasional (SOP)  yaitu suatu perangkat instruksi/ langkahlangkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Adapun faktor terakhir yang diperoleh penulis dari hasil penelitian ini yaitu kelalaian dalam hal ini yang dimaksud dengan kelalaian apabila tindakan tersebut berdampak kerugian.
2.      Perlindungan hukum terhadap pasien korban malpraktek di Indonesia dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan perlindungan melalui pemberian sanksi dari segi perdata, pidana maupun administrasi yang dipertanggung jawabkan terhadap dokter yang bersangkutan. Di Indonesia masalah pertanggungjawaban hukum pidana seorang dokter dalam KUH
Pidana yang mencakup tanggung jawab hukum yang Ditimbulkan oleh kesengajaan maupun kealpaan/ kelalaian, diatur dalam Pasal 267, 299, 304, 322, 344, 346, 347, 348, 349 KUH Pidana mencakup kesalahan yang didasarkan pada kesengajaan.

B.     Saran
1.      Maraknya institusi pelayanan kesehatan berpotensi pada meningkatnya angka ketidakpuasan layanan itu sendiri. Masyarakat cenderung mencari second opinion dari hasil pemeriksaan yang telah mereka terima. Tingkat pemahaman yang berbeda-beda pada akhirnya menggiring satu pihak merasa dikorbankan oleh pelayanan yang ada, asumsi terjadinya pelanggaran di satu sisi akan merugikan dokter secara professional akan tetapi masyarakat juga butuh perlindungan karena tidak mustahil ada unsur penyimpangan atau kelalaian dalam proses pelayanan yang justru bisa merugikan bahkan bisa menyebabkan kecacatan atau kematian. Dalam Hal ini masyarakat yang merasa menjadi korban malpraktik harus hati – hati dalam melakukan tindakan hukum.
2.      Dokter sebagai manusia biasa juga harus terus mengembangkan ilmu pengetahuannya sesuai dengan yang diatur dalam UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal 51 tentang kewajiban dokter yaitu mengikuti perkembangan ilmu kedokteran.





DAFTAR PUSTAKA
Ari Yunanto, Hukum Pidana Malpraktik Medik, Penerbit Andi, Yogyakarta 2010. Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta,  1993.
Andi Hamzah, Perlindungan Hak – Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Bina Cipta, Bandung 1986.
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta, 2005.
Fred Ameln,  Kapita Selekta Hukum Kedokteran, PT. Grafikatama Jaya, Jakarta, 1991.
Schaffmeiste N. Keijzer dan E. PH. Sitorius, Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.


[1] Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta, 2005. Hlm. 56
[2] D. Schaffmeiste N. Keijzer dan E. PH. Sitorius, Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm 102
[3] Andi Hamzah, Perlindungan Hak – Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Bina Cipta, Bandung 1986, hlm. 33
[4] Jeremy Bentham, Teori Perundang-undangan Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Husamedia & Nuansa, Bandung, 2006, hlm. 316
[5] Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta,  1993, hlm. 49
[6] Fred Ameln,  Kapita Selekta Hukum Kedokteran, PT. Grafikatama Jaya, Jakarta, 1991, hlm. 87

1 comment:

  1. QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
    -KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
    Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
    • BandarQ
    • AduQ
    • Capsa
    • Domino99
    • Poker
    • Bandarpoker.
    • Sakong
    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • WA: +62 813 8217 0873
    • BB : D60E4A61
    • BB : 2B3D83BE

    ReplyDelete

Makalah Perjanjian Jual beli dalam Hukum Perdata

BAB I PENDAHULUAN A.    Latar Belakang Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan yang bersifat fisik dan non fisik. Kebutuhan itu ti...