BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Hukum
merupakan seperangkat aturan yang berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia
untuk menciptakan keadaan yang tertib dan harmonis dalam kehidupan. Salah satu
hal yang diatur oleh hukum adalah tentang kesehatan. Kesehatan merupakan suatu
hal yang penting dalam kehidupan. Kesehatan ini sangat dibutuhkan untuk
melakukan segala kegiatan dalam kehidupan. Ketika seseorang dalam kondisi yang
tidak sehat, tentu akan menghambat aktivitas yang akan dilakukannya. Hukum yang
mengatur tentang kesehatan ini dikenal dengan istilah hukum kesehatan.
Di
Indonesia, kesehatan telah diatur dalam berbagai peraturan, seperti Peraturan
Menteri Kesehatan (Permenkes) hingga Undang-undang. Hal-hal yang diatur dalam
peraturan tersebut mulai dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemberi
layanan kesehatan hingga terjadinya kesalahan dalam kegiatan medis. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Kansil yang menyatakan bahwa:
Hukum kesehatan adalah rangkaian
peraturan perundangundangan dalam bidang kesehatan yang mengatur pelayanan medik
dan sarana medik[1].
Berbicara tentang
kesalahan medis, telah banyak kasus yang terjadi. Di Indonesia sendiri,
kesalahan medis ini merupakan salah satu hal yang sangat sering terjadi
terutama di rumah sakit. Penulis sering membaca, mendengar, hingga melihat hal
tersebut melalui berbagai media seperti koran, majalah, radio, televisi, dan
internet. Salah satu kasus yang pernah populer penulis dengar adalah mengenai
kasus dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (http://health.liputan6.com/read/749395/inilah-kronologi-kasus-penangkapan-dokter-ayu
). Hal tersebut merupakan salah satu kasus yang merupakan contoh terjadinya
kesalahan medis, dan telah dibuktikan melalui catatan rekam medis yang dimiliki
korban (pasien).
Kesalahan
medis merupakan kesalahan yang terjadi ketika rencana pengobatan atau prosedur
disampaikan salah. Atau dengan kata lain bahwa kesalahan medis ini merupakan
kesalahan yang terjadi dalam pelayanan kesehatan yang merupakan kesalahan manusia
atau human error. Kesalahan medis dapat terjadi di berbagai unit layanan medis,
seperti rumah sakit, puskesmas, klinik, apotek, praktik dokter, hingga rumah
sakit bersalin yang menyangkut urusan obat, tindakan bedah, diagnosis, alat
periksa, dan laboratorium.
Dalam
pelayanan kesehatan, dikenal adanya rekam medis. Ketika seseorang melakukan
pemeriksaan kepada petugas kesehatan atau petugas medis, maka hal tersebut akan
dicatat dalam bentuk rekam medis. Rekam medis ini kurang lebih berisi tentang
data-data pasien hingga riwayat penyakit pasien. Rekam medis ini ada yang berbentuk
tertulis dan adapula yang berbentuk rekaman elektronik.
Maka
ketika terjadi kesalahan medis, rekam medis ini dapat digunakan sebagai alat
bukti untuk membuktikan atau mengungkap kesalahan medis yang terjadi. Hal ini
terjadi karena rekam medis ini berfungsi untuk memberikan kepastian hukum atas
dasar keadilan yang menjadi acuan bagi pemberi layanan kesehatan dalam memberikan
pelayanan kesehatan. Sehingga kesalahan medis yang terjadi dapat
dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji
sebagai bentuk makalah dengan judul “Peranan
Rekam Medis Dalam Mengungkap Terjadinya Kesalahan Medis”.
B.
Identifikasi
Masalah
1. Bagaimanakah
peranan rekam medis dalam mengungkap terjadinya kesalahan medis?
2. Bagaimanakah
kekuatan pembuktian rekam medis dalam mengungkap terjadinya kesalahan medis?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui peranan rekam medis dalam mengungkap terjadinya kesalahan medis.
2. Untuk
mengetahui kekuatan pembuktian rekam medis dalam mengungkap terjadinya kesalahan
medis.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Mengetahui Peranan Rekam Medis
Dalam Mengungkap Terjadinya Kesalahan Medis
1.
