BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan yang bersifat fisik dan non fisik. Kebutuhan itu tidak pernah dapat dihentikan selama hidup manusia. Untuk mencapai kebutuhan itu, satu sama lain saling bergantung. Manusia sebagai makhluk sosial tidak mungkin dapat hidup seorang diri. Manusia pasti memerlukan kawan atau orang lain. Oleh karena itu, manusia perlu saling hormat menghormati, tolong menolong dan saling membantu dan tidak boleh saling menghina, menzalimi, dan merugikan orang lain.
Dalam upaya menanamkan kepekaan untuk saling tolong menolong, kita dapat membiasakan diri dengan menginfakkan atau memberikan sebagian rezeki yang kita peroleh meskipun sedikit, seperti memberikan santunan kepada fakir miskin, orang tua dan jompo, mengangkat anak asuh, memberi bantuan kepada orang yang sedang menuntut ilmu, membangun sarana umum (jalan), serta menjadi makhluk sosial yang tidak lepas dari kita memerlukan orang lain, untuk memenuhi kebutuhan hidup kita sebagai mahluk sosial, dalam hal ini tidak di pungkiri manusia membutuhkan manusia lain termasuk dalam jual beli.
Peristiwa jual beli merupakan bagian dari Hukum Perdata yang apabila terjadi suatu perkara merupakan hal yang dapat dituntut atau diajukan tuntutannya di depan pengadilan. Faktanya; Peristiwa jual beli kerap kali kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari namun pada umumnya kita tidak benar-benar menyadari bahwa apa yang kita lakukan adalah suatu perbuatan hukum yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum apabila terjadi kecurangan atau salah satu pihak mengingkari adanya perjanjian tersebut. Jadi apapun yang kita lakukan dalam suatu jual beli dapat di tuntuk ke muka hukum apabila ada sebuah kecurangan didalamnya.
B. Identifikasi Masalah
1. Apakah pengertian dari jual beli?
2. Bagaimana asas-asas dan syarat-syarat sah dari sebuah perjanjian?
3. Bagaimana subyek dan objek dari perjanjian jual beli?
4. Bagaimana hak dan kewajiban para pihak dalam Perjanjian Jual Beli?
5. Sebutkan Bentuk-bentuk dari Perjanjian Jual Beli?
6. Apa saja resiko dalam perjanjian jual beli?
7. Bagaimana prinsip dari Jual beli dalam E-Comerce?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian jual beli.
2. Untuk mengetahui asa-asas dan syarat-syarat sah dari sebuah perjanjian.
3. Untuk mengetahui subyek dan obyek dari perjanjian jual beli.
4. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli.
5. Untuk mengetahui bentuk-bentuk dari perjanjian jual beli.
6. Untuk mengetahui resiko dalam perjanjian jual beli.
7. Untuk mengetahui prinsip dari jual beli E-Comerce.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jual Beli
Perjanjian jual beli diatur dalam pasal 1457-1540 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Menurut pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang/benda, dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga. Dari pengertian yang diberikan pasal 1457 diatas, persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu :
1. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.
2. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada
penjual.
Menurut Salim H.S., S.H.,M.S., Perjanjian jual beli adalah Suatu Perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pihak pembeli . Di dalam perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan berhak menerima objek tersebut . Unsur yang terkandung dalam definisi tersebut adalah :
1. Adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli.
2. Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga.
3. Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli.
Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda yang menjadi objek jual beli. Suatu perjanjian jual beli yang sah lahir apabila kedua belah pihak telah setuju tentang harga dan barang. Sifat konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi “ jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang ini belum diserahkan maupun harganya belum dibayar ”.
Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual beli tetap tidak terjadi karena tidak terjadi kesepakatan. Akan tetapi, jika para pihak telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, klausul-klausul yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan tentang jual beli yang ada dalam perundang-undangan (BW) atau biasa disebut unsur naturalia .
Walaupun telah terjadi persesuaian antara kehendak dan pernyataan, namun belum tentu barang itu menjadi milik pembeli, karena harus diikuti proses penyerahan (levering) benda yang tergantung kepada jenis bendanya yaitu :
1. Benda Bergerak
Penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata dan kunci atas benda tersebut.
2. Piutang atas nama dan benda tak bertubuh
Penyerahan akan piutang atas nama dan benda tak bertubuh lainnya dilakukan dengan sebuah akta otentik atau akta di bawah tangan.
3. Benda tidak bergerak
Untuk benda tidak bergerak, penyerahannya dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan, di Kantor Penyimpan Hipotek.
B. Asas-asas dan syarat sah perjanjian
Asas-asas yang terdapat dalam suatu perjanjian umumnya terdapat dalam perjanjian jual beli. Dalam hukum perjanjian ada beberapa asas, namun secara umum asas perjanjian ada lima yaitu :
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas Kebebasan Berkontrak dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Asas Kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang paling penting di dalam perjanjian karena di dalam asas ini tampak adanya ungkapan hak asasi manusia dalam membuat suatu perjanjian serta memberi peluang bagi perkembangan hukum perjanjian.
2. Asas Konsensualitas
Asas Konsensualisme Asas konsensualisme dapat dilihat dalampasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu syarat adanya suatu perjanjianadalah adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Asaskonsensualisme mengandung pengertian bahwa suatu perjanjian padaumumnya tidak diadakan secara formal melainkan cukup dengankesepakatan antara kedua belah pihak saja. Kesepakatan merupakanpersesuaian antara kehendak dan pernyataan dari kedua belah pihak.
3. Asas mengikatnya suatu perjanjian
Asas ini terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dimana suatu perjanjian dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pembuatnya. Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.
