Monday, March 13, 2017

“Euthanasia Ditinjau Dari Segi Medis Dan Hukum Pidana Di Indonesia”



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai mahluk individu yang juga Negara Indonesia sebagai negara berkembang tidak dapat menghindari adanya kemajuan dan perkembangan di bidang kedokteran khususnya dan bidang teknologi pada umumnya. Akibat kemajuan teknologi yang tak terbayangkan dalam menyongsong milenium baru ini, menjadi penyebab terjadinya perubahan perubahan di berbagai bidang dan struktur masyarakat baik secara cepat atau lambat. Demikian pula semakin banyak penemuan-penemuan di berbagai bidang khususnya dalam hal ini di bidang medis.
Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian.
Dengan perkembangan diagnosa suatu penyakit dapat lebih sempurna dilakukan dan pengobatan penyakitpun dapat berlangsung dengan cepat. Dengan peralatan, rasa sakit si pasien diharapkan dapat diperingan agar kehidupan seseorang dapat diperpanjang untuk jangka waktu tertentu dengan respirator. Perkembangan teknologi dibidang medis ini dengan harapan agar dokter diberi kesempatan untuk mengobati si pasien sebagai upaya bagi si pasien untuk sembuh menjadi lebih besar, namun ada kalanya menimbulkan kesulitan di kalangan dokter sendiri. Seperti penggunaan alat respirator yang dipasang untuk menolong pasien, di mana jantung pasien berdenyut namun otaknya tidak berfungsi dengan baik[1].
Selain kasus tersebut di atas banyak lagi masalah yang dihadapi dokter dalam mengobati pasien, seperti halnya pasien yang tidak mungkin lagi diharapkan sembuh atau hidup sehat karena belum ditemukan obatnya, sehingga pasien merasakan sakit yang terus menerus, dalam hal ini apakah dokter harus menghilangkan nyawa pasien atau euthanasia dengan teknik yang ada atau membiarkan pasien begitu saja atau menyuruh pulang kembali ketengah keluarganya. Menyadari hal itu kewajiban dokter adalah menghormati dan melindungi setiap insan dengan menjalankan tugasnya semata-mata hanya untuk menyembuhkan dan mengurangi penderitaan pasien dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan berdasarkan sumpah jabatan dan kode etik kedokteran[2].
Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik pada beberapa kalangan yang menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia. mengenai euthanasia (Mercy Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya sendirI sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia.  
Pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusian. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.
Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang dipakai sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah legalitas dari perbuatan euthanasia. Oleh karena itu berdasarkan uraian di atas penulis mengambil judul “Euthanasia Ditinjau Dari Segi Medis Dan Hukum Pidana Di Indonesia”.






B.     Identifikasi Masalah
1.      Bagaimanakah euthanasia di tinjau dari segi medis ?
2.      Bagaimana pengaturan hukum pidana terhadap euthanasia?

C.      Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui euthanasia ditinjau dari segi medis.
2.      Untuk mengetahui pengaturan hukum pidana terhadap euthanasia.
















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Euthanasia Di Tinjau Dari Segi Medis
1.      Pengertian Umum Tentang Euthanasia
Istilah euthanasia berasal dari kata yunani yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti indah, bagus, terhormat, atau gracefully and dignity, sedangkan thanatos berarti mati, mayat. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik (a good death). Seorang penulis romawi yang bernama seutonis, dalam bukunya yang berjudul Vitaceasarum, mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita”[3].
Meminjam istilah Philo, seorang filsuf kenamaan (50-20 SM), euthanasia merupakan mati dengan tenang dan baik. Sementara dalam analisis St. Thomas, euthanasia adalah bentuk pengakhiran hidup orang penuh sengsara secara bebas dan dengan berhenti makan atau dengan minum racun yang membinasakan. Sejak abad 19, terminologi euthanasia dipakai untuk menyatakan penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan Dokter. Pemakaian terminologi euthanasia ini mencakup tiga kategori, yaitu :