Pengertian
Rekam Medis
Sejak
tahun 1988, rekam medis secara resmi merupakan terjemahan dari medical health
record. Hal tersebut mulai berlaku sejak ditetapkan oleh Departemen Kesehatan
dan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Pendidikan Nasional.
Mengenai
pengertian rekam medis ini sendiri, ada banyak defenisi diantaranya adalah
sebagai berikut:
Menurut Bambang Poernomo (2000), rekam
medis adalah catatan yang mencerminkan segala informasi yang menyangkut seorang pasien yang akan dijadikan
dasar dalam menentukan tindakan lebih lanjut dalam upaya pelayanan medis maupun
tindakan medis lainnya yang diberikan kepada seorang pasien. Atau menurut
teknis medis, rekam medis adalah keterangan baik yang tertulis maupun yang
terekam tentang identitas, anamnesis, penentuan fisik laboratorium, diagnosis
segala pelayanan dan tindakan medik uang diberikan kepada pasien serta
pengobatan yang rawat inap, rawat jalan, dan pelayanan gawat darurat[2].
Dalam
penjelasan Pasal 46 ayat (1) UU Praktik Kedokteran, yang dimaksud dengan rekam
medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan
kepada pasien
Dan
pengertian rekam medis berdasarkan Permenkes Nomor 269/Menkes/ Per/III/2008,
rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas
pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah
diberikan kepada pasien.
Sedangkan
menurut Huffman EK, rekam medis adalah rekaman atau catatan mengenai siapa,
apa, mengapa, bilamana pelayanan yang diberikan kepada pasien selama masa
perawatan yang memuat pengetahuan mengenai pasien dan pelayanan yang
diperolehnya serta memuat informasi yang cukup untuk menemukenali
(mengidentifikasi) pasien, membenarkan diagnosis dan pengobatan serta merekam
hasilnya.
Meski
banyak defenisi tentang rekam medis ini, namun defenisi-defenisi yang ada memiliki
kesamaan yang mengacu pada bagaimana isi dan kegunaan dari rekam medis
tersebut. Hal ini tergambar jelas dari beberapa defenisi yang penulis paparkan
di atas.
2.
Isi
Rekam Medis
Isi
rekam medis diatur dalam Pasal 3 Permenkes RI Nomor 269/ Menkes/ Per/ III/ 2008
Tentang Rekam Medis, dan dikatakan masing-masing pada:
Ayat (1):
Isi rekam medis untuk pasien rawat jalan
pada sarana pelayanan kesehatan sekurang-kurangnya memuat:
a)
Identitas
pasien;
b)
Tanggal
dan waktu;
c)
Hasil
anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;
d)
Hasil
pemeriksaan fisik dan penunjang medik;
e)
Diagnosis;
f)
Rencana
penatalaksanaan;
g)
Pengobatan
dan/atau tindakan;
h)
Pelayanan
lain yang telah diberikan kepada pasien;
i)
Untuk
pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik; dan
j)
Persetujuan tindakan bila diperlukan.
Ayat (2):
Isi rekam medis
untuk pasien rawat inap dan perawatan satu hari sekurang-kurangnya memuat:
a)
Identitas
pasien;
b)
Tanggal
dan waktu;
c)
Hasil
anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;
d)
Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;
e)
Diagnosis;
f)
Rencana penatalaksanaan;
g)
Pengobatan
dan/atau tindakan;
h)
Persetujuan tindakan bila diperlukan;
i)
Catatan
observasi klinis dan hasil pengobatan;
j)
Ringkasan pulang (discharge summary);
k)
Nama dan tanda tangan dokter atau tenaga
kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan;
l)
Pelayanan lain yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan tertentu; dan
m)
Untuk
pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik.
Ayat (3):
Isi rekam medis untuk pasien gawat
darurat, sekurangkurangnya memuat:
a)
Identitas
pasien;
b)
Kondisi
saat pasien tiba di sarana pelayanan kesehatan;
c)
Identitas pengantar pasien;
d)
Tanggal dan waktu;
e)
Hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan
dan riwayat penyakit;
f)
Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;
g)
Diagnosis;
h)
Pengobatan dan/atau tindakan;
i)
Ringkasan kondisi pasien sebelum meninggalkan
pelayan unit gawat darurat dan rencana tindak lanjut;
j)
Nama
dan tanda tangan dokter, dokter gigi, atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan
pelayanan kesehatan;
k)
Sarana transportasi yang digunakan bagi pasien
yang akan dipindahkan ke sarana pelayanan kesehatan lain; dan
l)
Pelayanan lain yang telah diberikan kepada
pasien.