4. Asas iktikad baik (Goede Trouw)
Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata). Iktikad baik ada dua yaitu :
a. Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Contoh, Si A melakukan perjanjian dengan si B membangun rumah. Si A ingin memakai keramik cap gajah namun di pasaran habis maka diganti cap semut oleh si B.
b. Bersifat subjektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang. Contoh, si A ingin membeli motor, kemudian datanglah si B (penampilan preman) yang mau menjual motor tanpa surat-surat dengan harga sangat murah. Si A tidak mau membeli karena takut bukan barang halal atau barang tidak legal.
5. Asas Kepribadian
Asas Kepribadian Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri. Pengecualiannya terdapat dalam pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang janji untuk pihak ketiga. Syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang terdapat dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan syarat sahnya perjanjian adalah :
a. Kesepakatan para pihak
Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya suatu kesepakatan atau konsensus pada para pihak. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara para pihak dalam perjanjian. Jadi dalam hal ini tidak boleh adanya unsur pemaksaan kehendak dari salah satu pihak pada pihak lainnya. Sepakat juga dinamakan suatu perizinan, terjadi oleh karena kedua belah pihak sama sama setuju mengenai hal-hal yang pokok dari suatu perjanjian yang diadakan.
b. Cakap untuk membuat suatuperjanjian
Cakap artinya adalah kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang dalam hal ini adalah membuat suatu perjanjian. Perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum. Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah berumur 21 tahun sesuai dengan pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pasal 1330 disebutkan bahwa orang yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah :
1) Orang yang belum dewasa
2) Orang yang dibawah pengampuan
3) Seorang istri.
Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.
c. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu disebut juga dengan objek perjanjian. Objek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak yang dapat berupa barang maupun jasa namun juga dapat berupa tidak berbuat sesuatu. Objek Perjanjian juga biasa disebut dengan Prestasi. Prestasi terdiri atas :
1) memberikan sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang.
2) berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membangun rumah, melukis suatu lukisan yang dipesan.
3) tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu bangunan, perjanjian untuk tidak menggunakan merek dagang tertentu.
d. Suatu sebab yang halal
Di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum perdata tidak dijelaskan pengertian sebab yang halal.Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena berkaitan dengan subjek perjanjian dan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena berkaitan dengan objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan syarat kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat diminta pembatalannya. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan ijinnya secara tidak bebas.
Sedangkan apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka akibatnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum artinya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sama sekali sehingga para pihak tidak dapat menuntut apapun apabila terjadi masalah di kemudian hari.
C. Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli
1. Subjek dari suatu perjanjian
Perjanjian jual beli adalah merupakan perbuatan hukum. Subjek dari perbuatan hukum adalah Subjek Hukum. Subjek Hukum terdiri dari manusia dan badan hukum. Oleh sebab itu, pada dasarnya semua orang atau badan hukum dapat menjadi subjek dalam perjanjian jual beli yaitu sebagai penjual dan pembeli, dengan syarat yang bersangkutan telah dewasa dan atau sudah menikah. Namun secara yuridis ada beberapa orang yang tidak diperkenankan untuk melakukan perjanjian jual beli, sebagaimana dikemukakan berikut ini:
a. Jual beli Suami istri
Pertimbangan hukum tidak diperkenankannya jual beli antara suami istri adalah karena sejak terjadinya perkawinan, maka sejak saat itulah terjadi pencampuran harta, yang disebut harta bersama kecuali ada perjanjian kawin. Namun ketentuan tersebut ada pengecualiannya yaitu:
1) Jika seorang suami atau istri menyerahkan benda-benda kepada isteri atau suaminya, dari siapa ia oleh Pengadilan telah dipisahkan untuk memenuhi apa yang menjadi hak suami atau istri menurut hukum.
2) Jika penyerahan dilakukan oleh seorang suami kepada isterinya, juga dari siapa ia dipisahkan berdasarkan pada suatu alasan yang sah, misalnya mengembalikan benda-benda si istri yang telah dijual atau uang yang menjadi kepunyaan istri, jika benda itu dikecualikan dari persatuan.
3) Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi sejumlah uang yang ia telah janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan.
b. Jual beli oleh para Hakim, Jaksa, Advokat, Pengacara, Juru Sita dan Notaris.
Para Pejabat ini tidak diperkenankan melakukan jual beli hanya terbatas pada benda-benda atau barang dalam sengketa.Apabila hal itu tetap dilakukan, maka jual beli itu dapat dibatalkan, serta dibebankan untuk penggantian biaya, rugi dan bunga.
c. Pegawai yang memangku jabatan umum.
Yang dimaksud dalam hal ini adalah membeli untuk kepentingan sendiri terhadap barang yang dilelang.
2. Obyek dari jual beli
Objek dalam jual beli adalah semua benda bergerak dan benda tidak bergerak, baik menurut tumpukan, berat, ukuran, dan timbangannya. Sedangkan yang tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan adalah :
a. Benda atau barang orang lain
b. Barang yang tidak diperkenankan oleh undang-undang seperti obat terlarang.
c. Bertentangan dengan ketertiban, dan
d. Kesusilaan yang baik
Pasal 1457 Kitab Undang-Undang hukum Perdata memakai istilah zaak untuk menentukan apa yang dapat menjadi objek jual beli. Menurut pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, zaak adalah barang atau hak yang dapat dimiliki.Hal tersebut berarti bahwa yang dapat dijual dan dibeli tidak hanya barang yang dimiliki, melainkan juga suatu hak atas suatu barang yang bukan hak milik.
D. Hak dan Kewajiban para pihak dalam Perjanjian Jual Beli
Hak dari Penjual menerima harga barang yang telah dijualnya dari pihak pembeli sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak.
1. Hak dan Kewajiban Penjual
a. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal tiga jenis benda yaitu benda bergerak, benda tidak bergerak dan benda tidak bertubuh maka penyerahan hak miliknya juga ada tiga macam yang berlaku untuk masing-masing barang tersebut yaitu :
1) Penyerahan Benda Bergerak Mengenai Penyerahan benda bergerak terdapat dalam pasal 612 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada.
