BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Manusia
sebagai mahluk individu yang juga Negara Indonesia sebagai negara berkembang
tidak dapat menghindari adanya kemajuan dan perkembangan di bidang kedokteran
khususnya dan bidang teknologi pada umumnya. Akibat kemajuan teknologi yang tak
terbayangkan dalam menyongsong milenium baru ini, menjadi penyebab terjadinya
perubahan perubahan di berbagai bidang dan struktur masyarakat baik secara
cepat atau lambat. Demikian pula semakin banyak penemuan-penemuan di berbagai
bidang khususnya dalam hal ini di bidang medis.
Untuk
dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu diperlukan kriteria
diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kematian sebagai akhir dari rangkaian
kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak
menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian.
Dengan
perkembangan diagnosa suatu penyakit dapat lebih sempurna dilakukan dan
pengobatan penyakitpun dapat berlangsung dengan cepat. Dengan peralatan, rasa
sakit si pasien diharapkan dapat diperingan agar kehidupan seseorang dapat
diperpanjang untuk jangka waktu tertentu dengan respirator. Perkembangan
teknologi dibidang medis ini dengan harapan agar dokter diberi kesempatan untuk
mengobati si pasien sebagai upaya bagi si pasien untuk sembuh menjadi lebih
besar, namun ada kalanya menimbulkan kesulitan di kalangan dokter sendiri.
Seperti penggunaan alat respirator yang dipasang untuk menolong pasien, di mana
jantung pasien berdenyut namun otaknya tidak berfungsi dengan baik[1].
Selain
kasus tersebut di atas banyak lagi masalah yang dihadapi dokter dalam mengobati
pasien, seperti halnya pasien yang tidak mungkin lagi diharapkan sembuh atau
hidup sehat karena belum ditemukan obatnya, sehingga pasien merasakan sakit
yang terus menerus, dalam hal ini apakah dokter harus menghilangkan nyawa
pasien atau euthanasia dengan teknik yang ada atau membiarkan pasien begitu saja
atau menyuruh pulang kembali ketengah keluarganya. Menyadari hal itu kewajiban
dokter adalah menghormati dan melindungi setiap insan dengan menjalankan
tugasnya semata-mata hanya untuk menyembuhkan dan mengurangi penderitaan pasien
dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan berdasarkan sumpah jabatan dan
kode etik kedokteran[2].
Sejauh
ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik pada beberapa kalangan yang
menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia. mengenai
euthanasia (Mercy Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas
permintaan dirinya sendirI sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa
seseorang. Dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang
menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang
euthanasia.
Pihak
yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa setiap
manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan
segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan
kemanusian. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh
atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri
hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia beralasan
bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah
hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat
oleh manusia.
Perdebatan
ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang dipakai sangatlah
bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah
legalitas dari perbuatan euthanasia. Oleh karena itu berdasarkan uraian di atas
penulis mengambil judul “Euthanasia
Ditinjau Dari Segi Medis Dan Hukum Pidana Di Indonesia”.
B.
Identifikasi
Masalah
1. Bagaimanakah
euthanasia di tinjau dari segi medis ?
2. Bagaimana
pengaturan hukum pidana terhadap euthanasia?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui euthanasia ditinjau dari segi medis.
2. Untuk
mengetahui pengaturan hukum pidana terhadap euthanasia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Euthanasia
Di Tinjau Dari Segi Medis
1.
Pengertian
Umum Tentang Euthanasia
Istilah
euthanasia berasal dari kata yunani yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti
indah, bagus, terhormat, atau gracefully and dignity, sedangkan thanatos
berarti mati, mayat. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai
mati dengan baik (a good death). Seorang penulis romawi yang bernama seutonis,
dalam bukunya yang berjudul Vitaceasarum, mengatakan bahwa euthanasia berarti
“mati cepat tanpa derita”[3].
Meminjam
istilah Philo, seorang filsuf kenamaan (50-20 SM), euthanasia merupakan mati
dengan tenang dan baik. Sementara dalam analisis St. Thomas, euthanasia adalah bentuk
pengakhiran hidup orang penuh sengsara secara bebas dan dengan berhenti makan
atau dengan minum racun yang membinasakan. Sejak abad 19, terminologi
euthanasia dipakai untuk menyatakan penghindaran rasa sakit dan peringanan pada
umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan Dokter.