3.
Tujuan
Dibuatnya Rekam Medis
Tujuan
dibuatnya Rekam Medis adalah untuk menunjang tercapainya tertib administrasi dalam
rangka upaya peningkatan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Tanpa dukungan
suatu sistem pengelolaan rekam medis
baik dan benar tertib administrasi di rumah sakit tidak akan berhasil
sebagaimana yang diharapkan.
Sedangkan
tertib administrasi merupakan salah satu faktor yang menentukan upaya pelayanan
kesehatan di rumah sakit. Pembuatan rekam medis di rumah sakit bertujuan untuk mendapatkan
catatan atau dokumen yang akurat dari pasien, mengenai kehidupan dan riwayat
kesehatan, riwayat penyakit dimasa lalu dan sekarang, juga pengobatan yang
telah diberikan sebagai upaya meningkatkan pelayanan kesehatan. Rekam medis
dibuat untuk tertib
administrasi di rumah sakit yang merupakan salah satu faktor penentu dalam
rangka upaya peningkatan pelayanan kesehatan[3].
4.
Pertanggungjawaban
Terhadap Rekam Medis
Rekam
medis bersifat rahasia. Oleh karena itu, untuk melindungi kerahasiaannya maka
dibuat ketentuan bahwa hanya petugas rekam medis yang diperbolehkan untuk
memasuki ruangan penyimpanan rekam
medis. Disamping itu, hanya badan-badan atau orang-orang yang ditentukan dalam
Undang-Undang yang dapat mengutip sebagian atau seluruh isi rekam medis. Serta perawat
pasien bertanggung jawab untuk menjaga kerahasiaan isi rekam medis pasien
selama pasien dirawat[4].
Rumah
sakit memiliki tanggung jawab untuk melindungi informasi yang ada di dalam rekam
medis terhadap kemungkinan hilangnya keterangan ataupun memasukkan data yang
ada di dalam rekam medis atau dipergunakan oleh orang yang semestinya tidak
diberi izin. Adapun tanggung jawab itu dibebankan kepada[5]:
a. Tanggung
jawab dokter yang merawat Tanggung jawab utama akan kelengkapan rekam medis
terletak pada dokter yang merawat. Dia mengemban tanggung jawab terakhir akan
kelengkapan dan kebenaran isi rekam medis.
b. Tanggung
jawab petugas rekam medis Petugas rekam medis, membantu dokter yang merawat
dalam mempelajari kembali rekam medis. Analisa dari kelengkapan isi rekam medis
dimaksudkan untuk mencari hal-hal yang kurang dan masih diragukan.Dalam rangka
membantu dokter dalam penganalisaan kembali dari rekam medis, personil rekam
medis harus melakukan analisa kualitatif dan analisa kuantitatif.
c. Tanggung
jawab pimpinan rumah sakit Pimpinan rumah sakit bertanggung jawab menyediakan
fasilitas unit rekam medis yang meliputi ruang, peralatan, dan tenaga yang
memadai. Dengan demikian tenaga di bagian rekam medis dapat bekerja secara
efektif memeriksa kembali dan memuat indeks, penyimpanan dari semua sistem medis
dalam waktu singkat.
d. Tanggung
jawab mahasiswa praktik Dalam kegiatan praktik kerja lapangan (PKL) diwajibkan
semua mahasiswa baik itu dari fakultas kedokteran, keperwatan, kebidanan, rekam
medis dan informasi kesehatan, serta mahasiswa kesehatan lainnya, diwajibkan
untuk selalu bertanggung jawab dan menjaga kerahasiaan akan isi dokumen rekam
medis milik pasien di rumah sakit tersebut. Untuk menjaga kerahasiaan tersebut,
maka setiap mahasiswa perekam medis wajib berjanji untuk menjunjung tinggi kode
etik profesi dalam menjaga rahasia informasi medis.
5.