a.       Pemakaian secara sempit
Secara sempit euthanasia dipakai untuk tindakan menghindari rasa sakit dari penderitaan dalam menghadapi kematian. Dalam hal ini euthanasia berarti perawatan dokter yang bertujuan untuk menghilangkan penderitaan yang dapat dicegah sejauh perawatan  itu tidak bertentangan dengan kidah-kaidah hukum, etika, atau adat yang berlaku.
b.      Pemakaian secara lebih luas 
Secara lebih luas, terminologi euthanasia dipakai untuk perawatan yang menghindari rasa sakit dalam penderitaan dengan resiko efek hidup diperpendek.
c.       Pemakaian paling luas
Dalam pemakaian paling luas ini, euthanasia berarti memendekkan hidup yang tidak lagi dianggap sebagai side effect, melainkan sebagai tindakan untuk menghilangkan penderitaan pasien.
Beberapa pengertian tentang terminologi eutahanasia:
a.       Menurut kode etik kedokteran Indonesia, kata eutahanasia dipergunakan dalam tiga arti:
1)      Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan menyebut nama Allah di bibir.
2)      Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberinya obat penenang.
3)      Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaa atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya 
b.      Pengertian menurut gezondheidsraad belanda
Euthanasia adalah perbuatan yang dengan sengaja memperpendek hidup ata dengan sengaja tidak berbuat untuk memperpanjang hidup demi kepentingan pasien oleh seorang dokter atau bawahannya yang bertanggungjawab padanya.
c.       Pengertian euthanasia menurut pandapat van Hattum
“euthanasia adalah sikap mempercepat proses kematian pada penderitaan-penderitaan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dengan melakukan atau tidak melakukan sesuatu tindakan medis, dengan maksud untuk membantu korban menghindarkan diri dari penderitaan dalam menghadapi kematiannya dan untuk membantu keluarganya menghindarkan diri melihat penderitan korban dalam menghadapi saat kematianya”.
2.      Berbagai Bentuk Euthanasia
Franz Magnis Suseno S.J. membedakan empat arti euthanasia, yaitu Sebagai berikut :
a.       Euthanasia murni
Adalah usaha untuk meringankan kematian seseorang tanpa memperpendek hidupnya. Di situ termasuk semua perawatan dan pastoral agar yang bersangkutan dapat mati dengan  “baik”.
b.      Euthanasia pasif
Adalah kalau tidak dipergunakan semua kemungkinan teknik kedokteran yang sebetulnya tersedia untuk memperpanjang kehidupan.
c.    Euthanasia tidak langsung
Adalah usaha untuk memperingan kematian dengan efek samping bahwa pasien barangkali meninggal dalam waktu lebih cepat. Di sini termasuk pemberian segala macam obat narkotika, hipnotika, dan anelgetika yang barangkali secar de facto memperpendek kehidupan walaupun hal itu disengaja.
d.      Euthanasia aktif (Mercy Killing)
Adalah proses kematian diringankan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung. Dalam euthanasia aktif ini masih perlu dibedakan, apakah pasien menginginkannya, tidak  menginginkannya, atau tidak berada dalam keadaan di mana keinginannya dapat diketahui.
Menurut Fred Ameln bentuk-bentuk euthanasia dapat dibedakan kedalam kelompok-kelompok sebagai berikut :
a.    Euthanasia atas permintaan pasien;
b.    Euthanasia yang dapat diminta pasien.
Selain itu juga dapat dibedakan :
a.    Euthanasia pasif atas permintaan atau tanpa permintaan pasien;
b.    Euthanasia aktif atas permintaan atau  tanpa permintaan pasien.
Dalam euthanasia aktif masih dapat dibedakan lagi, yaitu :
a.       Euthanasia aktif secara langsung (direct);
b.      Euthanasia aktif secara tidak langsung (indirect).
Membicarakan bentuk-bentuk semu Euthanasia adalah sangat penting, karena kadang-kadang dalam diskusi tentang euthanasia masih sering terjadi kekeliruan (misunderstanding), sehingga suasana diskusi menjadi simpang siur. Di satu pihak, misalnya dalam hal memberhentikan pengobatan (perawatan) yang sudah tidak ada gunanya lagi (zinloos) dianggap sebagai tindakan euthanasia pasif, sedangkan di pihak lain ada yang menganggapnya hanya sebagai bentuk semu dari euthanasia.
Disebut bentuk semu dari euthanasiakarena mirip dengan euthanasia, tetapi sebetulnya bukan euthanasia. Bentuk-bentuk pengakhiran hidup yang mirip dengan euthanasia ini disebut oleh H.J.J. Leenen adalah sebagai schijngestaten van euthanasia. Adapun yang termaksud ke dalam bentuk semu euthanasia adalah sebagai berikut :
a.    Memberhentikan pengobatan (perawatan) medis yang sudah tidak ada gunanya (zinloos)
b.    Penolakan perawatan medis oleh pasien (keluarganya)
c.    Memberhentikan pengobatan (perawatan) medis karena mati otak (brain death)
d.   Pengakhiran hidup pasien akibat persediaan peralatan medis yang terbatas (emergency)
e.    Euthanasia akibat “sikon”
3.      Euthanasia Dalam Dunia Kedokteran
Tugas professional dokter begitu mulia dalam pengabdiannya kepada sesama manusia dan tanggung jawab dokter makin tambah berat akibat kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh ilmu kedokteran. Dengan demikian, maka setiap dokter perlu menghayati etik kedokteran, sehingga kemulyaan profesi dokter tersebut tetap terjaga dengan baik. Para dokter, umumnya semua pejabat dalam bidang kesehatan, harus memenuhi segala syarat keahlian dan pengertian tentang susila jabatan. Keahlian di bidang ilmu dan teknik baru dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya. Kalau dalam prakteknya disertai oleh norma-norma etik dan moral. Hal tersebut diinsyafi oleh para dokter diseluruh dunia, dan hampir tiap-tiap negara telah mempunyai kode etik kedokterannya sendiri-sendiri. Pada umumnya kode etik tersebut didasarkan pada sumpah Hipocrates yang dirumuskan kembali dalam pernyataan himpunan Dokter sedunia di London bulan Okober tahun 1949 dan diperbaiki oleh sidang ke-22 Himpunan tersebut di Sydney bulan Agustus tahun 1968[4].
Sejak permulaan sejarah kedokteran, seluruh umat manusia mengakui serta mengetahui akan adanya beberapa sifat fundamental yang melekat secara mutlak pada diri seseorang dokter yang baik dan bijaksana, yaitu kemurnian niat, kesungguhan dalam bekerja, kerendahan hati serta integritas ilmiah dan sosial yang tidak diragukan. Oleh sebab itulah, para dokter diseluruh dunia bermaksud berdasarkan tradisi dan disiplin kedokteran tersebut dalam suatu etik professional yang sepanjang masa mengutamakan penderita yang minta berobat serta keselamatan dan kepentingan penderita tersebut. Sejak permulaan sejarah kedokteran pula para dokter berkeyakinan bahwa suatu etik kedokteran sudah sewajarnya dilandaskan atas asas-asas etik yang mangatur hubungan  antar manusia dan umumnya. Disamping itu harus memiliki akar-akarnya dalam filsafat masyarakat yang diterima dan dikembangkan terus dalam masyarakat itu.
Secara universal, kewajiban dokter tersebut telah tercantum dalam Declaration of Genewa yang merupakan hasil musyawarah Ikatan Dokter se Dunia di Genewa pada bulan September tahun 1948. Didalam Deklarasi tersebut antara lain dinyatakan sebagai berikut :
“ I will maintain the atmost respect for human life from the time  of
conception, even under threat, I will not use my medical knowledge
contrary to the lows of humanity”.