Pemakaian terminologi euthanasia ini mencakup tiga kategori, yaitu :
a. Pemakaian
secara sempit
Secara sempit
euthanasia dipakai untuk tindakan menghindari rasa sakit dari penderitaan dalam
menghadapi kematian. Dalam hal ini euthanasia berarti perawatan dokter yang
bertujuan untuk menghilangkan penderitaan yang dapat dicegah sejauh perawatan itu tidak bertentangan dengan kidah-kaidah
hukum, etika, atau adat yang berlaku.
b. Pemakaian
secara lebih luas
Secara lebih luas,
terminologi euthanasia dipakai untuk perawatan yang menghindari rasa sakit
dalam penderitaan dengan resiko efek hidup diperpendek.
c. Pemakaian
paling luas
Dalam pemakaian paling
luas ini, euthanasia berarti memendekkan hidup yang tidak lagi dianggap sebagai
side effect, melainkan sebagai tindakan untuk menghilangkan penderitaan pasien.
Beberapa pengertian
tentang terminologi eutahanasia:
a. Menurut
kode etik kedokteran Indonesia, kata eutahanasia dipergunakan dalam tiga arti:
1) Berpindahnya
ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan
menyebut nama Allah di bibir.
2) Waktu
hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberinya obat
penenang.
3) Mengakhiri
penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaa atas permintaan pasien
sendiri dan keluarganya
b. Pengertian
menurut gezondheidsraad belanda
Euthanasia adalah
perbuatan yang dengan sengaja memperpendek hidup ata dengan sengaja tidak
berbuat untuk memperpanjang hidup demi kepentingan pasien oleh seorang dokter
atau bawahannya yang bertanggungjawab padanya.
c. Pengertian
euthanasia menurut pandapat van Hattum
“euthanasia adalah
sikap mempercepat proses kematian pada penderitaan-penderitaan penyakit yang
tidak dapat disembuhkan, dengan melakukan atau tidak melakukan sesuatu tindakan
medis, dengan maksud untuk membantu korban menghindarkan diri dari penderitaan
dalam menghadapi kematiannya dan untuk membantu keluarganya menghindarkan diri
melihat penderitan korban dalam menghadapi saat kematianya”.
2.
Berbagai
Bentuk Euthanasia
Franz
Magnis Suseno S.J. membedakan empat arti euthanasia, yaitu Sebagai berikut :
a. Euthanasia
murni
Adalah usaha untuk
meringankan kematian seseorang tanpa memperpendek hidupnya. Di situ termasuk
semua perawatan dan pastoral agar yang bersangkutan dapat mati dengan “baik”.
b. Euthanasia
pasif
Adalah kalau tidak
dipergunakan semua kemungkinan teknik kedokteran yang sebetulnya tersedia untuk
memperpanjang kehidupan.
c. Euthanasia
tidak langsung
Adalah usaha untuk
memperingan kematian dengan efek samping bahwa pasien barangkali meninggal
dalam waktu lebih cepat. Di sini termasuk pemberian segala macam obat
narkotika, hipnotika, dan anelgetika yang barangkali secar de facto
memperpendek kehidupan walaupun hal itu disengaja.
d. Euthanasia
aktif (Mercy Killing)
Adalah proses kematian
diringankan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung. Dalam
euthanasia aktif ini masih perlu dibedakan, apakah pasien menginginkannya,
tidak menginginkannya, atau tidak berada
dalam keadaan di mana keinginannya dapat diketahui.
Menurut
Fred Ameln bentuk-bentuk euthanasia dapat dibedakan kedalam kelompok-kelompok
sebagai berikut :
a. Euthanasia
atas permintaan pasien;
b. Euthanasia
yang dapat diminta pasien.
Selain
itu juga dapat dibedakan :
a. Euthanasia
pasif atas permintaan atau tanpa permintaan pasien;
b. Euthanasia
aktif atas permintaan atau tanpa
permintaan pasien.
Dalam
euthanasia aktif masih dapat dibedakan lagi, yaitu :
a. Euthanasia
aktif secara langsung (direct);
b. Euthanasia
aktif secara tidak langsung (indirect).
Membicarakan
bentuk-bentuk semu Euthanasia adalah sangat penting, karena kadang-kadang dalam
diskusi tentang euthanasia masih sering terjadi kekeliruan (misunderstanding),
sehingga suasana diskusi menjadi simpang siur. Di satu pihak, misalnya dalam
hal memberhentikan pengobatan (perawatan) yang sudah tidak ada gunanya lagi
(zinloos) dianggap sebagai tindakan euthanasia pasif, sedangkan di pihak lain
ada yang menganggapnya hanya sebagai bentuk semu dari euthanasia.
Disebut
bentuk semu dari euthanasiakarena mirip dengan euthanasia, tetapi sebetulnya
bukan euthanasia. Bentuk-bentuk pengakhiran hidup yang mirip dengan euthanasia
ini disebut oleh H.J.J. Leenen adalah sebagai schijngestaten van euthanasia.