Rekam
Medis Dalam Peranannya Sebagai Alat Bukti Terhadap Tindakan Pemberian Layanan
Kesehatan
Pada
dasarnya rekam medis bukanlah merupakan sebuah layanan kesehatan tetapi
merupakan suatu bukti pelayanan yang diberikan oleh pemberi layanan kesehatan
kepada pasien. Sebelum membahas lebih jauh tentang rekam medis, maka perlu
dipahami terlebih dahulu siapa saja yang terkait dengan rekam medis tersebut.
Pada
dasarnya yang orang-orang yang terkait dengan rekam medis terdiri atas pasien,
dokter dan dokter gigi, serta tenaga kesehatan. Dalam Permenkes RI Nomor
269/Menkes/Per/III/2008 terdapat defenisi dari ketiga hal tersebut. Dalam Pasal
1 ayat (5) pasien didefinisikan sebagai setiap orang yang melakukan konsultasi masalah
kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara
langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi. Dalam Pasal 1 ayat
(2) dokter dan dokter gigi didefenisikan
sebagai dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis
lulusan pendidikan kedokteran atau gigi baik di dalam maupun di luar negeri
yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Serta Pasal 1 ayat (4) tenaga kesehatan tertentu dapat
didefenisikan sebagai tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan
secara langsung kepada pasien selain dokter dan dokter gigi.
Pada
awal perkembangan dunia kedokteran di Indonesia, rekam medis memang tidak
begitu diperhatikan. Pencatatan data medis hanya menggunakan kartu pasien yang
disebut dengan istilah “status”. Hal ini disebabkan karena dahulu hal ini tidak
begitu penting karena belum menciptakan persoalan. Namun seiring berkembangnya
zaman, masyarakat mulai menyadari pentingnya rekam medis. Bahkan yang dahulunya
hampir tidak ada atau bahkan tidak ada gugatan terhadap pemberi layanan kesehatan,
sekarang menjadi sudah banyak gugatan atas pasien terhadap pemberi layanan
kesehatan. Termasuk gugatan dengan menggunakan rekam medis sebagai alat bukti.
Sebenarnya
pemberian layanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter dan/atau dokter gigi
terhadap pasien memiliki standar. Seperti yang telah penulis kemukakan sebelumnya
bahwa standar tersebut dikenal dengan istilah standar profesi. Jadi tindakan
yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien sebenarnya harus sesuai dengan
standar profesi tersebut. Jadi tindakan dokter terhadap pasien tersebut selain dipertanggungjawabkan
kepada pasien, juga dipertanggungjawabkan kepada Majelis Kode Etik Kedokteran
Indonesia.
Untuk
rekam medis secara tertulis sudah dijelaskan dibagin pengertian rekam medis,
dan untuk Rekam medis elektronik/ rekam kesehatan elektronik adalah suatu
kegiatan mengkomputerisasikan tentang isi rekam kesehatan (rekam medis) mulai
dari (mengumpulkan, mengolah, menganalisis dan mempresentasikan data) yang
berhubungan dengan kegiatan pelayanan kesehatan. Rekam medis elektronik ini
tentu saja sangat berperan penting dalam memudahkan pengobatan pasien yang
berada di tempat yang berbeda dengan rekam medis miliknya. Sebagai contoh ketika
seorang pasien sedang berada di kota A, akan tetapi rekam medis miliknya berada
di kota B, sementara ia membutuhkan rekam medis tersebut untuk melakukan pengobatan
di kota A, maka pasien tersebut dapat meminta pemegang rekam medis miliknya
(pemberi layanan kesehatan, seperti dokter) untuk mengirimkannya melalui media
elektronik. Berkaitan dengan hal tersebut, memang pasien memiliki hak untuk
mengakses atau melihat informasi kesehatan pribadinya.