Khusus untuk  di Indonesia, pernyataan semacam ini secara tegas telah dicantumkan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang mulai berlaku sejak tanggal 29 Oktober 1969, berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan RI tentang : Pernyataan berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia, tertanggal 23 Oktober 1969. Kode Etik kedokteran Indonesia ini dibuat berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI tanggal 30 Agustus tahun 1969 Nomor 55/WSKN/1969.
Dengan demikian, berarti di negara manapun di dunia ini seorang dokter mempunyai kewajiban untuk  “menghormati setiap hidup insan mulai saat terjadinya pembunuhan” dalam hal ini berarti pula bahwa bagaimana pun gawatnya sakit seorang pasien, setiap dokter tetap harus melindungi  dan mempertahankan hidup pasien tersebut. Dalam keadaan demikian mungkin pasien itu sebenarnya sudah tidak dapat disembuhkan lagi, atau sudah dalam keadaan sekarat berbulan-bulan lamanya. Akan tetapi dalam hubungan ini, dokter tidak boleh melepaskan diri  dari kewajiban untuk selalu melindungi hidup manusia, sebagaiman yang diucapkan dalam sumpahnya.
Semua perbuatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien dengan tujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan sendirinya ia harus memberi pertolongan guna mempertahankan dan memeliharan kehidupan manusia. Walaupun kadang-kadang ia terpaksa melakukan operasi yang sangat membahayakan, akan tetapi tindakan ini di ambil setelah di pertimbangkan secara mendalam bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan jiwa, supaya pasien dapat terhindar dari ancaman maut. Sekalipun dalam operasi tersebut mengandung banyak resiko. Oleh sebab itulah, sebelum operasi di mulai perlu adanya pernyataan persetujuan secara tertulis dari pasien dan keluarganya[5].