2) Penyerahan Benda Tidak Bergerak Mengenai Penyerahan benda tidak bergerak diatur dalam Pasal 616-620 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa penyerahan barang tidak bergerak dilakukan dengan balik nama. Untuk tanah dilakukan dengan Akta PPAT sedangkan yang lain dilakukan dengan akta notaris.
3) Penyerahan Benda Tidak Bertubuh Diatur dalam pasal 613 KUH. Perdata yang menyebutkan penyerahan akan piutang atas nama dilakukan dengan akta notaris atau akta dibawah tangan yang harus diberitahukan kepada dibitur secara tertulis, disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen.
b. Menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi.
2. Hak dan kewajiban Pembeli
Dari Pembeli adalah menerima barang yang telah dibelinya, baik secara nyata maupun secara yuridis. Ada 3 kewajiban pokok pembeli yaitu:
a. Memeriksa barang-barang yang dikirim oleh Penjual.
b. Membayar harga barang sesuai dengan kontrak.
c. Menerima penyerahan barang seperti disebut dalam kontrak.
Kewajiban pembeli untuk membayar harga barang termasuk tindakan mengambil langkah-langkah dan melengkapi dengan formalitas yang mungkin dituntut dalam kontrak atau oleh hukum dan peraturan untuk memungkinkan pelaksanaan pembayaran. Tempat pembayaran di tempat yang disepakati kedua belah pihak. Kewajiban Pihak Pembeli adalah :
a. Membayar harga barang yang dibelinya sesuai dengan janji yang telah dibuat.
b. Memikul biaya yang ditimbulkan dalam jual beli, misalnya ongkos antar, biaya akta dan sebagainya kecuali kalau diperjanjikan sebaliknya.
Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa Kewajiban dari pihak pembeli adalah merupakan Hak bagi pihak Penjual dan sebaliknya Kewajiban dari Pihak Penjual adalah merupakan hak bagi pihak Pembeli.
E. Bentuk-bentuk Perjanjian Jual Beli
Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan tulisan yang dapat bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan. Untuk beberapa perjanjian tertentu undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah.
Dengan demikian bentuk tertulis tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya perjanjian tersebut. Misalnya perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas harus dengan akta Notaris. Bentuk perjanjian jual beli ada dua yaitu:
1. Lisan, yaitu dilakukan secara lisan dimana kedua belah pihak bersepakat untuk mengikatkan dirinya melakukan perjanjian jual beli yang dilakukan secara lisan.
2. Tulisan, yaitu Perjanjian Jual beli dilakukan secara tertulis biasanya dilakukan dengan akta autentik maupun dengan akta di bawah tangan.
Akta Autentik adalah suatu akta yang dibuat di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawaipegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya . Mengenai Akta Autentik diatur dalam pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasarkan inisiatif pembuatnya akta autentik dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Akta Pejabat (acte amtelijke) Akta Pejabat adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu dengan mana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya. Jadi inisiatifnya tidak berasal dari orang yang namanya diterangkan di dalam akta itu. Contohnya Akta Kelahiran.
b. Akta Para Pihak (acte partij) Akta Para Pihak adalah akta yang inisiatif pembuatannyadari para pihak di hadapan pejabat yang berwenang. Contohnya akta sewa menyewa.
Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat untuk tujuan pembuktian namun tidak dibuat di hadapan pejabat yang berwenang . Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan pengakuan dari para pihak yang membuatnya. Hal ini bermakna kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dapat dipersamakan dengan akta autentik sepanjang para pembuat akta dibawah tangan mengakui dan membenarkan apa yang telah ditandatanganinya. Dengan kata lain akta di bawah tangan merupakan akta perjanjian yang baru memiliki kekuatan hukum pembuktian apabila diakui oleh pihak-pihak yang menandatanganinya sehingga agar akta perjanjian tersebut tidak mudah dibantah, maka diperlukan pelegalisasian oleh notaris, agar memiliki kekuatan hukum pembuktian yang kuat seperti akta autentik.
Perbedaan prinsip antara akta di bawah tangan dengan akta otentik adalah karena jika pihak lawan mengingkari akta tersebut, akta di bawah tangan selalu dianggap palsu sepanjang tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan akta otentik selalu dianggap asli, kecuali terbukti kepalsuannya .Maksudnya adalah bahwa jika suatu akta di bawah tangan disangkal oleh pihak lain, pemegang akta di bawah tangan harus dapat membuktikan keaslian dari akta di bawah tangan tersebut, Sedangkan apabila akta otentik disangkal oleh pihak lain, pemegang akta otentik tidak perlu membuktikan keaslian akta tersebut tetapi pihak yang menyangkali yang harus membuktikan bahwa akta otentik tersebut adalah palsu. Oleh karena itu, pembuktian akta di bawah tangan disebut pembuktian keaslian sedangkan pembuktian akta otentik adalah pembuktian kepalsuan.
F. Resiko dalam perjanjian jual beli
Di dalam hukum dikenal suatu ajaran yang dinamakan dengan Resicoleer. Resicoleer adalah suatu ajaran , yaitu seseorang berkewajiban memikul kerugian, jika ada sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian. Sedengkan Risiko dalam Perjanjian jual beli tergantung pada jenis barang yang diperjualbelikan, yaitu:
1. Barang telah ditentukan
Mengenai risiko dalam jual beli terhadap barang tertentu diatur dalam pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal pertama yang harus dipahami adalah pengertian dari barang tertentu tersebut.Yang dimaksudkan dengan barang tertentu adalah barang yang pada waktu perjanjian dibuat sudah ada dan ditunjuk oleh pembeli.Mengenai barang seperti itu pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menetapkan bahwa risiko terhadap barang tersebut ditanggung oleh si pembeli meskipun barangnya belum diserahkan. Dapat dilihat bahwa ketentuan tersebut adalah tidak adil dimana pembeli belumlah resmi sebagai pemilik dari barang tersebut akan tetapi ia sudah dibebankan untuk menanggung risiko terhadap barang tersebut. Si pembeli dapat resmi sebagai pemilik apabila telah dilakukan penyerahan terhadap si pembeli.Oleh sebab itu, dia harus menanggung segala risiko yang dapat terjadi karena barang tersebut telah diserahkan kepadanya.Ketentuan pasal 1460 ini dinyatakan tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No 3 tahun 1963. Menurut Prof. R. Subekti, Surat edaran Mahkamah Agung tersebut merupakan suatu anjuran kepada semua hakim dan pengadilan untuk membuat yurisprudensi yang menyatakan pasal 1460 tersebut sebagai pasal yang mati dan karena itu tidak boleh dipakai lagi.