Jadi
jelas bahwa rekam medis merupakan hal yang sangat penting dalam pelayanan
medis. Rekam medis dapat menjadi panduan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
Disamping itu, rekam medis juga dapat menjadi dokumen medis jika terjadi
konflik hukum baik di pengadilan profesi maupun di pengadilan negeri. Hal ini
sesuai dengan apa yang telah penulis utarakan sebelumnya bahwa berdasarkan Pasal
13 ayat (1) butir (b) Permenkes RI Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 yang menyatakan
bahwa pemanfaatan rekam medis dapat dipakai sebagai alat bukti dalam proses
penegakan hukum, disiplin kedokteran dan kedokteran gigi dan penegakan etika kedokteran
dan etika kedokteran gigi. Dengan demikian, bagi pemberi
layanan kesehatan rekam
medis dapat menjadi alat pembelaan dan keterangan alibi yang tertulis terhadap
adanya tugas profesi yang dijalankan dengan baik, tidak ada kelalaian tugas
serta sesuai dengan standar profesi yang
telah mendapat persetujuan pasien atau keluarganya. Disamping itu bagi pasien
sendiri, berkas rekam medis dapat digunakan pasien atau keluarganya atas hukum
sebagai dasar untuk melakukan gugatan hukum atau penuntutan perkara di pengadilan
dengan tata cara hukum yang berlaku.
B. Kekuatan Pembuktian Rekam Medis
Dalam Mengungkap Terjadinya Kesalahan Medis
1.
Pembuktian
Terhadap Kesalahan Medis
Pembuktian
merupakan hal yang sangat penting dalam hukum acara pidana. Sebab dari hasil
pembuktian inilah dapat diketahui benar atau tidaknya seseorang telah melakukan
tindak pidana. Untuk membuktikan tentang terjadinya kesalahan medis bukanlah
perkara yang mudah karena ada banyak kendala yang mungkin timbul. Seperti yang
berhak menentukan terjadinya kesalahan medis adalah Majelis Kehormatan Disiplin
Kehormatan Indonesia. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri
Kesehatan No. 2052/MENKES/PER/X/2011 Tentang Izin Praktek dan Pelaksanaan Praktek
kedokteran yang menyatakan bahwa Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan
yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran
dan kedokteran gigi dan menetapkan sanksi. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan
adanya penentuan dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, untuk
menetapkan bahwa seseorang (dokter) melakukan kesalahan medis. Apalagi hal ini
diperlukan mengingat aparat penegak hukum terutama hakim tidak memiliki spesialisasi
dalam bidang medis. Sehingga untuk menjaga asas praduga tak bersalah maka hal
tersebut memang dibutuhkan.
Dalam
dunia medis, rekam medis merupakan salah satu alat bukti yang dapat digunakan
dalam sidang di pengadilan. Hal ini sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) butir (b)
Permenkes Nomor 269/Menkes/ Per/III/2008 yang menyatakan bahwa pemanfaatan
rekam medis dapat dipakai sebagai alat bukti dalam proses penegakan hukum,
disiplin kedokteran dan kedokteran gigi dan penegakan etika kedokteran dan
etika kedokteran gigi.
2.
Teori-Teori
Pembuktian
Dalam sejarah perkembangan
hukum acara pidana, telah muncul beberapa sistem atau teori pembuktian. Sistem
atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat (negara). Sistem
atau teori pembuktian tersebut yaitu[6]:
1) Conviction
Intime
Ajaran sistem
pembuktian ini semata-mata disandarkan pada keyakinan hakim belaka dan tidak
terikat pada aturanaturan. Contoh sistem ini
digunakan dalam sistem peradilan juri, seperti Amerika Serikat.
2) Conviction
Raisonee
Ajaran sistem pembuktian
ini semata-mata disandarkan atas keyakinan dengan pertimbangan akal sehat
(pikiran) dan hakim tidak terikat pada alat bukti yang ditetapkan dalam Undang-Undang.
Hakim dapat menggunakan alat bukti diluar Undang-Undang.
3) Positive
Wettelijk Sistem
Ajaran sistem pembuktian
ini semata-mata disandarkan pada alat bukti yang ditetapkan oleh Undang-Undang
dalam menentukan apakah terdakwa bersalah atau tidak, tanpa adanya keyakinan
hakim.
4) Negative
Wettelijk Sistem
Ajaran sistem
pembuktian ini didasarkan pada alat bukti yang ditetapkan oleh Undang-Undang
disertai dengan adanya keyakinan hakim. Sistem pembuktian ini dianut oleh
Indonesia, sebagaimana dalam Pasal 183 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
3.