B.     Pengaturan Hukum Pidana Terhadap Euthanasia
1.      Euthanasia Menurut Hukum Di Berbagai Negara
Sejauh ini etanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta ditoleransi di negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan Swiss dan dibeberapa negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark.
a.       Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan euthanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik etanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan etanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan euthanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.
b.      Amerika
Euthanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal (pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya etanasia dengan memberlakukan undang-undang tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan undang-undang negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan undang-undang Northern Territory di Australia. BulanFebruari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.  Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya euthanasia.
c.       Korea
Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang etanasia di Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi) yang di Korea dikenal dengan "Kasus rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah. Namun kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing dalam arti kata etanasia aktif.
Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa pada kasus tertentu dari penghentian penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan etanasia pasif, dapat diperkenankan apabila pasien terminal meminta penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya.
d.      Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka etanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ”Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”. Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan etanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan etanasia oleh siapa pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek, Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP[6].
2.      Euthanasia Dalam Pengaturan Hukum Pidana Indonesia
Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan”. Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah mercy killing[7]. Sementara itu menurut Kamus Kedokteran Dorland, euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan disengaja.
Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi Pakar hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan regulasi / pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya.
secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal 2 bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri dan euthanasia yang dilakukan dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap pasien/korban sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 dan 304 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan :
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”

Sementara dalam pasal 304 KUHP dinyatakan: 

“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara,padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan,perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu,diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”[8].

Dari bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak diperbolehkan melakukan pembunuhan terhadap orang lain, walaupun pembunuhan itu dilakukan dengan alasan membiarkan dan atas permintaan orang itu sendiri . Sulit rasanya membayangkan  seseorang yang sampai hati “membunuh’ atau dengan perkataan lain “merampas nyawa” orang lain apalagi yang dikenalnya atau yang perlu ditolongkan, atas permintaan yang bersangkutan yang tengah menderita sakit parah yang tak tersembuhkan misalnya. Pasti makin sulit lagi, kalau ini dikaitkan lebih lanjut dengan masalah moral dan kemanusiaan. Namun dalam masa-masa mendatang, karena sesuatu hal tidak mustahil permasalahan merampas nyawa orang lain yang sangat dikasihani atau yang perlu untuk ditolong atau membiarkan nyawanya dirampas maut atas permintaan yang bersangkutan, kiranya sulit untuk dihindari
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 dan Pasal 304 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan dengan sengaja membiarkan sengsara dan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 ayat (3) KUHP yang juga dinyatakan “Kejahatan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”.
Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 ayat (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan :
“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.

Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan,
bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia. Sebelumnya jika kita memperhatikan pasal-pasal yang menyangkut jiwa manusia dalam KUHP tersebut diatas, maka kitapun dapat mengetahui bagaimana sebenarnya pembentuk undang-undang ini, pandangannya terhadap jiwa manusia itu. Secara singkat, dari sejarah pembentukan KUHP dapat diketahui, bahwa pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda), juga menganggap bahwa Jiwa manusia sebagai miliknya yang paling berharga, dibandingkan miliknya yang paling berharga dibandingkan dengan milik manusia lainnya. Oleh sebab itu, setiap perbuatan apapun motif dan coraknya sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan jiwa manusia, hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara, selalu dilindungi negara.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Semua perbuatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien dengan tujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan sendirinya ia harus memberi pertolongan guna mempertahankan dan memeliharan kehidupan manusia.
2.      Secara singkat, dari sejarah pembentukan KUHP dapat diketahui, bahwa pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda), juga menganggap bahwa Jiwa manusia sebagai miliknya yang paling berharga, dibandingkan miliknya yang paling berharga dibandingkan dengan milik manusia lainnya.

B.     Saran
1.      Diharapkan kepada para dokter agar senantiasa menjaga nilai-nilai luhur sebagai petugas kesehatan yang menjunjung tinggi profesionalitas berdasarkan standar yang diatur oleh kode etik kedokteran.
2.      Diharapkan kepada para masyarakat umum agar senantiasa tidak cepat berputus asa akibat penyakit yang diderita, karena tenaga medis akan selalu melakukan tindakan yang terbaik guna menyembuhkan penyakit pasiennya.


DAFTAR PUSTAKA

Aris Wibudi, Euthanasia, ITB, Bogor, 2002.
Ari Yunanto dan Helmi, Hukum Pidana Malpraktik Medik, C.V Andi Offset, Yogyakarta, 2010.
Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia Hak Azasi Manusia, Manusia Dan Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan, 1984.
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2005
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta, 1997.
Tongat, Hukum Pidana Materiil, Djambatan , Jakarta, 2003.
Simorangkir, Euthanasia Dan Penerapan Hukumnya Di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
(http://hukum kes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaan-euthanasia-di-indonesia/) diakses pada hari selasa, 24 januari 2017, pukul 10:02 wib


[1] (http://hukum kes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaan-euthanasia-di-indonesia/) diakses pada hari selasa, 24 januari 2017, pukul 10:02 wib
[2]  M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta, 1997, Hlm.13
[3] Ari Yunanto dan Helmi, Hukum Pidana Malpraktik Medik, C.V Andi Offset, Yogyakarta, 2010, Hlm. 57
[4] Aris Wibudi, Euthanasia, ITB, Bogor, 2002, hlm 12
[5] Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia Hak Azasi Manusia, Manusia Dan Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan, 1984, Hlm. 8
[6] Simorangkir, Euthanasia Dan Penerapan Hukumnya Di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, Hlm. 29
[7] Tongat, Hukum Pidana Materiil, Djambatan , Jakarta, 2003, Hlm. 44
[8] Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2005, Hlm. 115

1 comment:

  1. QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
    -KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
    Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
    • BandarQ
    • AduQ
    • Capsa
    • Domino99
    • Poker
    • Bandarpoker.
    • Sakong
    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • WA: +62 813 8217 0873
    • BB : D60E4A61
    • BB : 2B3D83BE

    ReplyDelete

Makalah Perjanjian Jual beli dalam Hukum Perdata

BAB I PENDAHULUAN A.    Latar Belakang Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan yang bersifat fisik dan non fisik. Kebutuhan itu ti...