Adapun yang termaksud ke dalam bentuk semu euthanasia adalah sebagai berikut :
a. Memberhentikan
pengobatan (perawatan) medis yang sudah tidak ada gunanya (zinloos)
b. Penolakan
perawatan medis oleh pasien (keluarganya)
c. Memberhentikan
pengobatan (perawatan) medis karena mati otak (brain death)
d. Pengakhiran
hidup pasien akibat persediaan peralatan medis yang terbatas (emergency)
e.
Euthanasia akibat “sikon”
3.
Euthanasia
Dalam Dunia Kedokteran
Tugas
professional dokter begitu mulia dalam pengabdiannya kepada sesama manusia dan
tanggung jawab dokter makin tambah berat akibat kemajuan-kemajuan yang dicapai
oleh ilmu kedokteran. Dengan demikian, maka setiap dokter perlu menghayati etik
kedokteran, sehingga kemulyaan profesi dokter tersebut tetap terjaga dengan
baik. Para dokter, umumnya semua pejabat dalam bidang kesehatan, harus memenuhi
segala syarat keahlian dan pengertian tentang susila jabatan. Keahlian di bidang
ilmu dan teknik baru dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya. Kalau dalam
prakteknya disertai oleh norma-norma etik dan moral. Hal tersebut diinsyafi
oleh para dokter diseluruh dunia, dan hampir tiap-tiap negara telah mempunyai
kode etik kedokterannya sendiri-sendiri. Pada umumnya kode etik tersebut
didasarkan pada sumpah Hipocrates yang dirumuskan kembali dalam pernyataan
himpunan Dokter sedunia di London bulan Okober tahun 1949 dan diperbaiki oleh
sidang ke-22 Himpunan tersebut di Sydney bulan Agustus tahun 1968[4].
Sejak
permulaan sejarah kedokteran, seluruh umat manusia mengakui serta mengetahui
akan adanya beberapa sifat fundamental yang melekat secara mutlak pada diri
seseorang dokter yang baik dan bijaksana, yaitu kemurnian niat, kesungguhan dalam
bekerja, kerendahan hati serta integritas ilmiah dan sosial yang tidak
diragukan. Oleh sebab itulah, para dokter diseluruh dunia bermaksud berdasarkan
tradisi dan disiplin kedokteran tersebut dalam suatu etik professional yang
sepanjang masa mengutamakan penderita yang minta berobat serta keselamatan dan
kepentingan penderita tersebut. Sejak permulaan sejarah kedokteran pula para
dokter berkeyakinan bahwa suatu etik kedokteran sudah sewajarnya dilandaskan
atas asas-asas etik yang mangatur hubungan
antar manusia dan umumnya. Disamping itu harus memiliki akar-akarnya
dalam filsafat masyarakat yang diterima dan dikembangkan terus dalam masyarakat
itu.
Secara
universal, kewajiban dokter tersebut telah tercantum dalam Declaration of
Genewa yang merupakan hasil musyawarah Ikatan Dokter se Dunia di Genewa pada
bulan September tahun 1948. Didalam Deklarasi tersebut antara lain dinyatakan
sebagai berikut :
“ I will
maintain the atmost respect for human life from the time of
conception, even
under threat, I will not use my medical knowledge
contrary to the
lows of humanity”.
Khusus
untuk di Indonesia, pernyataan semacam
ini secara tegas telah dicantumkan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang
mulai berlaku sejak tanggal 29 Oktober 1969, berdasarkan surat keputusan
Menteri Kesehatan RI tentang : Pernyataan berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia,
tertanggal 23 Oktober 1969. Kode Etik kedokteran Indonesia ini dibuat
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI tanggal 30 Agustus tahun 1969 Nomor
55/WSKN/1969.
Dengan
demikian, berarti di negara manapun di dunia ini seorang dokter mempunyai
kewajiban untuk “menghormati setiap
hidup insan mulai saat terjadinya pembunuhan” dalam hal ini berarti pula bahwa
bagaimana pun gawatnya sakit seorang pasien, setiap dokter tetap harus
melindungi dan mempertahankan hidup
pasien tersebut. Dalam keadaan demikian mungkin pasien itu sebenarnya sudah
tidak dapat disembuhkan lagi, atau sudah dalam keadaan sekarat berbulan-bulan lamanya.
Akan tetapi dalam hubungan ini, dokter tidak boleh melepaskan diri dari kewajiban untuk selalu melindungi hidup
manusia, sebagaiman yang diucapkan dalam sumpahnya.