2. Barang tumpukan
Barang yang dijual menurut tumpukan, dapat dikatakan sudah dari semula dipisahkan dari barang-barang milik penjual lainnya, sehingga sudah dari semula dalam keadaan siap untuk diserahkan kepada pembeli. Oleh sebab itu dalam hal ini, risiko diletakkan kepada si pembeli karena barang-barang tersebut telah terpisah
3. Barang yang dijual berdasarkan timbangan, ukuran atau jumlah.
Barang yang masih harus ditimbang terlebih dahulu, dihitung atau diukur sebelumnya dikirim (diserahkan) kepada si pembeli, boleh dikatakan baru dipisahkan dari barang-barang milik si penjual lainnya setelah dilakukan penimbangan, penghitungan atau pengukuran.Setelah dilakukannya penimbangan, penghitungan atau pengukuran, maka segala risiko yang terjadi pada barang tersebut adalah merupakan tanggung jawab dari si pembeli.Sebaliknya apabila barang tersebut belum dilakukan penimbangan, penghitungan atau pengukuran maka segala risiko yang ada pada barang tersebut merupakan tanggungjawab dari pihak penjual.Hal ini diatur dalam pasal 1461 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
G. Jual beli dalam E-Comerce
Pada prinsipnya, menurut KUH Perdata, suatu perjanjian adalah bebas, tidak terikat pada suatu bentuk tertentu. Dalam KUH Perdata ditentukan bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana suatu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUH Perdata). Untuk sahnya suatu kontrak maka harus dilihat kepada syarat-syarat yang diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menentukan bahwa syarat sahnya suatu perjanjian adalah sebagai berikut:
1. Kesepakatan para pihak;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
3. Suatu hal tertentu, dan
4. Suatu sebab yang halal.
Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan), maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal), maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum. Pasal 1339 KUH Perdata menentukan bahwa suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Kemudian Pasal 1347 KUH Perdata, syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya. Perjanjian elektronik dalam transaksi elektronik, harus memiliki kekuatan hukum yang sama dengan kontrak konvensional. Sebagaimana ditentukan pada Pasal 18 ayat (1) UUITE yang berbunyi “Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak”. Pasal 19 UUITE menyatakan bahwa “para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati”.
Jadi, sebelum melakukan transaksi elektronik, para pihak harus bersepakat untuk menggunakan sistem elektronik untuk melakukan transaksi.Setelah para pihak bersepakat, pihak pembeli harus cukup mempelajari term of condition (ketentuan-ketentuan yang diisyaratkan) pihak penjual.Apabila term of conditions-nya telah disetujui dan dipenuhi oleh pihak pembeli, makalangkah terakhir adalah dengan dilakukan pengeklikan tombol “SEND” atau dengan memberi tanda “√” oleh pihak pembeli yang menandakan suatu syarat persetujuan untuk perjanjian yang ditawarkan oleh pihak penjual.Pada transaksi e-commerce ini pembayaran dapat dilakukan dengan menggunakan kartu kredit (credit card), kartu debit (debet card), cek pribadi (personal check), atau transfer antarrekening. Langkah selanjutnya adalah pihak pembeli berhadapan dengan sebuah halaman situs yang menanyakan berbagai informasi sehubungan dengan proses pembayaran yang ingin dilakukan. Informasi yang biasa ditanyakan sehubungan dengan aktifitas ini adalah sebagai berikut:
1. Cara pembayaran yang ingin dilakukan, seperti: transfer, kartu kredit, kartu debit, cek personal, dan lain sebagainya. Jika menggunakan kartu kredit misalnya, informasi lain kerap ditanyakan, seperti nama yang tercantum dalam kartu, nomor kartu, expire date, dan lain sebagainya. Contoh lain adalah jika menggunakan cek personal, biasanya selain nomor cek, ditanyakan pula nama dan alamat bank yang mengeluarkan cek tersebut;
2. Data atau informasi pribadi dari yang melakukan transaksi, seperti: nama, alamat, nomor telepon, alamat penagihan, dan lain sebagainya. Jika konsumen ingin melakukan pembayaran dengan metoda lain, seperti digital cash atau electronic check misalnya, konsumen diminta untuk mengisi user name dan password terkait sebagai bukti otentik transaksi melalui internet.
Setelah pihak pembeli mengisi formulir elektronik tersebut, maka perusahaan yang memiliki situs akan melakukan pengecekan berdasarkan informasi pembayaran yang telah dimasukkan ke dalam sistem. Melalui sebuah sistem gateway (fasilitas yang menghubungkan dua atau lebih sistem jaringan komputer yang berbeda), perusahaan akan melakukan pengecekan terhadap bank yang dipilih oleh pihak pembeli untuk melakukan pembayaran (misalnya menghubungi Visa atau Mastercard untuk jenis pembayaran kartu kredit). Hasil dari proses pengecekan di atas secara otomatis akan “diinformasikan” kepada penjual melalui situs perusahaan. Jika berhasil, maka pembeli dapat melakukan proses berikutnya (menunggu barang dikirimkan secara fisik ke lokasi konsumen atau konsumen dapat melakukan download terhadap produk-produk digital). Jika proses pengecekan tadi gagal, maka pesan kegagalan tersebut akan diberitahukan melalui situs yang sama atau langsung ke e-mail pembeli. Berbagai cara biasa dilakukan oleh perusahaan maupun bank untuk membuktikan kepada konsumen bahwa proses pembayaran telah dilakukan dengan baik, seperti:
1. Pemberitahuan melalui email mengenai status transaksi jual beli produk atau jasa yang telah dilakukan.
2. Pengiriman dokumen elektronik melalui email atau situs terkait yang berisi “berita acara” jual-beli dan kuitansi pembelian yang merinci jenis produk atau jasa yang dibeli berikut detail mengenai metode pembayaran yang telah dilakukan.