Kekuatan
Rekam Medis Sebagai Alat Bukti Terhadap Kesalahan Pemberian Layanan Kesehatan
Dikaitkan
dengan pertanggungjawaban pidana, pemeriksaan perkara pidana atau yang dikenal
dengan istilah pembuktian yang dilakukan
dalam proses persidangan, selalu bertujuan mencari suatu kebenaran yang materil
atau kebenaran yang sesungguhnya. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 183 KUHAP
mengisyaratkan bahwa untuk menyatakan bahwa seseorang dikatakan bersalah yaitu
ketika telah memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 184 KUHAP yang saling bersesuaian ditambah dengan keyakinan hakim. Hal
ini mengisyaratkan bahwa pembuktian di persidangan tidak cukup hanya dengan
bukti-bukti surat seperti dalam pemeriksaan perkara perdata, dimana yang hanya
diperlukan berupa pembuktian formal.
Dalam
hal perkara pidana, terutama untuk membuktikan kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan oleh pemberi layanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan
terhadap pasien yang mengakibatkan pasien menderita luka ringan atau luka
berat, atau bahkan meninggal dunia, maka untuk kepentingan hukum dan
perlindungan profesi dokter, sebagai pembelaan dirinya dokter yang bersangkutan
dapat mengajukan medical record untuk dijadikan sebagai alat bukti dalam pemeriksaan
persidangan.
Dengan
menggunakan rekam medis tersebut, hakim dapat mengetahui upayaupaya apa saja
yang telah dilakukan oleh dokter atau pemberi layanan kesehatan atau terapi apa
yang telah dilakukan oleh pemberi layanan kesehatan terhadap pasiennya, apakah
tindakan yang dilakukannya itu telah sesuai dengan standar profesi atau tidak,
sehingga dengan demikian hakim dapat menentukan apakah perbuatan yang dilakukan
oleh pemberi layanan kesehatan tersebut dilakukan dengan sengaja atau tidak.
Namun perlu ditekankan bahwa bukanlah bidang kesehatan yang menjadi kompetensi
seorang hakim.
Oleh
karena itu, dibutuhkan keterangan dari seorang ahli yang dari bidang
kesehatan untuk menunjang rekam medis
sebagai alat bukti tadi. Lagipula sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan
bahwa minimal 2 (dua) alat bukti yang saling bersesuaian. Jadi jika hanya
berupa rekam medis saja, itu tidaklah cukup untuk dijadikan sebagai alat bukti.
Dari keterangan yang diberikan oleh saksi ahli tersebut, hakim dapat memperoleh
gambaran apakah tindakan yang dilakukan oleh pemberi layanan kesehatan tersebut
sudah sesuai dengan standar profesi atau tidak. Hal ini penting mengingat jangan
sampai terjadi pertentangan penafsiran antara hakim dengan dokter (KODEKI)
mengenai terjadinya kesalahan atau kelalaian terkhusus kepada masalah
malpraktik medis.
Berkaitan
dengan kesaksian ahli tersebut, sebagaimana yang telah penulis kemukakan
sebelumnya bahwa yang berhak menentukan adanya kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yaitu Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri
Kesehatan No. 2052/MENKES/PER/X/2011 Tentang Izin Praktek dan Pelaksanaan Praktek
kedokteran. Berdasarkan peraturan tersebut, maka keterangan dari lembaga tersebut
sangat dibutuhkan untuk menyatakan bersalahnya seorang dokter atau dokter gigi.
Memandang pasal tersebut, tampak bahwa seolah-olah keterangan dari lembaga Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah mutlak adanya dalam pembuktian
ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi. Keterangan dari lembaga tersebut tidak mutlak adanya dalam pembuktian
di pengadilan. Keterangan dari seorang ahli tidak mesti berasal dari lembaga tersebut.
Akan tetapi memang akan lebih baik bila berasal dari lembaga tersebut. Disamping
itu, seorang hakim akan selalu berpedoman pada 2 (dua) alat bukti yang saling
bersesuaian seperti yang diisyaratkan pada Pasal 183 KUHAP. Jadi walaupun
keterangan ahli tersebut ada dalam persidangan, akan tetapi tidak sesuai dengan
alat bukti yang apapun yang lain, maka keterangan tersebut bisa di
kesampingkan. Jadi pada dasarnya untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan
yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi sama saja dalam pembuktian perkara
lainnya yang memerlukan minimal 2 (dua) alat bukti yang saling bersesuaian
ditambah dengan keyakinan hakim. Namun perlu juga diperhatikan bahwa keterangan
yang diberikan di persidangan merupakan alat bukti yang kedudukannya paling
tinggi.