Semua
perbuatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien dengan tujuan untuk
memelihara kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan sendirinya ia harus memberi
pertolongan guna mempertahankan dan memeliharan kehidupan manusia. Walaupun
kadang-kadang ia terpaksa melakukan operasi yang sangat membahayakan, akan
tetapi tindakan ini di ambil setelah di pertimbangkan secara mendalam bahwa tidak
ada jalan lain untuk menyelamatkan jiwa, supaya pasien dapat terhindar dari
ancaman maut. Sekalipun dalam operasi tersebut mengandung banyak resiko. Oleh
sebab itulah, sebelum operasi di mulai perlu adanya pernyataan persetujuan
secara tertulis dari pasien dan keluarganya[5].
B.
Pengaturan
Hukum Pidana Terhadap Euthanasia
1.
Euthanasia
Menurut Hukum Di Berbagai Negara
Sejauh
ini etanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta ditoleransi di
negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan Swiss dan dibeberapa negara
dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark.
a. Belanda
Pada
tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan
euthanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April
2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi
praktik etanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan,
diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya. Tetapi perlu ditekankan, bahwa
dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri
berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sebuah
karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam
majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998,
halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda
dimungkinkan melakukan etanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan
mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah
mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan
membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Sejak
akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk
melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman
selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi
yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana
seorang dokter yang melakukan euthanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan
dihukum.
b. Amerika
Euthanasia
agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika. Saat ini
satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit
mengizinkan pasien terminal (pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan)
mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997
melegalisasikan kemungkinan dilakukannya etanasia dengan memberlakukan
undang-undang tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act).
Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan
euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal
berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka
diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan
sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15
hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah
satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua
harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa
pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan
mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri
hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya
baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari
tuanya.
Belum
jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab
dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan undang-undang negara bagian ini.
Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan undang-undang Northern Territory di
Australia. BulanFebruari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon
selama tahun 1999. Sebuah lembaga jajak
pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang
Amerika mendukung dilakukannya euthanasia.
c. Korea
Belum
ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang etanasia di Korea,
namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi) yang di Korea dikenal
dengan "Kasus rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter yang
didakwa mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang
menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi
kemudian menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan
diberi catatan bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah.
Namun kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing
dalam arti kata etanasia aktif.
Pada
akhirnya pengadilan memutuskan bahwa pada kasus tertentu dari penghentian
penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan etanasia pasif, dapat
diperkenankan apabila pasien terminal meminta penghentian dari perawatan medis
terhadap dirinya.
d. Indonesia
Berdasarkan
hukum di Indonesia maka etanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum,
hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada
Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ”Barang siapa
menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya
12 tahun”. Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340,
345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam
perbuatan etanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara
kita memang tidak mengizinkan tindakan etanasia oleh siapa pun.
Ketua
umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek, Eutanasia
atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat
diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia.
"Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh
bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP[6].
2.
Euthanasia
Dalam Pengaturan Hukum Pidana Indonesia
Euthanasia
dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang lembut dan
nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak
tersembuhkan”. Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini
adalah mercy killing[7]. Sementara
itu menurut Kamus Kedokteran Dorland, euthanasia mengandung dua pengertian.
Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan
dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit
yang tak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan
disengaja.
Munculnya
pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi Pakar
hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan
bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan
regulasi / pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu
masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah
kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya.
secara
yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal 2 bentuk
euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu
sendiri dan euthanasia yang dilakukan dengan sengaja melakukan pembiaran
terhadap pasien/korban sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 dan
304 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan :
“Barang siapa merampas nyawa orang lain
atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”
Sementara dalam pasal 304 KUHP
dinyatakan:
“Barang siapa dengan sengaja menempatkan
atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara,padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan,perawatan
atau pemeliharaan kepada orang itu,diancam dengan pidana penjara paling lama
dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah”[8].
Dari
bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak diperbolehkan
melakukan pembunuhan terhadap orang lain, walaupun pembunuhan itu dilakukan
dengan alasan membiarkan dan atas permintaan orang itu sendiri . Sulit rasanya
membayangkan seseorang yang sampai hati
“membunuh’ atau dengan perkataan lain “merampas nyawa” orang lain apalagi yang
dikenalnya atau yang perlu ditolongkan, atas permintaan yang bersangkutan yang
tengah menderita sakit parah yang tak tersembuhkan misalnya. Pasti makin sulit
lagi, kalau ini dikaitkan lebih lanjut dengan masalah moral dan kemanusiaan.