Pengiriman kuitansi pembayaran melalui kurir ke alamat atau lokasi konsumen.Secara umum, suatu transaksi perdagangan seyogyanya dapat menjamin:
1. Kerahasiaan (confidentiality): data transaksi harus dapat disampaikan secara rahasia, sehingga tidak dapat dibaca oleh pihak-pihak yang tidak diinginkan;
2. Keutuhan (integrity): data setiap transaksi tidak boleh berubah saat disampaikan melalui suatu saluran komunikasi;
3. Keabsahan atau keotentikan (authenticity), meliputi:
a. Keabsahan pihak-pihak yang melakukan transaksi:
bahwa sang konsumen adalah seorang pelanggan yang sah pada suatu perusahaan penyelenggara sistem pembayaran tertentu (misalnya kartu kredit Visa dan Mastercard), atau kartu kredit seperti Kualiva dan Stand Card (misalnya) dan keabsahan keberadaan pedagang itu sendiri.
b. Keabsahan data transaksi:
data transaksi itu oleh penerima diyakini dibuat oleh pihak yang mengaku membuatnya (biasanya sang pembuat data tersebut membutuhkan tanda tangannya). Hal ini termasuk pula jaminan bahwa tanda tangan dalam dokumen tersebut tidak bisa dipalsukan atau diubah;
4. Dapat dijadikan bukti/tak dapat disangkal (non-repudation) catatan mengenai transaksi yang telah dilakukan dapat dijadikan barang bukti di suatu saat jika ada perselisihan .
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihakpenjual berjanji menyerahkan sesuatu barang / benda, dan pihak lain yangbertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga.
Asas-asas dalam perjanjian adalah sebagai berikut “
a. Asas Kebebasan Berkontrak
b. Asas Konsensualitas
c. Asas mengikatnya suatu perjanjian
d. Asas kepribadian
e. Asas iktihad baik
Perjanjian jual beli adalah merupakan perbuatan hukum. Subjek dari perbuatan hukum adalah Subjek Hukum. Subjek Hukum terdiri dari manusia dan badan hukum.
Hak dari Penjual menerima harga barang yang telah dijualnya dari pihak pembeli sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak. Dari Pembeli adalah menerima barang yang telah dibelinya, baik secara nyata maupun secara yuridis.
Bentuk-bentuk dari suatu perjanjian dibedakan menjadi dua, yaitu : secara lisan dan secara tertulis, dan penggunaan perjanjiannya yaitu digunakan sesuai dengan kebutuhan.
Resicoleer adalah suatu ajaran , yaitu seseorang berkewajiban memikul kerugian, jika ada sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian. Sedengkan Risiko dalam Perjanjian jual beli tergantung pada jenis barang yang diperjualbelikan.
Dalam jual beli E-Commerce di jelaskan dalam pada Pasal 18 ayat (1) UUITE yang berbunyi “Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak”. Dan Pasal 19 UUITE menyatakan bahwa “para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati”.
B. Saran
1. Bahwa dalam melakukan transaksi jual beli sebaiknya kita memahami dulu bagaimana syarat-syarat yang harus di penuhi.
2. Untuk pelaku usaha sebaiknya berterus terang dengan konsumen terhadap barang yang cacat.
3. Untuk perjanjian jual-beli yang nominalnya besar sebaiknya menggunakan bentuk perjanjian otentik, supaya kalau ada permasalahan mempunyai bukti yang kuat.
4. Untuk pembelian online sebaiknya dilakukan dengan hati-hati, dan diharapkan untuk memilih toko yang sudah terpercaya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
Handri Rahardjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Jakarta, 2009.
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.
Riyeke Ustadiyanto, Framework E-commerce, Andi, Yogyakarta, 2002.
Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003.
Kumpulan Makalah Hukum
Kumpulan Makalah Tentang Hukum
Monday, May 8, 2017
Saturday, April 22, 2017
KAJIAN HUKUM TENTANG ANALISIS DAMPAK LALU LINTAS (AMDALALIN)
A.
PENDAHULUAN
Kota Garut sebagai kota
sentral ekonomi di kabupaten Garut. Kota Garut adalah kota yang mempunyai
perkembangan yang tumbuh dengan pesat, oleh karena itu maka pemerintah harus menyediakan
sarana dan prasarana kota untuk menunjang kelancaran dari pertumbuhan kota
Garut itu sendiri. Dalam hal perkembangan kota yang paling menonjol dan pesat
perkembangannya adalah pusat perbelanjaan. Di kota Garut sedikitnya terdapat
empat pusat perbelanjaan yang kesemuanya masuk dalam kategori pusat
perbelanjaan besar. Salah satu dari
pusat perbelanjaan yang ada dipusat kota Garut adalah Asia Toserba Garut yang
merupakan tempat penjualan barang terpadat dikota Garut.