Oleh
karena itu, keterangan ahli yang diberikan di persidangan memiliki kedudukan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan bukti berupa keterangan tertulis seperti
rekam medis. Akan tetapi walaupun kedudukan rekam medis ini dibawah keterangan dari
saksi atau ahli yang diberikan di persidangan, namun rekam medis ini menjadi
salah satu acuan bagi ahli untuk memberikan keterangan. Karena dari rekam medis
inilah ahli tersebut dapat mengetahui tindakan apa saja yang telah diberikan
kepada pasien.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Berdasarkan
Permenkes Nomor 269/Menkes/Per/III/2008, rekam medis adalah berkas yang
berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Rekam medis merupakan hal yang sangat penting dalam pelayanan medis. Rekam medis
dapat menjadi panduan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
2. Rekam
medis memiliki nilai hukum karena isinya menyangkut masalah adanya jaminan
kepastian hukum atas dasar keadilan dalam rangka usaha menegakkan hukum serta
penyediaan bahan tanda bukti untuk menegakkan keadilan. Oleh karena itu, rekam
medis juga dapat menjadi dokumen medis jika terjadi konflik hukum baik di
pengadilan profesi maupun di pengadilan negeri. Dalam hal pembuktian tentang
terjadinya kesalahan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, rekam medis
memiliki peran baik bagi tenaga kesehatan maupun pasien. Bagi pemberi layanan kesehatan
rekam medis dapat menjadi alat pembelaan dan keterangan alibi yang tertulis
terhadap adanya tugas profesi yang dijalankan dengan baik, tidak ada kelalaian
tugas serta sesuai dengan standar profesi yang telah mendapat persetujuan
pasien atau keluarganya. Sedangkan bagi pasien sendiri, berkas rekam medis
dapat digunakan pasien atau keluarganya atas hukum sebagai dasar untuk
melakukan gugatan hukum atau penuntutan perkara di pengadilan dengan tata cara
hukum yang berlaku.
B.
Saran
1. Sebaiknya
ada persamaan persepsi tentang tolak ukur kesalahan medis antara dokter (KODEKI)
dengan aparat penegak hukum khususnya hakim. Jangansampai terjadi pertentangan
dimana hakim menganggap telah terjadi kesalahan medis sedangkan bagi dokter,
hal tersebut telah dilakukan sesuai dengan prosedur, karena mereka berpedoman
pada kode etik profesi. Oleh karena itu, dalam hal pembuktian di persidangan,
sebaiknya hakim selalu memperhatikan keterangan dari ahli dan sebaiknya ahli
tersebut berasal dari Lembaga Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
2. Terkait
dengan rekam medis, permasalahan yang sering timbul yaitu bahwa seringkali
tenaga kesehatan mengabaikan pencatatan rekam medis tersebut, padahal
pencatatan rekam medis tersebut wajib adanya. Adapula yang hanya sekedar
melakukan pencatatan atau tidak lengkap atau dengan kata lain hanya secara
asal-asalan. Padahal berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Permenkes RI Nomor
269/Menkes/Per/III/2008 telah menyatakan bahwa rekam medis harus dibuat secara
tertulis, lengkap dan jelas atau secara elektronik.
DAFTAR
PUSTAKA
Andi
Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,
Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter,
Rineke Cipta, Jakarta, 2005.
Ery Rustiyanto, Etika Profesi Perekam Medis & Informasi
Kesehatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012.
Hendrik,
Etika Hukum Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2014.
[1] Hendrik, Etika Hukum Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2014,
Hlm. 24.
[2] Hendrik, Etika Hukum Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2014,
Hlm.82.
[3] Ery Rustiyanto, Etika Profesi Perekam Medis & Informasi
Kesehatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012, hlm. 7
[4] Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter,
Rineke Cipta, Jakarta, 2005, Hlm. 29
[5] Idem, hlm. 30
[6] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 278
No comments:
Post a Comment