Namun dalam masa-masa mendatang, karena sesuatu hal tidak mustahil permasalahan
merampas nyawa orang lain yang sangat dikasihani atau yang perlu untuk ditolong
atau membiarkan nyawanya dirampas maut atas permintaan yang bersangkutan,
kiranya sulit untuk dihindari
Bertolak
dari ketentuan Pasal 344 dan Pasal 304 KUHP tersebut tersimpul, bahwa
pembunuhan dengan sengaja membiarkan sengsara dan atas permintaan korban
sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks
hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang
dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak
dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan
orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana,
yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar
larangan tersebut.
Di
luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan
untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 ayat (3) KUHP yang
juga dinyatakan “Kejahatan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang
berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”.
Selain
itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal
304 dan Pasal 306 ayat (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan :
“Barang siapa dengan sengaja menempatkan
atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah”.
Dua
ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan,
bahwa dalam konteks
hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga
dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna
melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.
Sebelumnya jika kita memperhatikan pasal-pasal yang menyangkut jiwa manusia
dalam KUHP tersebut diatas, maka kitapun dapat mengetahui bagaimana sebenarnya
pembentuk undang-undang ini, pandangannya terhadap jiwa manusia itu. Secara
singkat, dari sejarah pembentukan KUHP dapat diketahui, bahwa pembentuk
undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda), juga menganggap bahwa Jiwa
manusia sebagai miliknya yang paling berharga, dibandingkan miliknya yang
paling berharga dibandingkan dengan milik manusia lainnya. Oleh sebab itu,
setiap perbuatan apapun motif dan coraknya sepanjang perbuatan tersebut
mengancam keamanan dan keselamatan jiwa manusia, hal ini dianggap sebagai suatu
kejahatan yang besar oleh negara, selalu dilindungi negara.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Semua
perbuatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien dengan tujuan untuk
memelihara kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan sendirinya ia harus memberi
pertolongan guna mempertahankan dan memeliharan kehidupan manusia.
2. Secara
singkat, dari sejarah pembentukan KUHP dapat diketahui, bahwa pembentuk
undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda), juga menganggap bahwa Jiwa
manusia sebagai miliknya yang paling berharga, dibandingkan miliknya yang
paling berharga dibandingkan dengan milik manusia lainnya.
B.
Saran
1. Diharapkan
kepada para dokter agar senantiasa menjaga nilai-nilai luhur sebagai petugas
kesehatan yang menjunjung tinggi profesionalitas berdasarkan standar yang
diatur oleh kode etik kedokteran.
2. Diharapkan
kepada para masyarakat umum agar senantiasa tidak cepat berputus asa akibat
penyakit yang diderita, karena tenaga medis akan selalu melakukan tindakan yang
terbaik guna menyembuhkan penyakit pasiennya.
DAFTAR
PUSTAKA
Aris
Wibudi, Euthanasia, ITB, Bogor, 2002.
Ari Yunanto dan Helmi, Hukum
Pidana Malpraktik Medik, C.V Andi Offset, Yogyakarta, 2010.
Djoko Prakoso dan Djaman Andhi
Nirwanto, Euthanasia Hak Azasi Manusia, Manusia Dan Hukum, Pustaka Bangsa
Press, Medan, 1984.
Moeljatno, Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2005
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir,
Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta, 1997.
Tongat, Hukum Pidana Materiil,
Djambatan , Jakarta, 2003.
Simorangkir, Euthanasia Dan
Penerapan Hukumnya Di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
(http://hukum
kes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaan-euthanasia-di-indonesia/)
diakses pada hari selasa, 24 januari 2017, pukul 10:02 wib
[1] (http://hukum
kes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaan-euthanasia-di-indonesia/)
diakses pada hari selasa, 24 januari 2017, pukul 10:02 wib
[2]
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan,
EGC, Jakarta, 1997, Hlm.13
[3] Ari Yunanto dan Helmi, Hukum
Pidana Malpraktik Medik, C.V Andi Offset, Yogyakarta, 2010, Hlm. 57
[4] Aris Wibudi, Euthanasia, ITB,
Bogor, 2002, hlm 12
[5] Djoko Prakoso dan Djaman Andhi
Nirwanto, Euthanasia Hak Azasi Manusia, Manusia Dan Hukum, Pustaka Bangsa
Press, Medan, 1984, Hlm. 8
[6] Simorangkir, Euthanasia Dan
Penerapan Hukumnya Di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, Hlm. 29
[7] Tongat, Hukum Pidana Materiil,
Djambatan , Jakarta, 2003, Hlm. 44
[8] Moeljatno, Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2005, Hlm. 115
QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
ReplyDelete-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
• BB : 2B3D83BE