Dengan berdirinya Asia
Toserba Garut dikota Garut maka akan menimbulkan tarikan dan bangkitan
lalu-lintas pada jalan-jalan sekitar Asia Toserba Garut dan akan menambah
volume lalu lintas. Meskipun bukan
satu-satunya penyebab utama penurunan kinerja jalan, terjadinya penambahan
volume lalu lintas jalan akan mengakibatkan kemacetan lalu lintas pada ruas
jalan disekitar pusat perbelanjaan. Hal ini sering diakibatkan oleh perilaku
manusia yang kurang mematuhi rambu-rambu lalulintas. Hal lain yang mempengaruhi
kemacetan lalu-lintas disebabkan pula oleh adanya pergerakan kendaraan keluar
masuk pusat perbelanjaan dan kendaraan yang menyeberang jalan baik yang
bertujuan untuk masuk pusat perbelanjaan maupun yang bermaksud meninggalkan
pusat perbelanjan. Keadaan tersebet masih pula diperparah dengan adanya
angkutan umum yang berhenti menunggu penumpang menambah pula kesemerawutan
jalan sekitar pusat-pusat perbelanjaan. Kondisi tersebut juga dialami pada
pusat perbelanjaan Asia Toserba Garut.
Dari kondisi tersebut
diatas maka sudah seharusnya pemerintah Kabupaten Garut mewajibkan membuat
analisis dampak lalu lintas untuk setiap pembangunan pusat perbelanjaan ataupun
pusat-pusat kegiatan bersekala besar yang mempunyai andil besar dalam penambahan
pembebanan kapasitas jalan harus membuat Analisis Dampak Lalu Lintas ( AMDALALIN
). Karena dengan dibuat Analisis Dampak Lalu Lintas (AMDALALIN) maka
diharapkan ganguan-ganguan lalu lintas
dapat segera di ketahui sedini mungkin untuk selanjutnya digunakan sebagai
bahan evaluasi kinerja jalan sekitar pusat-pusat kegiatan dan dapat memberikan
solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan lalu-lintas pada daerah tersebut.
B.
PERMASALAHAN
Dari sekian banyak
pusat-pusat kegiatan hanya terdapat sebagian kecil saja yang sudah menggunakan
Analisis Dampak Lalu-Lintas dan umumnya hanya terdapat pada bangunan-bangunan
atau pusat-pusat kegiatan yang tergolong baru, demikian pula sebagian
pusat-pusat kegiatan dikota Garut juga belum dilakukan Analisis Dampak Lalu-Lintas.
Meskipun dibeberapa pembangunan pusat-pusat kegiatan sudah menggunakan Analisis
Dampak Lalu-Lintas yang juga disertai dengan rekomendasi penanganan dampak dan
juga manajemen pengaturannya akan tetapi manajemen penanggulangan dampak lalu-lintas
sering dirasa tidak optimal untuk penanganan permasalahan lalu-lintas.
Analisis Dampak Lalu-lintas
yang tidak diperhatikan atau tidak dilakukan secara benar seringkali membuat
upaya penanggulangan permasalahan lalu-lintas pada daerah pusat-pusat kegiatan
tidak maksimal. Oleh karena itu upaya penanggulangan lalu-lintas di sekitar
pusat-pusat kegiatan perlu melibatkan pihak pengembang atau pengelola pusat
kegiatan tersebut.
Permasalahan diatas
terjadi pula pada saat pengoperasian Asia Toserba Garut yang terletak di pusat
kota Garut. Pembangunan swalayan tersebut tidak didahului dengan pembuatan
Analisis Dampak Lalu-lintas sehingga pada saat pembukaan Asia Toserba Garut
menimbulkan kekhawatiran akan menurunnya kinerja lalu-lintas di ruas jalan yang
berada disekitar swalayan tersebut.
Karena dengan dibangunnya pusat kegiatan Pacific Mall akan menimbulkan
tarikan yang disebabkan karena Asia Toserba Garut menawarkan berbagai macam
kegiatan seperti perbelanjaan yang lengkap, pusat hiburan keluarga, restoran
cepat saji disamping itu Asia Toserba Garut juga mempunyai fasilitas tempat
parkir yang luas dan aman. Dengan adanya kegiatan tersebut maka akan
mempengaruhi kinerja dari ruas jalan Ahmad Yani yang berada tepat di depan Asia
Toserba Garut.
C.
PEMBAHASAN
TENTANG ANALISIS DAMPAK LALU LINTAS
1.
PENGERTIAN
ANALISIS DAMPAK LALU LINTAS
Analisis dampak lalu lintas, untuk selanjutnya
disebut Andalalin adalah Studi /
Kajian mengenai dampak lalu lintas
dari suatu kegiatan dan/atau usaha tertentu yang hasilnya dituangkan dalam
bentuk dokumen
Andalalin atau Perencanaan pengaturan Lalu Lintas. Hal ini dikaitkan bahwa
setiap perubahan guna lahan akan mengakibatkan berubahan di dalam sistem transportasi
nya. Mal yang besar, atau stadion ataupun kawasan permukiman yang baru akan
memengaruhi lalu lintas yang ada di sekitar kegiatan baru tersebut. Dengan
andalalin maka dapat diperhitungkan berapa besar bangkitan perjalanan baru yang
memberlukan rekayasa lalu lintas dan manajemen lalu lintas untuk mengatasi
dampaknya.
Menurut Dikun dan Arif
(1993) mendefinisikan analisis dampak lalu-lintas sebagai suatu studi khusus
dari dibangunnya suatu fasilitas gedung dan penggunaan lahan lainnya terhadap
sistem transportasi kota, khususnya jaringan jalan di sekitar lokasi gedung.
Menurut Tamin (2000),
analisis dampak lalu lintas pada dasarnya merupakan analisis pengaruh
pengembangan tata guna lahan terhadap sistem pergerakan arus lalu-lintas
disekitarnya yang diakibatkan oleh bangkitan lalu-lintas yang baru, lalulintas
yang beralih, dan oleh kendaraan keluar masuk dari / ke lahan tersebut.
Tujuan diperlukannya
ANDALALIN adalah sebagai berikut :
b.
Menentukan bentuk peningkatan/perbaikan yang
diperlukan untuk mengakomodasikan perubahan yang terjadi akibat pengembangan
baru;
c.
Menyelaraskan keputusan-keputusan mengenai tata guna
lahan dengan kondisi lalu lintas, jumlah dan lokasi akses, serta alternatif
peningkatan/perbaikan;
d.
Mengidentifikasi masalah-masalah yang dapat
memengaruhi putusan pengembang dalam meneruskan proyek yang diusulkan;
2. Fenomena
Dampak Lalu Lintas
Menurut
Murwono (2003), fenomena dampak lalu-lintas diakibatkan oleh adanya pembangunan
dan pengoperasian pusat kegiatan yang menimbulkan bangkitan lalu lintas yang
cukup besar, seperti pusat perkantoran pusat perbelanjaan, terminal, dan
lain-lain. Lebih lanjut dikatakan bahwa dampak lalu lintas terjadi pada 2 (dua)
tahap, yaitu :
a. Tahap konstruksi
/ pembangunan. Pada tahap ini akan terjadi bangkitan lalulintas akibat angkutan
material dan mobilisasi alat berat yang membebani ruas jalan pada rute
material;
b. Tahap pasca konstruksi / saat beroperasi. Pada
tahap ini akan terjadi bangkitan lalu-lintas dari pengunjung, pegawai dan
penjual jasa transportasi yang akan membebani ruas-ruas jalan tertentu, serta
timbulnya bangkitan parkir kendaraan.
Tamin (2000)
mengatakan bahwa setiap ruang kegiatan akan "membangkitkan"
pergerakan dan "menarik" pergerakan yang intensitasnya tergantung
pada jenis tata guna lahannya. Bila terdapat pembangunan dan pengembangan
kawasan baru seperti pusat perbelanjaan, superblok dan lain-lain tentu akan
menimbulkan tambahan bangkitan dan tarikan lalu lintas baru akibat kegiatan
tambahan di dalam dan sekitar kawasan tersebut. Karena itulah, pembangunan
kawasan baru dan pengembangannya akan memberikan pengaruh langsung terhadap
sistem jaringan jalan di sekitarnya.
Dikun (1993)
menyatakan bahwa analisis dampak lalu-lintas harus merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari keseluruhan proses perencanaan, evaluasi rancang bangun dan
pemberian ijin. Untuk itu diperlukan dasar peraturan formal yang mewajibkan
pemilik melakukan analisis dampak lalu lintas sebelum pembangunan dimulai. Di
dalam analisis dampak lalu lintas, perkiraan banyaknya lalu-lintas yang
dibangkitkan oleh fasilitas tersebut merupakan hal yang mutlak penting untuk
dilakukan. Termasuk dalam proses analisis dampak lalu lintas adalah
dilakukannya pendekatan manajemen lalu lintas yang dirancang untuk menghadapi
dampak dari perjalanan terbangkitkan terhadap jaringan jalan yang ada.
Djamal
(1993) mengemukakan 5 (lima) faktor / elemen penting yang akan menimbulkan
dampak apabila sistem guna lahan berinteraksi dengan lalu lintas. Kelima elemen
tersebut adalah :
a. Elemen
Bangkitan / Tarikan Perjalanan, yang dipengaruhi oleh faktor tipe dan kelas
peruntukan, intensitas serta lokasi bangkitan.
b. Elemen
Kinerja Jaringan Ruas Jalan, yang mencakup kinerja ruas jalan dan persimpangan.
c. Elemen
Akses, berkenaan dengan jumlah dan lokasi akses.
d. Elemen Ruang
Parkir.
e. Elemen
Lingkungan, khususnya berkenaan dengan dampak polusi dan kebisingan.
Lebih
lanjut, The Institution of Highways and Transportation (1994) menyatakan bahwa
besar-kecilnya dampak kegiatan terhadap lalu lintas dipengaruhi oleh hal-hal
sebagai berikut:
a. Bangkitan /
Tarikan perjalanan.
b. Menarik tidaknya
suatu pusat kegiatan.
c. Tingkat
kelancaran lalu lintas pada jaringan jalan yang ada.
d. Prasarana
jalan di sekitar pusat kegiatan.
e. Jenis
tarikan perjalanan oleh pusat kegiatan.
f. Kompetisi
beberapa pusat kegiatan yang berdekatan.
3.
Sasaran
Analisis Dampak Lalu Lintas
Arief (1993) menyatakan
bahwa sasaran Andalalin ditekankan pada :
a. Penilaian dan formulasi dampak lalu-lintas
yang ditimbulkan oleh daerah pembangunan baru terhadap jaringan jalan
disekitarnya (jaringan jalan eksternal), khususnya ruas-ruas jalan yang membentuk
sistem jaringan utama;
b. Upaya
sinkronisasi terhadap kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan penyediaan
prasarana jalan, khususnya rencana peningkatan prasarana jalan dan persimpangan
di sekitar pembangunan utama yang diharapkan dapat mengurangi konflik, kemacetan
dan hambatan lalu-lintas;
c. Penyediaan
solusi-solusi yang dapat meminimumkan kemacetan lalu lintas yang disebabkan
oleh dampak pembangunan baru, serta penyusunan usulan indikatif terhadap
fasilitas tambahan yang diperlukan guna mengurangi dampak yang diakibatkan oleh
lalu-lintas yang dibangkitkan oleh pembangunan baru tersebut, termasuk di sini
upaya untuk mempertahankan tingkat pelayanan prasarana sistem jaringan jalan
yang telah ada;
d. Penyusunan
rekomendasi pengaturan sistem jaringan jalan internal, titik-titik akses ke dan
dari lahan yang dibangun, kebutuhan fasilitas ruang parkir dan penyediaan
sebesar mungkin untuk kemudahan akses ke lahan yang akan dibangun.
The Institution of
Highways and Transportation ( 1994) merekomendasikan pendekatan teknis dalam
melakukan analisis dampak lalu-lintas, sebagai berikut :
a. Gambaran
kondisi lalu lintas saat ini (eksisting).
b. Gambaran
Pembangunan yang akan dilakukan
c. Estimasi
pilihan moda dan tarikan perjalanan.
d. Analisis
Penyebaran Perjalanan.
e. Identifikasi
Rute Pembebanan Perjalanan.
f. Identifikasi
Tahun Pembebanan dan pertumbuhan lalu lintas.
g. Analisis
Dampak Lalu Lintas.
h. Analisis
Dampak Lingkungan.
i.
Pengaturan Tata Letak Internal.
j.
Pengaturan Parkir.
k. Angkutan
Umum.
l.
Pejalan kaki, pengendara sepeda dan
penyandang cacat.
Dari keseluruhan
tahapan diatas, penelitian ini tidak melakukan tahapan analisis dampak
lingkungan, pengaturan tata letak internal, analisis angkutan umum dan analisis
pejalan kaki, pengendara sepeda dan
penyandang cacat. Analisis dampak lingkungan tidak dilakukan oleh karena
telah dilakukan pada awal pembangunan. Pengaturan tata letak internal tidak
dilakukan mengingat swalayan tersebut telah terbangun dan beroperasi.
4.
ANALISIS
MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN UNTUK LALU LINTAS DALAM KAITANNYA DENGAN HUKUM
PROPERTI.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU
LLAJ”) dalam Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa Lalu lintas adalah gerak
kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan. Di satu
sisi,Pembangunan/pengembangan properti, baik itu perumahan, pusat perbelanjaan,
apartemen, dan sebagainya, pasti berkaitan erat dengan kinerja lalu lintas di
jaringan jalan sekitarnya. Hal ini terjadi disebabkan oleh pergerakan arus lalu
lintas keluar masuk kawasan properti tersebut. Mobilitas penghuni kawasan
properti tersebut akan berpengaruh pada tingkat pelayanan jaringan jalan disekitarnya,
oleh karena itu perlu untuk dilakukan analisa dampak lalu lintas (AMDALALIN)
Pengaturan lebih lanjut mengenai
AMDALALIN diatur didalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang
Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, Serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas
(Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 2011)
Menurut Pasal 47 PP No.32/2011, setiap rencana pembangunan pusat kegiatan,
permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan keamanan,
keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan wajib
dilakukan AMDALALIN. AMDALALIN itu sendiri adalah serangkaian kegiatan kajian
mengenai dampak lalu lintas dari pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan
infrastruktur yang hasilnya dituangkan dalam bentuk dokumen hasil AMDALALIN.
Hasil AMDALALIN tersebut merupakan
salah satu persyaratan pengembang atau pembangun untuk memperoleh:
a. Izin lokasi;
b. Izin
mendirikan bangunan; dan
c.
Izin pembangunan gedung dengan fungsi khusus sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan di bidang bangunan gedung.
Tata cara
untuk memperoleh AMDALALIN:
1.
Pengembang atau pembangun properti melakukan AMDALALIN
dengan menunjuk lembaga konsultan yang memiliki tenaga ahli
bersertifikat. Lalu hasil analisis AMDALALIN tersebut disusun dalam bentuk
dokumen hasil AMDALALIN
2.
Hasil analisis dampak lalu lintas harus mendapat
persetujuan dari:
a.
Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan
prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, untuk jalan nasional;
b.
Gubernur, untuk jalan provinsi;
c.
Bupati, untuk jalan kabupaten dan/atau jalan desa;
atau
d.
Walikota, untuk jalan kota.
3.
Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan
prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, gubernur, bupati, atau walikota
memberikan persetujuan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari
kerja sejak diterimanya dokumen hasil analisis dampak lalu lintas secara
lengkap dan memenuhi persyaratan.
4.
Untuk memberikan persetujuan, Menteri yang bertanggung
jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, Gubernur,
Bupati, atau Walikota sesuai dengan kewenangannya membentuk tim evaluasi
dokumen hasil analisis dampak lalu lintas. Tim tersebut terdiri atas unsur
pembina sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, pembina jalan, dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
5.
Tim evaluasi tersebut mempunyai tugas, antara lain:
a. melakukan
penilaian terhadap hasil analisis dampak lalu lintas; dan
b. menilai
kelayakan rekomendasi yang diusulkan dalam hasil analisis dampak lalu lintas.
6.
Hasil penilaian tim evaluasi disampaikan kepada
menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan
angkutan jalan, gubernur, bupati, atau walikota sesuai dengan kewenangannya.
7.
Jika hasil penilaian belum memenuhi persyaratan,
Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan
angkutan jalan, Gubernur, Bupati, atau Walikota mengembalikan hasil analisis
kepada pengembang atau pembangun untuk disempurnakan.
8.
Jika hasil penilaian telah memenuhi persyaratan,
Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan
angkutan jalan, Gubernur, Bupati, atau Walikota meminta kepada pengembang atau
pembangun untuk membuat dan menandatangani surat pernyataan kesanggupan
melaksanakan semua kewajiban yang tercantum dalam dokumen hasil analisis dampak
lalu lintas.
SANKSI
Setiap
pengembang/ pembangun properti yang melanggar surat pernyataan kesanggupan
tersebut, dikenai sanksi administratif oleh pemberi izin sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Sanksi administratif tersebut antara
lain :
1.
Peringatan tertulis;
2.
Penghentian sementara pelayanan umum;
3.
Penghentian sementara kegiatan;
4.
Denda administratif;
5.
Pembatalan izin ; dan/atau
6.
Pencabutan izin.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Makalah Perjanjian Jual beli dalam Hukum Perdata
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan yang bersifat fisik dan non fisik. Kebutuhan itu ti...
-
PROPOSAL PENYELENGGARAAN KEJUARAAN TENIS MEJA ABAH GARUT CUP DIVISI 7+ OLEH : PTM PROPOSAL PEN...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan yang bersifat fisik dan non fisik. Kebutuhan itu ti...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya dalam melaksan...